Aku tersenyum dan membuang nafas lega seraya menyambut kedatangannya dari balik kepulan hitam yang menelan malam. Tembok Rumah sakit itu bahkan tak mampu mempertahankan keputihan warnanya di jam selarut ini. Pukul sembilan lewat dua menit. Hanya selang waktu tiga puluh menit semenjak aku menelepon dan memintanya menjemput. Wajahnya tak secerah biasanya. Mungkin karena malam, sehingga terlihat pucat. Lama kuamati wajah itu—dekat—dan semakin terlihat. Senyumnya terkesan dipaksakan. Tapi aku tahu kalau itu tulus. Dia selalu tulus terhadapku.
“Nunggu lama?” Tanyanya hati-hati dengan mulut tertahan. Sepertinya kondisinya tak terlalu sehat. Bibirnya mengering dan pucat. Aku menatapnya khawatir. Selalu saja dia menomorduakan kesehatannya demi aku. Menyesal telah memintanya datang. “Ayo…” Ajaknya menggandeng tanganku. Hangat merayap, mengalir, menyerap dingin yang menggerogoti telapak tangan. Kami menembus hitam, membelah angin yang dinginnya membuat sakit gigiku semakin tak terkira.
Selama perjalanan kami tak saling bertukar suara. Hanya sesekali aku menanyakan untuk memastikan keadaannya yang terlihat buruk, namun laki-laki itu selalu menggeleng dan memaksakan senyum. Miris melihat pemandangan ini. Hubungan kami sudah sampai di tahap dimana kami tak bisa disebut “teman” lagi, tapi dia selalu menolak memberikanku kesempatan untuk merawatnya atau sekedar mencemaskan kondisinya ketika keadaannya seperti sekarang. Aku tahu dia punya keluarga yang memperhatikan, tapi apa salah jika aku ingin belajar merawatnya. Menjaganya. Memperlakukannya dengan hal yang sama seperti apa yang telah dia lakukan terhadapku.
Keesokan harinya aku tak melihat Mas Angga dimanapun. Dia datang terlambat atau ada meeting dimana ya? Pikirku kalut. Beberapa teman yang kutanyai malah tertawa mengolok-olok. “Seharusnya kami yang tanya.”
Aku mengenalnya beberapa bulan lalu ketika pertama kali bergabung di perusahaan ini. Dia sangat ramah, baik dan tak ragu-ragu mengajarkanku ilmu yang telah dia dapat. Dia juga tak segan menegur ataupun memberi masukan ketika aku melakukan hal yang salah. Hampir setiap hari dia memberikanku sesuatu, entah itu sebatang cokelat, setangkai mawar, ataupun makanan yang mengundang selera. Dia juga menyeretku ke tempat wisata setiap akhir pekan, memastikanku senang dan tak murung di rumah kontrakan. Akupun tak ragu untuk memintanya mendampingiku di acara-acara pernikahan dan menggandengnya bangga meskipun tak sekalipun dia melibatkanku ketika dia pribadi yang mendapat undangan. Tapi aku sangat menyukainya… Dan—Ibu, pasti sama sukanya denganku.
Aku berusaha menghubungi ponselnya yang tak aktif. Sudah puluhan kali aku mencobanya dan tak membuahkan hasil. Hanya operator yang masih setia menjawab panggilanku. BBM yang kukirim pending. Mungkin masa berlaku paketnya sudah habis. Hiburku namun tetap tak terhibur. Mas Angga membuatku sangat khawatir. Ini adalah pertama kalinya dia menghilang tanpa kabar, membuat hariku terasa menanjak—lebih lama dibanding ketika ada dia yang selalu setia mendampingiku. Kami pasangan yang sangat serasi di kantor. Apapun akan dia lakukan untukku.
“Mas, yaampun… Kemana aja?” Cecarku ketika dia baru menghubungi tengah hari. Sudah hampir gila aku dibuatnya.
Lama dia tak menjawab. Mungkin banyak yang sedang dipikirkannya sehingga dia melamun. Namun ketika mampu bersuara, aku langsung tahu bahwa kondisinya sedah tak baik. Dia bilang sedang tak enak badan sehingga ponselnya dimatikan. Kilatan kejadian semalam menghantui perasaanku. Aku yakin kalau semalam kondisinya benar-benar buruk ketika datang ke Rumah Sakit, tapi dia memaksakannya. Ini membuat rasa bersalahku semakin menjadi. Aku langsung meminta maaf.
Aku sangat khawatir mengenai kondisinya dan ingin segera menemuinya. Tapi dia tak mengijinkanku berkunjung. “Nggak enak sama orang rumah,” ujarnya tadi ketika aku memaksakan datang. Dia bahkan tak mempercayakan alamat rumahnya padaku. Membuatku sedih.
“Mas, nggak masuk lagi?” Ini adalah hari ketiga dia tak datang ke kantor. Aku sudah tak tahan untuk melihat keadaannya. Pasti kondisinya parah. Meskipun dia mengatakan baik-baik saja, tapi aku tidak bisa percaya begitu saja. Aku memaksanya memberikan alamat rumah padaku. “Mas takut kalau aku bakalan bikin kecewa keluarga Mas?” Tanyaku heran bercampur kesal.
“Bukan…” Aku membayangkan Mas Angga menggeleng ketika mengatakan ini. “Ok, kita bertemu di kafe biasa…” Jawabnya membuat mataku terbelalak. Mengapa dia sangat ketakutan ketika aku memaksa datang? Apa keluarganya sangat pemilih mengenai calon bagi putranya? Dan aku belum memenuhi kriteria itu.
Lama aku menunggu—makin malam makin tak nyaman. Duduk sendirian di kafe dalam keadaan larut begini akan menimbulkan fitnah. Bisa saja ada om-om yang tiba-tiba datang dan menawarku. Aku berdiri dan menatap sekeliling. Pengunjung kafe mulai sepi, berbeda ketika aku datang dua jam lalu, hanya untuk memanggil pelayan saja aku harus bersabar. Sekarang, mereka mulai berbenah dan menatapku curiga. Apa aku sebegitu buruknya di hadapan mereka??? “Dimana sih kamu Mas…” Keluhku sambil mencoba menghubungi ponselnya yang lagi-lagi tidak aktif.
Akhirnya aku kembali kerumah dengan perasaan gundah. Khawatir. Apa yang terjadi padanya sekarang? Biasanya aku akan marah dan mengomel panjang lebar ketika dia terlambat datang saat kami janjian bertemu, tapi kali ini aku sangat ingin melihatnya. Aku sangat merindukannya. Rasa kesalku tak sebanding dengan rasa rindu yang aku tahan selama beberapa hari. Aku ingin sekali menjadi orang yang mendampingi Mas Angga ketika kondisinya sakit seperti sekarang. Ketika aku sakit sebulan yang lalu, aku tak tahu harus meminta tolong pada siapa… Aku tak berani menghubungi keluargaku dan mengatakan bahwa putri semata wayangnya ini masuk Rumah Sakit karena typus. Pasti mereka akan mengomeliku karena tak makan dengan baik. Padahal aku hanya kecapekan. Dan Mas Angga—dia datang tanpa aku memintanya. Menjengukku sepulang kantor dan menghabiskan malamnya dengan meringkuk di sofa sebelah tempat tidurku. Bagaimana mungkin aku akan mengabaikan pria sebaik ini? Aku tak ingin kehilangannya.
Tidak ada kompromi. Pagi-pagi sekali aku datang ke kantor dan berharap telingaku menangkap kabar baik. Tapi—nihil. Belum ada kabar apapun yang mampu membunuh cemasku akan kondisi Mas Angga yang entah seperti apa sekarang.
Dengan tergesa aku menuju ruang HRD dan menyesal kenapa aku tak terpikir untuk mendatangi tempat ini sejak Mas Angga menghilang. Apa aku sebegitu paniknya?
“Don, bisa tolong liatin alamat karyawan nggak?” Tanyaku memasang tampang memelas. Biasanya dia tidak akan memberikan alamat karyawan pada sembarang orang. Takut disalahgunakan. Doni yang biasa dipanggil Donce memandang aku dengan penuh tanda tanya. Dia menjawab dengan suara gemulai dengan gerakan tangan tak jauh berbeda. Aku selalu ingin muntah melihat adegan ini. Tapi saat ini aku tak punya pilihan.
Berbekal secarik kertas dengan potongan asal aku berjalan dengan penuh percaya diri menelusuri gang yang tak memungkinkan dua mobil untuk saling berpapasan. Sesekali memandangi kertas yang telah kumal di saku celana kerja, dan mencocokkan tulisan itu dengan sederet rumah minimalis yang tak dipungkiri adalah jenis rumah idamanku—setelah berkeluarga kelak. Sudut bibirku tersenyum mengkhayalkan kehidupan kami, aku dan Mas Angga, serta anak-anak kami empat sampai lima tahun kedepan.
Langkah demi langkah aku nikmati hingga adzan magrib terasa mengejutkan. Aku bahkan tak menyadarinya. Lingkungan perumahan ini terasa damai dan menenangkan, aku ingin segera tiba dan memasuki salah satu bangunannya.
Gemetar. Keringat dingin. Jemariku kaku menunggu pemilik rumah membukakan pintu. Baru saja suara seorang wanita menjawab salam dengan lemah lembut dan menentramkan. Dari suaranya aku bisa menebak kalau usia wanita itu pasti tak jauh beda denganku. Tak lama kemudian, suara itu muncul dengan bentuk yang nyata. Seorang wanita berjilbab, aku memprediksi umurnya awal tiga puluhan, wajahnya biasa saja, namun tatapannya teduh dan menenangkan. Dia menyapaku dengan ramah, membuatku lega karena ternyata keluarga Mas Angga tak seburuk yang aku pikirkan. Pasti ini adik yang Mas Angga sering ceritakan.
“Saya Shinta, teman kantor Pak Angga…”
Dia mempersilakanku masuk, memintaku duduk dan bertanya apa yang ingin kuminum. Aku menggeleng mengucapkan terima kasih seraya memamerkan botol air mineral yang masih penuh. Namun, dia tak menerima alasanku dan memaksa akan membawakan minuman yang dipilihnya, sambil berjanji akan memanggil Mas Angga kehadapanku. Aku tersenyum senang.
Sebenarnya aku ingin menumpang sholat magrib terlebih dahulu, namun aku merasa akan lebih nyaman menumpahkan isi kepalaku ke Mas Angga. Sehingga aku bersabar mengunggu kedatangannya di ruang tamu. Detik berganti menit, aku sudah merubah posisi duduk dari lurus, menyamping dan sesekali berdiri mengamati beberapa bingkai foto yang dipajang terpisah dan tersebar di dinding ruangan. Satu, foto sepasang wanita dan pria berumur yang pasti orang tua Mas Angga. Dua, foto Mas Angga dan adiknya. Tiga, foto Mas Angga dan… Aku merenung sesaat sebelum berani menyimpulkan bahwa dua balita mungil yang ada dipangkuan itu adalah… putra putri Mas Angga??? Aku membekap mulut. Wanita tadi adalah…
“Shin…” Aku menoleh terkejut. “Kamu datang?” Tanya Mas Angga tak kalah terkejut. “Darimana kamu ta…”
Aku terdiam. Memandanginya penasaran, hingga ia bingung dan menghentikan kalimatnya. Tanpa basa-basi aku langsung menghujaninya dengan banyak pertanyaan. Siapa wanita tadi? Ada hubungan apa dia dengan anak-anak yang ada di pangkuan itu. Dan kenapa Mas Angga tak senang dengan kedatanganku. Dia hanya diam—tak mengatakan apapun. Mulutnya terkunci dan aku sedang berusaha mencarinya. Kepalanya tertunduk tak mampu menatapku. Aku pun sama—diam. Bahkan tak mampu lagi menanyakan keadaannya. Rasa sakitnya pasti tak sebanding dengan rasa sakit yang aku rasakan sekarang.
“Istri…” Ujarnya terbata. “Dan anak-anak kami…”
Tubuhku langsung membeku. Mati rasa. Tak memerlukan waktu lama untuk dapat membebaskan air mata yang sudah kutahan semenjak melihat potret itu. Tanganku mengepal keras, membuat buku-buku jariku memutih. Kepalannya mampu melukai telapak tangan yang seolah terbakar. Namun aku tak merasakan kesakitan. Hatiku jauh lebih sakit. Mengapa selama ini ia memberikan harapan palsu yang tak mungkin menjadi kenyataan? Mas Angga menatapku kalut dan berusaha meredam tangisku, mencoba meraih salah satu tangan yang langsung kutepis kasar. Lalu menyentuh bahu yang langsung kubalas dengan tamparan keras di sebelah pipinya. Dia tak mengelak, juga tak membalas. Bagaimana mungkin dia sepicik itu? Membiarkan benih-benih ini tumbuh, memupuknya rajin, hingga menghasilkan kuncup bunga dan memetiknya tak berperasaan sebelum ia sempat mekar. Kenapa ia tak membiarkanku mencari kebebasan sendiri dan memenjarakan aku di bilik yang telah penuh? Dan tak mungkin terisi lagi. Aku menangis.
“Dia adik sahabatku… Aku tak pernah mencintainya…”
Mas Angga mengatakan itu dengan dengan santai. Seolah ikrar yang telah ia janjikan sewaktu akad tak berarti apa-apa. Cinta atau tidak dia dengan wanita itu, namun mereka telah dikaruniai sepasang putra-putri lucu yang tak mungkin diingkari keberadaannya. Tapi mengapa dia tega sekali terhadap mereka? Juga terhadapku? Ternyata aku salah menilainya. Dia tak merasa bersalah sama sekali ketika mengatakan kalimat itu, seolah dia telah melupakan keberadaan kedua buah hatinya. Seharusnya dia malu pada dirinya sendiri.
Akhirnya aku memutuskan untuk pergi. Langkah kakiku panjang dan tergesa, tak menghiraukan panggilan Mas Angga yang “seolah” meneriakkan “Malinggg!!!” begitu keras, tak mengacuhkan tatapan penasaran yang terpancar jelas di wajah para pejalan kaki yang berbaju koko dan bergamis rapi melangkah ke masjid. Mereka menatapku seolah aku orang asing yang mencurigakan. Aku sakit. Sangat sakit. Bahkan rasa sakit saat putus dengan cinta pertamaku dulu tak sebesar ini. Aku sudah menambatkan hati ke orang yang salah. Orang yang tak layak. Orang yang tak patut dicintai.
No comments:
Post a Comment