Wednesday, April 16, 2014

THE SECRET ADMIRER

Aku mendapat surat itu lagi. Entah darimana datangnya dan siapa pengirimnya. Yang aku tahu bahwa benda itu sudah berada di laci meja di waktu yang bersamaan untuk tiga hari berturut-turut. Mungkin pengirimnya terlalu terobsesi padaku namun terlalu pengecut untuk bersikap gentle dan berani terang-terangan mengungkapkan perasaannya. Hm… Apa enaknya menyembunyikan perasaan? Kemarin lusa memuji kuncir ekor kudaku yang katanya menggemaskan, kemarin bilang bahwa aku cocok menggunakan bandana pink, dan hari ini dia sudah membuatku melayang dengan pujiannya yang selangit mengenai poni baruku yang kupotong sendiri dengan asal. Aku berencana mengepang penuh rambutku esok—dia akan memuji atau akan mengomentari dandananku yang kuno? Just wait and see.
Akhirnya petualanganku mencari bukti-bukti mulai berjalan. Dengan teliti aku memelototi satu persatu setumpuk buku tugas yang Pak Dahlan, guru sejarah, minta untuk kumpulkan. Aku hanya perlu mencocokkan karakter tulisan di sampul buku dan surat-surat itu. Mudah-mudahan ada petunjuk sehingga aku tak akan mati penasaran. Ternyata ini manfaatku ditempatkan sebagai sekretaris di kelas. Sungguh beruntung…
“Elena…”
Aku menoleh dan menjatuhkan salah satu buku dari tangan. Terlalu terkejut dengan panggilan itu. Dengan kikuk aku mencari-cari alasan untuk mengelabuhi Pak Dahlan yang memandang sarat kecurigaan. Pria itu berjongkok untuk membantu mengambil dan menyatukan kembali buku itu ke posisi teratas.
“Terima kasih.” Kataku tulus. “Saya ingin membawanya ke ruangan Bapak.” Awalnya Pak Dahlan ragu, namun akhirnya dia luluh juga meskipun mengomel mengapa aku tak meminta bantuin murid-murid laki-laki dan malah mengerjakannya sendiri. Misiku gagal…

Hari keempat. Tuh kan, apa kubilang... Surat itu datang lagi—sebuah pujian disertai kritikan yang lagi-lagi membuatku melayang. “Kepang dua? Kuno bangettt… Tapi kalau itu Elena sih semuanya jadi WOW!!!… You look so beautiful… Always…” Kalimat itu bahkan diakhiri dengan gambar sebuah karakter wajah yang kedua bola matanya mengeluarkan simbol cinta berwarna merah hati. Yaampun… Ini orang pasti cinta mati sama aku. Dengan gusar mataku menyapu sekeliling, berharap ada satu orang saja yang mencurigakan sehingga aku tak perlu menebak-nebak lagi dan langsung menandai bahwa dialah pelakunya. Inilah kerugiannya jika kita tak punya teman sebangku, tak ada sahabat dekat yang bisa merangkap jadi mata-mata. Maklum… Ini adalah SMA terfavorit sepanjang masa. Ibarat kata, biarpun harus merelakan uang jajan setiap hari, aku rela asalkan bisa mendapat satu tempat saja di sekolah ini. Kembali aku menyisiri dua puluh bangku kosong yang tertata rapi—seluruh penghuninya sedang asik menjelajahi dunia maya di ruang komputer sudut sekolah. Aku hanya perlu mengambil sebuah buku catatan yang tertinggal karena buru-buru tadi.
Tanpa perduli lagi aku membiarkan kakiku berjalan menyusuri koridor sekolah dan melewati sederet kelas yang sibuk. Dan ketika aku kebetulan menoleh ke salah satu ruangan dimana ada sosok Pak Dahlan menjulang di bibir pintu, dia tersenyum ramah—kelewat ramah sampai-sampai aku punya pikiran buruk tentangnya. Bagaimana mungkin aku menebak bahwa pria berwajah bersih itulah pelakunya? Memang sih dia ”terkesan” lebih memperhatikanku dibanding murid lain. Tapi... Tidak mungkin! Pasti aku terlalu percaya diri. Aku balas tersenyum dan berlalu secepat mungkin dari pandangannya.
Sepulang sekolah tak henti-hentinya aku memikirkan kejadian aneh ini. Siapa yang berani berbuat tak berani tanggung jawab? Kembali wajah Pak Dahlan memenuhi pelupuk mata—menguasai seluruh ruang pikirku. Tak salah jika dia menyukaiku, aku tak menyalahkannya juga.
Single—check(√). Mapan—check(√). Ganteng—check(√). Kaya—check(√).
Aneh. Kriteria orang seperti Pak Dahlan harus terdampar, menghabiskan sisa umurnya di kelas dan bukannya menjadi obyek sampul majalah. Nama Pak Dahlan bahkan jauh lebih terkenal dibanding cowok paling TOP di sekolah ini. Tapi… Apa aku harus menerima perasaan guruku? Aku hanya seorang siswi berumur enam belas tahun yang masih harus melewati ujian kelulusan dua tahun lagi. Masih jauh jika harus terjerat kisah cinta yang serius dengan pria berumur. Haishhhh… Memikirkan seorang pengagum rahasia rasanya menyenangkan, tapi ketika mengingat kandidatnya rasanya menjengkelkan! Aku bukan penggemar Pak Dahlan seperti cewek-cewek itu yang berani malu dengan meneriaki namanya bak artis Korea. “Bukan gue bangettttttt…” Amit-amit jabang bayi tujuh turunan jangan sampai kejadian.

