Tuesday, April 29, 2014

DIA MENEMUKAN SESEORANG

Aku mengelus dada yang bergemuruh. Mengatasi dua anak remaja yang beranjak dewasa memang harus ekstra sabar. Ekstra telaten. Butuh waktu dan tenaga yang tidak sedikit. Setiap hari harus berlari kesana kemari menyiapkan seragam sekolah, bangun dini hari untuk mengolah semua bahan makanan dan dijual tepat ketika semua orang sibuk tergesa menuju tempat kerja. Aku ingin sekali menjadi salah satu dari mereka. Berangkat ke kantor, jam kerja pasti, gaji tetap, tunjangan terjamin. Siapa yang tidak mau???
“Ayo anak-anak… Ibu harus jualan…” Ujarku ketika kedua anakku santai menyiapkan diri mereka. Tak jarang aku harus berteriak karena kesal terhadap keduanya. Tak bisakah mereka memahami sedikit saja keadaanku?
Radith tiga belas, Ditya sembilan tahun. Bisa dibayangkan berapa usia pernikahan yang sudah kami lalui. Radith keras kepala. Sedangkan Ditya—putriku ini sangat aktif. Radith menggunakan sepedanya ke sekolah, sedangkan Ditya, aku lebih memperhatikan dia. Umurnya lebih muda, dia belum terlalu paham dengan masalah yang sedang kuhadapi. Aku selalu menyempatkan diri untuk mengantarnya ke sekolah dan menitipkan lapak nasi udukku di depan gang ke penjual kue yang berjualan di sebelahku. Berharap dia tak keberatan.
Terkadang aku menyesali keputusan yang kuambil dulu. Mengapa aku harus mengundurkan diri dan memilih menjadi ibu rumah tangga kalau kejadiannya akan menjadi seperti ini. Ini adalah takdir yang tak pernah kuharap datang. Mengabdikan diri sepenuhnya untuk suami, anak-anak, keluarga. Dan hasilnya? Diluar dugaan. Suamiku menusukku dari belakang. Sesuatu yang membuatku ingin menyayat nadi seketika. Memutusnya hingga aku tidak perlu mengalami penderitaan lebih panjang lagi di dunia. Tapi ketika aku mengingat Allah, aku mengurungkan niat itu. Bunuh diri adalah dosa besar. Kasihan anak-anak, kasihan keluargaku yang lain. Aku juga tidak mau kalau keluargaku menjadi gunjingan semua orang.

