Mela berdiri di persimpangan jalan. Tangan kirinya memegang clutch abu-abu, sedangkan sebelah tangan yang lain meremas tisu kumal. Dia sudah menyiksa benda itu sejak sejam lalu. Matanya sudah berhenti menangis, namun wajahnya lengket. Tapi, bukannya ke toilet, dia malah kabur dari restoran dan berjalan tak tentu arah. Kakinya terasa pegal dalam tumpuan high heel yang tak bisa dibilang rendah. Dan semua yang dikenakannya masih sama dengan yang apa yang ia lihat di cermin tadi pagi.
“Are you okey?” Seseorang menurunkan kaca mobil. Hampir saja karena kecerobohan Mela, pria asing yang berbicara dengan aksen aneh itu akan masuk penjara. Atau supirnya? Tapi dia malah membanting pintu dan mengkhawatirkan kondisi Mela yang tak sedikitpun tersentuh mobil. Mela menggeleng. Heran dengan pria ajaib yang tak memaki karena jalannya sudah terganggu.
“Arigatou gozaimasu. Konnichiwa…(Terima kasih banyak. Selamat siang…)” Mela membungkuk ke puluhan lawan bicaranya. Dia seorang Interpreter bahasa Jepang. Karenanya tak heran jika para orang-orang Jepang menyukainya. Termasuk Mr. Kimura yang baru dilihatnya hari ini, namun terasa familiar di penglihatannya. Tapi dimana? Mela tersenyum kearahnya sambil mengucapkan kalimat panjang yang tak di mengerti peserta meeting dan mulai membenahi agenda yang berserakan di meja. Setelah membungkuk, dia berpamitan dengan Mr. Kimura yang sepertinya enggan membiarkan gadis itu pergi. Namun, dia tak bisa berbuat apa-apa.
Mela merasa puas dengan apa yang dikerjakannya hari ini, membantu menerjemahkan apa yang dikatakan Mr. Kimura yang berkewarganegaraan Jepang. Perusahaan tempat Mela bekerja merupakan perusahaan yang sahamnya mayoritas dimiliki oleh negeri sakura itu.
Lelah seharian bekerja tak menyurutkan niat Mela untuk menyempatkan mampir di restoran langganannya. Ardhi dulu sering membawanya ke tempat ini. Namun, itu semua berakhir sejak Ardhi memutuskan untuk bertunangan dengan wanita lain. Enam bulan lalu. Lagipula dia merasa tak punya hak untuk memaksakan perasaan Ardhi untuk dapat menyukainya, apalagi memaksakan keyakinan yang berbeda. Dia akhirnya mengerti mengapa para selebritis harus kabur ke luar negeri hanya untuk melangsungkan pernikahan.
“Boleh saya duduk disini?” Seseorang yang membuyarkan lamunannya dengan bahasa Indonesia yang resmi namun terbata. Seolah untuk mengatakan kalimat pendek itu dia berpikir dengan susah payah. Disini memang Mela sering mendapat sapaan resmi dari para pengunjung, namun ketika dia membalasnya dengan bahasa Jepang fasih mereka akan tersenyum senang. Bangga karena menemukan orang Indonesia yang menguasai bahasanya.
Mela menoleh dan tersenyum. Lalu mengangguk. Dia tak membungkuk seperti yang biasa dilakukannya ketika di kantor, mengangguk sudah cukup bagi orang Indonesia. Batinnya.
Mela senang karena ternyata Mr. Kimura bisa memperlakukannya sebagai teman ketika diluar kantor. Mereka sepakat untuk menggunakan bahasa Jepang saja ketika mengobrol. Kimura tak pandai berbahasa Indonesia.
Mela bekerja sama dengan banyak orang Jepang setiap harinya, tapi dia tak pernah mendapat perlakuan spesial ketika terpaksa menumpang di mobil mereka untuk pulang saat jam terlalu larut. Tapi malam ini Mr. Kimura bersedia turun dan membukakan pintu mobil untuknya. Dia gugup. Sedangkan supir Mr. Kimura hanya memperhatikan mereka dari kaca spion.
Mela memelototi mobil Mr. Kimura sampai menghilang di tikungan. Dia tersenyum. Diam-diam memuji ketampanan pria itu. Juga sifat baiknya. Jantungnya berdegup kencang mengingat ketika pria itu membukakan pintu mobil. Dia jatuh cinta. Tak perlu melewati proses yang panjang dan penuh liku seperti apa yang pernah dirasakannya dulu terhadap Ardhi, hanya dalam hitungan detik, ketika dia membukakan pintu mobil, Mela langsung jatuh cinta. Adegan ketika dia turun dari mobil terlihat tak asing, Mela merasa pernah mengalami sebelumnya.