Pagi-pagi sekali aku sudah tiba di sekolah. Pertama menghindari kemacetan Jakarta dan yang kedua ingin melihat wajah fresh Randy ketika pagi hari. Cowok itu tak terlalu tampan, memiliki tubuh yang tak atletis dan juga bukan juara kelas. Tapi setiap melihatnya hatiku berdebar. Darahku berdesir. Tubuhku gemetaran. Dan menurut artikel yang pernah aku baca, bahwa gejala-gejala inilah yang dinamakan cinta. It’s all about love. Aku berharap bahwa Randy lah pelaku kejadian-kejadian yang menimpaku akhir-akhir ini. Bukan Pak Dahlan atau orang lain. Tapi jika diamati dari gerak geriknya, aku bahkan tidak berani bertaruh bahwa dia pernah mendengar ataupun mengenal ada seorang gadis bernama Elena di sekolah ini.
“Hei… Ada yang bisa gue bantu?”
Aku sungguh terkejut, tak menyangka dia menyadari keberadaanku. Pasti karena aku terbengong dan tanpa sadar berjalan terlalu dekat ke kelasnya yang masih satu lorong dengan kelasku. Seperti biasa dia sedang asik mengobrol dengan teman-teman sekelasnya dari kelas XI. “Eh… Kak… Anu… Ehm, lagi nyari orang tapi kayaknya bukan di kelas ini deh…” Ujarku ngawur. Semoga dia termakan omonganku. Amin…
Randy manggut-manggut sambil mengerutkan kening. Aku memanfaatkan detik berikutnya untuk kabur dan ingin segera menghilang dibalik pintu kelas. Tapi sungguh—aku tak pernah bermimpi dia akan memanggil namaku apalagi memuji penampilanku.
“Lena!!!” Panggilnya terasa aneh—namun tak terlalu buruk. Elena, biasanya semua orang menyebut namaku, tapi Lena? It’s ok. Aku berhenti dan membalikkan badan. Dia berlari kearahku dan “Rambut kamu lucu banget…” Ujarnya sambil tersenyum dan memainkan ujung kuncir ekor kudaku. Tubuhku melemas. Mimpi apa aku semalam…???
“Bengong, tertawa, manyun… Kamu tetap cantik!” Oh My Goooooooodddddd!!! Surat kaleng itu bahkan tiba lebih cepat dibanding waktu kedatanganku. Tergeletak sempurna di laci dengan amplop biru terang. Warna kesukaanku. Aku membacanya mual—berharap ini semua akan segera berakhir. Kembali aku menyapu pandangan ke sekeliling ruangan yang seperti biasanya—tak seorangpun. Dan biarpun tadi aku terbengong didepan Randy, aku yakin pelakunya bukan dia. Benda itu sukses membuatku gelisah. Galau.
Mama dan Papa pernah menceritakan asal muasal bagaimana cara mereka saling mengungkapkan perasaan, bertukar pujian satu sama lain, maupun saling janjian bertemu muka. Dulu. Itu semua dilakukan dengan surat. Tapi bukan surat tanpa alamat seperti yang aku terima sekarang, dan kenapa sih harus surat? Kenapa tidak telepon atau sms saja? Romantis sebenarnya, kalau saja itu Randy yang mengirimkan. Tapi ini… Siapa kurirnya saja belum diketahui, bagaimana cara mencari penulisnya? Sungguh melelahkan.
Dengan kesal aku melempar tas dan membanting pintu membuat seisi rumah bergetar. Aku bisa menebak jelas apa yang akan terjadi berikutnya. “Elenaaaaaaaaa!!!” Tuh, benar kan? Pasti dalam hitungan ketiga wanita itu sudah sampai di depan kamar dan melotot memprotes kelakuan anak gadisnya. “Kamu ini! Kebiasaan! Apa kamu berencana menghancurkan rumah ini dan membuat keluarga kita tinggal di kolong jembatan?”
Dengan kikuk aku memamerkan sederet gigi putihku yang rapi dan terawat. Tak menjawab apapun karena itu berarti akan memancing emosi Mama berikutnya. Terkadang diam itu lebih baik daripada dibanding bicara hal yang tak berguna.