Tujuh bulan lalu…
“Mas… Hari ini pulang terlambat lagi?” Tanyaku sopan. Sudah beberapa hari suamiku pulang larut. Dia bilang sedang ada proyek baru dikantornya. Aku percaya saja karena dia terkenal sebagai orang yang berdedikasi baik. Tak mungkin dia berbohong.
Dia melirik—acuh. Tatapannya sedingin es. “Setiap hari tanya hal yang sama. Apa kamu mencurigaiku?” Aku terkejut. Ternyata diamnya menyimpan kesal. “Besok juga aku pulang terlambat. Jadi tidak usah ditanya!” Astagfirullah… Kenapa suamiku yang merupakan panutan dikantor, juga dihadapan para tetangga ini mendadak berubah. Apa yang salah?
Semenjak hari itu aku takut bertanya dan selalu menyiapkan makan malam yang tak tersentuh. Terkadang dia pulang sambil marah-marah. Mungkin terlalu kecapekan. Sesekali dia tak pulang—membuatku sangat khawatir. Apa yang dikerjakannya dikantor? Apa dia sudah makan? Aku terlalu takut meneleponnya.
Bukan tak percaya, tapi lama-lama aku tak tahan menyembunyikan rasa penasaran yang sudah mencapai titik tertinggi. Dengan ragu-ragu aku menghubungi kenalanku, Siska. Dia teman sekantor Mas Damar yang aku kenal di acara family gathering setahun yang lalu. Seharusnya Siska juga terlibat jika memang sedang ada proyek seperti yang dikatakan Mas Damar.
“Proyek?” Suara Siska sarat kebingungan. “Nggak ada kok Bu Laras. Saya dirumah sama anak-anak.” Ya Tuhan… Apa yang terjadi pada Mas Damar? Rasanya tubuhku mati rasa mendengar berita ini. Apa yang aku takutkan terjadi? “Ehm… Bu…” Ucapan Siska membuatku fokus kembali. “Sebenarnya…” Ujarnya ragu. “Ibu janji jangan bilang Pak Damar ya…” Aku mengangguk meskipun dia tak dapat melihatnya. “Pak Damar…” Kata-kata Siska yang selalu ragu dan terbata ini membuatku semakin yakin akan apa yang akan dikatakannya. “Dia sedang dekat dengan bawahannya…” Pelupuk mataku seketika menggenang. Dibanjiri oleh air mata. Aku langsung menutup telepon tak sanggup berkata lagi ataupun mendengarkan kalimat Siska berikutnya.
Langit-langit kamar rasanya hanya sejengkal. Seolah menghimpit dadaku. Sesak. Aku termenung—menangis—bertanya-tanya dimana Mas Damar sekarang. Kenapa dia tega melakukan ini terhadap orang yang telah mendampinginya selama ini? Apa dia tidak mengingat Radith dan Ditya ketika melakukan itu? Aku membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Pologami atau perceraian. Perih. Selama ini, aku selalu siap mengorbankan apapun untuknya, melakukan apapun yang diinginkannya. Aku terlalu percaya diri karena menganggap dirikulah dimatanya yang paling berharga.
“Mas, menginap dikantor lagi?” Tanyaku hati-hati keesokan harinya setelah dia pulang kerja. Seragamnya masih yang kemarin. Kusut.
Dia menghela nafas dan mendengus. Seharusnya aku yang berhak melakukan itu. kamilah korbannya, bukan dia. “Iya” Jawabnya singkat tak terdengar enak di telinga.
“Bersama wanita itu?” Mataku berkaca-kaca.
Dia menengok. Cepat. “Oh, jadi kamu memata-mataiku?” Tuduhnya sambil menyeringai. Aku diam. Menunggunya mengatakan sesuatu. “Ya, aku akan tinggal dengannya.” Ujarnya tenang tak merasa bersalah. Sedikitpun.
“Istighfar, Mas…” Aku sudah menangis. “Tidakkah Mas merasa bersalah terhadap kami?,” tanyaku berlinang air mata. Radith tidak dirumah, dia bilang akan main futsal. Sedangkan Ditya, dia kumasukkan ke madrasah dekat rumah.
Dia tertawa. Pahit. Menyakitkan. “Aku?” Tanyanya. “Seharusnya aku yang bertanya itu! Apa yang salah denganmu?” katanya sambil membereskan pakaian dan memasukkannya ke ransel yang biasa kami gunakan untuk perjalanan jauh.
Aku menutup mulut. Termenung. Apa yang salah denganku? Tak sabar ingin mendengar jawaban, aku menarik lengannya hingga menjatuhkan tumpukan pakaian yang sedang ia pegang. Dia langsung memaki perbuatanku. Melemparkan kata-kata kasar yang selama ini tak pernah kudengar keluar dari mulutnya. Sejauh itu dia membenciku… “Kenapa denganku?” Tanyaku. “Aku selalu berusaha menjadi istri yang Mas inginkan?”
“Aku capek.” Katanya. “Aku bosan.” Tegasnya. “Aku sudah menikahinya…”
Aku menangis. Terisak. Bersimpuh di telapak kaki Mas Damar. Hal yang biasanya kulakukan ketika memohon maaf padanya, kemudian dia akan memelukku penuh kasih. Tapi, sekarang berbeda. Air mataku tumpah karena apa yang telah dia lakukan dibelakangku. Dia berselingkuh. Aku ingin menghakiminya. Tapi terlalu bodoh. Bukannya minta cerai, aku malah memohon padanya untuk tetap tinggal.
Dia hanya terpaku dan mengacuhkan tangisku yang tak juga berhenti. Hatinya telah membantu. Betapapun kerasnya aku berusaha, dia tetap meninggalkan kami.

Tetes hujan mengguyur bumi tanpa ampun. Dedaunan di ranting pohon depan berayun-ayun terhempas angin. Udara dingin berselimut lembab menyergap dan memenjarakan kami dirumah. Aku, Radith dan Ditya. Kami berpelukan sedih. Biasanya ketika hujan begini, kami sekeluarga akan duduk di ruang tamu dan menyesap teh bersama, bercengkerama hingga hujan berakhir.
“Bu… Bapak kemana sih, kok nggak pulang-pulang?” Pertanyaan Ditya membuatku sedih. Aku bingung apa yang akan kukatakan padanya—sementara Radith hanya diam. Dia sangat paham situasi ini.
Aku tersenyum. Membelai rambut Ditya dan menarik bahu Radith agar mendekat. “Ditya kangen sama Bapak?” Dia langsung mengangguk. aku berusaha mati-matian agar tak menangis dihadapan mereka. Aku tidak ingin membuat mereka jadi orang yang rapuh kelak. Aku ingin mereka kuat.
“Kalau ditanya orang, jawab saja Bapak dinas keluar kota!” Sahut Radith mengambil alih. Itu yang pernah aku katakan padanya.
Pernah suatu kali ketika aku datang ke sekolah untuk mengambil raportnya, ketika dia tak mengetahui kedatanganku. Teman-teman Radith sedang mengamit lengan ayahnya, kecuali dia. Dan ketika ditanya, dia menjawab hal yang sama. Itu adalah hari dimana aku mendengar dengan telingaku sendiri bahwa anakku benar-benar mendapat pertanyaan itu. sakit rasanya.