Tapi kemudian dia membekap mulutnya sendiri, menghentikan senyuman penuh cinta yang tergambar jelas di wajah cantik yang terbingkai rambut hitam panjang nan pekat. Dia menunduk sedih. Dulu, Mela tak pernah mengaku menyukai Ardhi. Itu sangat menyiksa. Now, apa dia harus melakukannya lagi? Memendam perasaan itu karena dia tak mau berpindah keyakinan atau sebaliknya, memaksakan keyakinan orang yang disukainya. Lagipula, mengapa Mela sangat percaya diri kalau Mr. Kimura yang cerdas, yang merupakan perwakilan dari kantor pusat kami di Jepang, yang baru pertama kali ditemuinya ini akan menyukai Mela? Seorang Indonesia yang pasti bukan kriterianya. Tubuh Mela tak terlalu tinggi, meski bisa dibilang cukup proporsional. Kulitnya juga tak sepucat dan sebersih orang-orang Jepang.
“Moshimoshi…(Hallo…) Mela san… Anata wa dokoni imasu (Kamu dimana)?” Suara Mr. Kimura diujung ponsel membuat senyum Mela mengembang. Setiap hari, pagi siang malam, pria itu selalu menanyakan keberadaannya, apa yang sedang ia lakukan, Mela sampai bingung mengartikan perhatian itu. Dia harus senang atau sedih karena tak bisa berharap banyak dari hubungan ini.
Mela menyebut restoran langganannya. Dia menenggak Ocha (Teh hijau) dingin sampai tak bersisa, lalu memanggil pelayan untuk mengisi ulang gelasnya. Tubuh Mela panas dan gemetaran setiap kali pria itu menelepon. Dan seingatnya, seharusnya pria itu masih berada di Jepang sampai seminggu kedepan.
Hari dimana dia mengantar Mela pulang adalah hari pembuka jalan bagi Kimura untuk mengajak gadis itu di waktu berikutnya. Beberapa kali meminta Interpreter lain untuk menggantikan tugas Mela demi bisa mengajak gadis itu keluar.
Kening Mela berkerut mendengar sambungan telepon terputus. Dan tiba-tiba saja Kimura sudah berada di hadapannya. Wajahnya kusut. Dan sedikit kurus. Seharusnya banyak makanan lezat yang dapat ditemuinya di Jepang dibanding negara ini.
“Kimura san?” Pekik Mela sambil berdiri terkejut. Gugup. “Tanggal berapa sekarang?” Tanya gadis itu kebingungan lalu meraih kalender di meja. Pengunjung di sekeliling tampak memperhatikannya. “Seharusnya…”
Kimura tersenyum, menghentikan kalimat Mela yang mengambang. Lalu memanggil pelayan dan memesan makanan yang sama dengan apa yang sedang terhidang di meja Mela. Sushi. Dia senang karena makanan khas negaranya menjadi makanan favorit Mela
Mata Mela berkedip-kedip penasaran. Menunggu pria itu mengatakan sesuatu.
Kimura mengedikkan bahu. “I don’t know…” Aksen bahasa inggrisnya terdengar aneh dan lagi-lagi tak asing. Tapi dimana Mela pernah mendengarnya.
Mela sangat senang. Berkali-kali dia mematut gaya di depan cermin. Kimono berwarna merah muda itu sangat pas di tubuhnya. Dia telah satu jam berusaha memahami cara menggunakan pakaian itu. Tak semudah yang dibayangkan. Dia harus memelototi google untuk bisa segera lulus dari ujian ini. Kimura memberikannya sebagai oleh-oleh dan meminta Mela segera mengirimkan foto dirinya yang sedang mengenakan pakaian tersebut. Dengan malu-malu Mela mengambil gambarnya sendiri yang beradu pandang dengannya di cermin.
“Moshimoshi…” Ujarnya riang. Pasti Kimura sudah melihat potret dirinya mengenakan kimono. Mela menatap pipinya yang bersemu merah di cermin.
“Melanie…” Ini bukan dialek Jepang. Kaki Mela lemas. Dia terduduk di tepian tempat tidur. Mengapa dia harus menelepon sekarang? Bukankah seharusnya dia menikah minggu depan? Aku? Kenapa bukan gue?
Sejam setelah Ardhi menghubunginya, Mela segera menuju tempat mereka janjian. Dari awal gadis itu sudah menolak untuk bertemu dengan Ardhi, toh luka itu sudah mulai membaik. Bahkan lebih baik dari apa yang dipikirnya sebelum bertemu Kimura. Tapi, Mela tak bisa menolak ketika mendengar suara Ardhi yang memohon meminta kesediaannya. Pria itu pernah mengisi ruang terdalam dalam hatinya. Dan dia belum yakin kalau nama Ardhi telah benar-benar terhapus.
Mela menepis tangan Ardhi yang hendak menyentuh pipinya ketika menyambut kedatangan Mela. Ada apa dengan Mela? Pria itu tak bersalah. Dia hanya menerima takdirnya. Dijodohkan. “Mel… Please…”
Mela menarik kursi asal. “Sudah hampir setahun menghilang dan tiba-tiba muncul lagi.” Ketus. Entah mengapa Mela tak merasa senang dengan pertemuan ini.