Sebulan sudah berlalu sejak kejadian itu. Kejadian dimana Randy “ternyata” mengetahui namaku. Sungguh senang rasanya mengingat hal ini. Sejak saat itu, di hari berikutnya dia selalu menyapaku lebih dulu. Tak lupa dia memuji penampilanku setiap kali kami berpapasan dan tak ada saksi mata. Benar-benar susah ditebak. Bagaimana sebenarnya perasaannya?
Aku memasuki kelas sambil menenteng kamus bahasa inggris yang jika dimasukkan tas bisa membuat tinggiku semakin menurun. Dan seperti biasa, aku penasaran dengan isi laciku dari hari ke hari. Ya, meskipun kesal karena tak juga bisa menebak—tapi harus kuakui bahwa itu sudah menjadi salah satu alasanku untuk datang ke sekolah lebih pagi. Candu.
Tapi sungguh—jauh di lubuk hatiku aku sangat berharap bahwa itu Randy. Dialah yang mengirimkan surat-surat itu selama ini. Dialah yang jadi pengagum rahasiaku. Apa mungkin?
“Hai cewek rajin… Pasti hari ini kamu membawa benda berat yang menyebalkan itu… Cemunguuuuth” Aku menepok jidat. Tersenyum mendengar kata rajin dan mendadak migrain mendengar kata terakhir. Aku memang terlahir sebagai anak moderen, gaul, dan smart! Kata teman-teman. Tapi kata itu? OMG!!! Mau dibawa kemana negara ini kalau bahasa yang digunakan sekarang makin ngawur dan tak terarah. Bagaimana EYD kita perlahan-lahan memudar? Mereka semua harus segera disadarkan.
Pak Dahlan memasuki ruang kelas dan langsung menghipnotis seisi ruangan dengan ceritanya mengenai kehidupan manusia purba yang hidup nomaden. Aku langsung merasa sedang bermain film The vampire diaries. Aku sebagai Elena, dan dia—Alaric. Guru sejarah yang mempunyai kekuatan gaib hanya karena sebuah cincin. Dia memang orang yang pandai bercerita, tapi—Ya Tuhan… Dia sungguh tak cocok menjadi seorang guru, seharusnya dia berjalan di catwalk dengan pakaian modis dan bukannya memakai seragam membosankan itu.
Tak lama kemudian dia selesai bercerita dan membuat dua puluh pasang mata kecewa karena ternyata di akhir ceritanya lahir sebuah tugas. Aku tersenyum. Inilah kehidupan di sekolah. Selalu saja terbuai dengan cerita dan ujung-ujungnya malas mengerjakan tugas.
“Pak, bisa nggak sih sekali-sekali kami diberi kebebasan…” Ujar salah seorang dari kami. Aku mengangguk menyetujui tak jauh beda dengan yang lain. Laki-laki itu langsung menyetujui pendapat itu. “Ciyus???” Aihhhhh kata-kata itu lagi. Seluruh isi ruangan bersorak.
“Setelah jam pelajaran saya selesai…” Sontak mereka semua ber-huuuuu ria dan saling melempar kalimat-kalimat asal yang bisa membuat telinga panas ataupun membuat senyum Pak Dahlan terkembang. Pak Dahlan memandang kearahku—tersenyum. Oh Nooooooo!!!