Tiga bulan lalu…
Tok! Tok! Tok! Palu di pengadilan terdengar seperti petir. Menyambar-nyambar telinga juga hatiku dan membuat kelapala ini terasa mau pecah. Mediasi yang kami lakukan beberapa kali tak membuahkan hasil. Dia tak pernah datang dan hanya mengirimkan wakil yang semakin mempersulit keadaan. Keluarganya mendukung keputusan Mas Damar untuk menceraikanku. Sedangkan aku? Sekuat tenaga aku mempertahankan perkawinan yang nyaris dua windu. Aku kekeuh untuk tetap menjadi istrinya. Aku berkata bahwa aku akan memaafkan kesalahannya, tapi dia sedikitpun tak berniat meminta maaf padaku. Apa yang bisa kulakukan sekarang? Aku pasrah dan menangis sejadinya.
Hak asuh anak yang jatuh ketanganku membuatku bernafas lega. Setidaknya aku masih punya mereka. Tapi ketika aku melihat berapa tunjangan per bulan yang ia berikan kepada kami, sangat mustahil bagi kami untuk dapat hidup dalam sebulan dengan nominal yang sangat minim. Dia hanya menghitung berapa biaya sekolah anak-anak dan uang jajan mereka setiap bulannya.
Berbekal keberanian aku mencegatnya didepan kantor pengadilan. Keluarganya menahanku untuk bertemu dengannya, tapi toh aku berhasil juga membobol pertahanan itu. ”Mas ingin membuat anak-anak kelaparan?” Ujarku sesenggukan. Mereka beramai-ramai memelototiku dan memberiku komentar pedas yang membuat telinga panas, sedangkan aku berdiri dengan hanya dua kaki. Tanpa pendamping. Aku tak ingin merepotkan keluargaku, tetangga, juga teman-temanku. Mereka sudah terlalu banyak membantu, mendengar keluh kesahku, membantu keuangan yang terkadang harus membuatku gali lubang tutup lubang. Anak-anak kutitipkan pada Rahma, salah satu tetangga yang menjadi teman baikku setelah dia pindah ke perumahan ini.
Seringainya membuatku kesal. Ingin rasanya aku mengambil pisau dan menikam tepat di jantungnya. Kenapa dia setega itu terhadap kami? ”Itu sudah lebih dari cukup. Kamu boleh menempati rumah itu.” Rumah yang kami tempati adalah rumah berukuran kecil yang sederhana yang masih harus diangsur setiap bulan. Dan penuh kebahagiaan—dulu.
Ya Tuhan... Aku memang mempunyai ijazah strata satu, tapi perusahaan mana yang mau menerima pegawai yang usianya sudah nyaris berkepala empat? Andai saja pengalaman kerjaku yang seumur jagung bisa dipertimbangkan, aku pasti tak akan pusing mencari pekerjaan. Apapun.

Kemarin aku bertemu dengan salah seorang teman. Teman Mas Damar lebih tepatnya, ketika aku sedang memeriksakan Ditya yang demamnya tak kunjung turun. Dia sedang mengantar istrinya yang sedang kontrol kandungan. Kami berbicara panjang lebar sampai akhirnya dia mengatakan hal yang entah aku harus sedih atau senang mendengarnya. Tapi sebelah hatiku merasa iba.
”Promosinya dibatalkan.” Dia bilang bahwa kinerja Mas Damar mulai menurun semenjak kami bercerai, entah apa yang terjadi dengannya. Aku pikir dia telah bahagia dengan pasangan hidupnya yang baru. Yang lebih muda dan cantik.
Memang, akhir bulan lalu, tanggal dimana dia seharusnya mentransfer uang ke rekeningku untuk anak-anak, dia seolah menghindar. Lari dari tanggung jawab. Aku sampai harus meneleponnya seperti pengemis yang kelaparan untuk memperjuangkan hak Radith dan Ditya. Aku bisa mengusahakan materi untuk kehidupanku sendiri. Akhir-akhir ini jualanku semakin ramai. Sesekali aku mendapat pesanan nasi uduk juga kue kering. Alhamdulillah...
Aku memang tak bisa mencari pekerjaan di perusahaan besar seperti perusahaan yang menggaji Mas Damar. Tapi aku senang... Aku bisa mencari kesibukan sendiri yang menghasilkan uang. Untuk tambahan uang jajan anak-anak dan sesekali mengajak mereka berenang seperti yang keluarga lain lakukan. Aku yakin, Tuhan tak akan menyengsarakan umatnya...



No comments:

Post a Comment