Mela terkejut mendengar Ardhi membatalkan pernikahannya. Ini kabar baik atau kabar buruk? Haruskah dia bersorak? Namun, dia tak berkomentar. “Aku suka sama kamu. Aku nggak mau kehilangan kamu. Setahun tanpamu benar-benar berat. Aku…” Ardhi terbata. Lalu tersenyum. Matanya berbinar karena akhirnya berani mengakui perasaannya.
Mela menatap Ardhi tak mengerti.
“Bukankah kamu menyukaiku? Kamu menangisi keputusanku saat itu. Kamu kecewa karena aku tak memilihmu. Kamu…”
Kening Mela berkerut. Bukan ini yang sekarang diinginkannya. Kepalanya berputar-putar, rasanya berat, panas dan seperti terbakar. Dan ketika pelayan datang membawakan Ogura, es krim kacang merah kesukaannya, Mela tak mau melewatkannya. Tak menghiraukan Ardhi yang kebingungan, tidak juga perduli siapa yang memesan minuman ini. “Lo temen yang baik. Dan gue dulu sempet suka sama lo. Tapi…” Kalimat Mela menggantung. “Kembalilah ke tunangan lo…”
“Please beri aku kesempatan.”
Mela menghela nafas dan menggeleng. Namun Ardhi masih tidak mau kalah dan terus melancarkan aksinya. Dia terus memaksa bahwa perbedaan itu bisa disatukan. Tak tahu kenapa, Mela jadi kesal dengannya. Dia yang Mela kenal dulu bukan orang yang seperti itu, tapi kenapa sekarang dia menyebalkan. Memaksakan kehendaknya sendiri. “Kita menikah di luar negeri!”
Mela terkejut. Dia menelan ludah. Mela benar-benar merasa menjadi salah satu selebritis Indonesia yang akan menelurkan sensasi dan akan segera menjadi tokoh utama dalam gosip teman-teman kantor. Ini tidak masuk akal. Bagaimana caranya mengatakan bahwa dia sudah tak menyukai Ardhi.
Brukkkk!!! Ketika bunyi itu bergemuruh, saat itu juga Mela melihat Ardhi telah tersungkur di lantai restoran. Kursi yang didudukinya tak kalah menyedihkan. Sudut bibirnya berdarah, dan dia mengerang kesakitan.
“Kamu tidak boleh mengambilnya.” Mela menoleh. Kimura ada di sebelahnya, tangannya mengepal dengan nafas tersengal. “Aku tak akan mengijinkanmu!” Tatapnya penuh ancaman pada Ardhi. Mereka sukses jadi penghibur para pengunjung hari ini. “Ayo…!” Kimura menyeret gadis itu setelah meninggalkan beberapa lembar uang bernilai tinggi di meja.
Sepanjang perjalanan Mela terdiam, tak jauh beda dengan Kimura. Pria itu mendadak dingin. Mela ketakutan semobil dengannya. Pria ini tak seperti pria biasanya, yang setiap bertemu Mela akan terlihat riang. Dia duduk di sebelah supir, dan Mela duduk di kursi belakang. Dia bisa melihat wajah Kimura yang tegang dari kaca spion.
Hari masih pagi ketika ketukan pintu apartement terdengar nyaring di telinga Mela. Wajahnya pucat, matanya sembab. Beruntung karena hari minggu, dia tak perlu repot-repot memikirkan apa yang akan dipikirkan orang dengan tampilan itu. Mela segera berlari ke pintu dan tak ingin menebak siapa yang ada dibaliknya. Mela terbengong. Dan segera mendorong pria itu menjauh, lalu berjalan tergesa keluar gedung. Angin pagi terasa menusuk tulang sumsum. Kimura mengikutinya dari belakang.
“Gomen’ nasai…(aku minta maaf)” Ujarnya menghentikan langkah Mela. Gadis itu berbalik dan mengerutkan kening. “Dia merebut kekasihku.” Kalimat Kimura kali ini terdengar menyakitkan Mela. Air matanya tak menetes, namun hatinya perih. Gadis yang menjadi tunangan Ardhi adalah kekasihnya. “Aku tak akan pernah memaafkannya…”
Mela menangis dalam hati. “Dia telah membatalkannya… Kimura san tak perlu khawatir lagi…” Jadi ini maksud kedatangannya. Untuk menyayat hatinya.
Kimura menggeleng. Dan melihat gadis itu berjalan menjauh. Dan semakin jauh. Dia juga mendengar kalau gadis itu menangis. Kimura tak ingin melihat Mela menangis lagi seperti ketika dia hampir menabraknya beberapa bulan lalu. “Mela san…” Gadis itu berhenti. “Aku tak mau dia melakukan itu lagi terhadapku. Aku tak mau kehilanganmu juga. Aishiteimasu…”
Bodoh. Kenapa Mela berpikir kalau baru saja Kimura menyatakan cinta. Ini seperti mimpi yang terbang terlalu tinggi. Mela tak ingin jatuh dan kesakitan.
“Aku cinta kamu…” Ujar Kimura meyakinkan.
Itu adalah kalimat terindah yang pernah didengarnya.
No comments:
Post a Comment