Dan pagi ini misiku tak boleh gagal. Aku sudah meminta Mama untuk membangunkanku lebih pagi sehingga aku pasti akan menangkap basah si kurir pagi-pagi. Aku akan mendapatkan jawaban hari ini. So, let’s go!
Kakiku melangkah ringan—tapi hatiku terasa berat. Aku sungguh takut menghadapi kenyataan pahit. Pasti bukan Pak Dahlan. Apa orang lain? Jika saja dia Randy…
Dengan gugup aku mengintip ruang kelas. Hanya ada seorang gadis pendiam yang “Gilaaaaa… Culun banget…” Namanya Rasti—dan dia adalah murid paling kuno yang pernah aku temui di belahan bumi Indonesia. Sifatnya yang tertutup membuat seisi ruangan ogah berdekatan dengannya, hanya jika ketiban sial mereka mau menerima kehadirannya sebagai anggota kelompok dalam diskusi. Beruntung karena meja kami agak jauh sehingga kemungkinan aku berada satu kelompok dengannya sangat kecil. Syukurlah…
Tapi tunggu! Apa yang sedang dia lakukan? Mataku terus mengikuti gerak-geriknya. Dan sumpah… Berani kaya mendadak! Berani ditembak cowok ganteng! Dia menuju ke mejaku dan membawa sebuah—amplop! Jadi dia kurirnya? “Rasti!” Suratnya terjatuh. “Lo ngapain dimeja gue? Itu… Surat itu… Siapa sebenernya yang nulis?” Gadis itu menunduk. Ketakutan. Mungkin aku terlalu kasar menegurnya. Seharusnya aku bisa bersikap lebih baik—tapi, aku sudah tak sabar mengintrogasinya. Dalam hitungan detik saja aku sudah menghujaninya dengan banyak pertanyaan. Tapi tak satupun kata keluar dari mulutnya. Membuat aku gemas dan serasa ingin melahapnya. “Lo nggak mau jawab pertanyaan gue?”
Dia menggeleng pelan tak berani menatapku yang sudah bertolak pinggang. Aku merasa menjadi orang yang paling kejam di dunia saat ini.
“Gue..”
Gendang telingaku seolah pecah. Aku memang pernah mendengar bahwa dia adalah seorang lesbian, tapi aku tak pernah menyangka bahwa orang yang dia sukai adalah aku. Tubuhku melemas. Wajah Pak Dahlan melintas—pria itu lebih baik dibanding Rasti. Dan Randy—ternyata cowok itu berada terlalu jauh didepanku. Aku menangis… Ini adalah berita paling buruk selama hidupku.

2 comments: