Aku mengelus dada yang bergemuruh. Mengatasi dua anak remaja yang beranjak dewasa memang harus ekstra sabar. Ekstra telaten. Butuh waktu dan tenaga yang tidak sedikit. Setiap hari harus berlari kesana kemari menyiapkan seragam sekolah, bangun dini hari untuk mengolah semua bahan makanan dan dijual tepat ketika semua orang sibuk tergesa menuju tempat kerja. Aku ingin sekali menjadi salah satu dari mereka. Berangkat ke kantor, jam kerja pasti, gaji tetap, tunjangan terjamin. Siapa yang tidak mau???
“Ayo anak-anak… Ibu harus jualan…” Ujarku ketika kedua anakku santai menyiapkan diri mereka. Tak jarang aku harus berteriak karena kesal terhadap keduanya. Tak bisakah mereka memahami sedikit saja keadaanku?
Radith tiga belas, Ditya sembilan tahun. Bisa dibayangkan berapa usia pernikahan yang sudah kami lalui. Radith keras kepala. Sedangkan Ditya—putriku ini sangat aktif. Radith menggunakan sepedanya ke sekolah, sedangkan Ditya, aku lebih memperhatikan dia. Umurnya lebih muda, dia belum terlalu paham dengan masalah yang sedang kuhadapi. Aku selalu menyempatkan diri untuk mengantarnya ke sekolah dan menitipkan lapak nasi udukku di depan gang ke penjual kue yang berjualan di sebelahku. Berharap dia tak keberatan.
Terkadang aku menyesali keputusan yang kuambil dulu. Mengapa aku harus mengundurkan diri dan memilih menjadi ibu rumah tangga kalau kejadiannya akan menjadi seperti ini. Ini adalah takdir yang tak pernah kuharap datang. Mengabdikan diri sepenuhnya untuk suami, anak-anak, keluarga. Dan hasilnya? Diluar dugaan. Suamiku menusukku dari belakang. Sesuatu yang membuatku ingin menyayat nadi seketika. Memutusnya hingga aku tidak perlu mengalami penderitaan lebih panjang lagi di dunia. Tapi ketika aku mengingat Allah, aku mengurungkan niat itu. Bunuh diri adalah dosa besar. Kasihan anak-anak, kasihan keluargaku yang lain. Aku juga tidak mau kalau keluargaku menjadi gunjingan semua orang.
Tujuh bulan lalu…
“Mas… Hari ini pulang terlambat lagi?” Tanyaku sopan. Sudah beberapa hari suamiku pulang larut. Dia bilang sedang ada proyek baru dikantornya. Aku percaya saja karena dia terkenal sebagai orang yang berdedikasi baik. Tak mungkin dia berbohong.
Dia melirik—acuh. Tatapannya sedingin es. “Setiap hari tanya hal yang sama. Apa kamu mencurigaiku?” Aku terkejut. Ternyata diamnya menyimpan kesal. “Besok juga aku pulang terlambat. Jadi tidak usah ditanya!” Astagfirullah… Kenapa suamiku yang merupakan panutan dikantor, juga dihadapan para tetangga ini mendadak berubah. Apa yang salah?
Semenjak hari itu aku takut bertanya dan selalu menyiapkan makan malam yang tak tersentuh. Terkadang dia pulang sambil marah-marah. Mungkin terlalu kecapekan. Sesekali dia tak pulang—membuatku sangat khawatir. Apa yang dikerjakannya dikantor? Apa dia sudah makan? Aku terlalu takut meneleponnya.
Bukan tak percaya, tapi lama-lama aku tak tahan menyembunyikan rasa penasaran yang sudah mencapai titik tertinggi. Dengan ragu-ragu aku menghubungi kenalanku, Siska. Dia teman sekantor Mas Damar yang aku kenal di acara family gathering setahun yang lalu. Seharusnya Siska juga terlibat jika memang sedang ada proyek seperti yang dikatakan Mas Damar.
“Proyek?” Suara Siska sarat kebingungan. “Nggak ada kok Bu Laras. Saya dirumah sama anak-anak.” Ya Tuhan… Apa yang terjadi pada Mas Damar? Rasanya tubuhku mati rasa mendengar berita ini. Apa yang aku takutkan terjadi? “Ehm… Bu…” Ucapan Siska membuatku fokus kembali. “Sebenarnya…” Ujarnya ragu. “Ibu janji jangan bilang Pak Damar ya…” Aku mengangguk meskipun dia tak dapat melihatnya. “Pak Damar…” Kata-kata Siska yang selalu ragu dan terbata ini membuatku semakin yakin akan apa yang akan dikatakannya. “Dia sedang dekat dengan bawahannya…” Pelupuk mataku seketika menggenang. Dibanjiri oleh air mata. Aku langsung menutup telepon tak sanggup berkata lagi ataupun mendengarkan kalimat Siska berikutnya.
Langit-langit kamar rasanya hanya sejengkal. Seolah menghimpit dadaku. Sesak. Aku termenung—menangis—bertanya-tanya dimana Mas Damar sekarang. Kenapa dia tega melakukan ini terhadap orang yang telah mendampinginya selama ini? Apa dia tidak mengingat Radith dan Ditya ketika melakukan itu? Aku membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Pologami atau perceraian. Perih. Selama ini, aku selalu siap mengorbankan apapun untuknya, melakukan apapun yang diinginkannya. Aku terlalu percaya diri karena menganggap dirikulah dimatanya yang paling berharga.
“Mas, menginap dikantor lagi?” Tanyaku hati-hati keesokan harinya setelah dia pulang kerja. Seragamnya masih yang kemarin. Kusut.
Dia menghela nafas dan mendengus. Seharusnya aku yang berhak melakukan itu. kamilah korbannya, bukan dia. “Iya” Jawabnya singkat tak terdengar enak di telinga.
“Bersama wanita itu?” Mataku berkaca-kaca.
Dia menengok. Cepat. “Oh, jadi kamu memata-mataiku?” Tuduhnya sambil menyeringai. Aku diam. Menunggunya mengatakan sesuatu. “Ya, aku akan tinggal dengannya.” Ujarnya tenang tak merasa bersalah. Sedikitpun.
“Istighfar, Mas…” Aku sudah menangis. “Tidakkah Mas merasa bersalah terhadap kami?,” tanyaku berlinang air mata. Radith tidak dirumah, dia bilang akan main futsal. Sedangkan Ditya, dia kumasukkan ke madrasah dekat rumah.
Dia tertawa. Pahit. Menyakitkan. “Aku?” Tanyanya. “Seharusnya aku yang bertanya itu! Apa yang salah denganmu?” katanya sambil membereskan pakaian dan memasukkannya ke ransel yang biasa kami gunakan untuk perjalanan jauh.
Aku menutup mulut. Termenung. Apa yang salah denganku? Tak sabar ingin mendengar jawaban, aku menarik lengannya hingga menjatuhkan tumpukan pakaian yang sedang ia pegang. Dia langsung memaki perbuatanku. Melemparkan kata-kata kasar yang selama ini tak pernah kudengar keluar dari mulutnya. Sejauh itu dia membenciku… “Kenapa denganku?” Tanyaku. “Aku selalu berusaha menjadi istri yang Mas inginkan?”
“Aku capek.” Katanya. “Aku bosan.” Tegasnya. “Aku sudah menikahinya…”
Aku menangis. Terisak. Bersimpuh di telapak kaki Mas Damar. Hal yang biasanya kulakukan ketika memohon maaf padanya, kemudian dia akan memelukku penuh kasih. Tapi, sekarang berbeda. Air mataku tumpah karena apa yang telah dia lakukan dibelakangku. Dia berselingkuh. Aku ingin menghakiminya. Tapi terlalu bodoh. Bukannya minta cerai, aku malah memohon padanya untuk tetap tinggal.
Dia hanya terpaku dan mengacuhkan tangisku yang tak juga berhenti. Hatinya telah membantu. Betapapun kerasnya aku berusaha, dia tetap meninggalkan kami.
Tetes hujan mengguyur bumi tanpa ampun. Dedaunan di ranting pohon depan berayun-ayun terhempas angin. Udara dingin berselimut lembab menyergap dan memenjarakan kami dirumah. Aku, Radith dan Ditya. Kami berpelukan sedih. Biasanya ketika hujan begini, kami sekeluarga akan duduk di ruang tamu dan menyesap teh bersama, bercengkerama hingga hujan berakhir.
“Bu… Bapak kemana sih, kok nggak pulang-pulang?” Pertanyaan Ditya membuatku sedih. Aku bingung apa yang akan kukatakan padanya—sementara Radith hanya diam. Dia sangat paham situasi ini.
Aku tersenyum. Membelai rambut Ditya dan menarik bahu Radith agar mendekat. “Ditya kangen sama Bapak?” Dia langsung mengangguk. aku berusaha mati-matian agar tak menangis dihadapan mereka. Aku tidak ingin membuat mereka jadi orang yang rapuh kelak. Aku ingin mereka kuat.
“Kalau ditanya orang, jawab saja Bapak dinas keluar kota!” Sahut Radith mengambil alih. Itu yang pernah aku katakan padanya.
Pernah suatu kali ketika aku datang ke sekolah untuk mengambil raportnya, ketika dia tak mengetahui kedatanganku. Teman-teman Radith sedang mengamit lengan ayahnya, kecuali dia. Dan ketika ditanya, dia menjawab hal yang sama. Itu adalah hari dimana aku mendengar dengan telingaku sendiri bahwa anakku benar-benar mendapat pertanyaan itu. sakit rasanya.
Tiga bulan lalu…
Tok! Tok! Tok! Palu di pengadilan terdengar seperti petir. Menyambar-nyambar telinga juga hatiku dan membuat kelapala ini terasa mau pecah. Mediasi yang kami lakukan beberapa kali tak membuahkan hasil. Dia tak pernah datang dan hanya mengirimkan wakil yang semakin mempersulit keadaan. Keluarganya mendukung keputusan Mas Damar untuk menceraikanku. Sedangkan aku? Sekuat tenaga aku mempertahankan perkawinan yang nyaris dua windu. Aku kekeuh untuk tetap menjadi istrinya. Aku berkata bahwa aku akan memaafkan kesalahannya, tapi dia sedikitpun tak berniat meminta maaf padaku. Apa yang bisa kulakukan sekarang? Aku pasrah dan menangis sejadinya.
Hak asuh anak yang jatuh ketanganku membuatku bernafas lega. Setidaknya aku masih punya mereka. Tapi ketika aku melihat berapa tunjangan per bulan yang ia berikan kepada kami, sangat mustahil bagi kami untuk dapat hidup dalam sebulan dengan nominal yang sangat minim. Dia hanya menghitung berapa biaya sekolah anak-anak dan uang jajan mereka setiap bulannya.
Berbekal keberanian aku mencegatnya didepan kantor pengadilan. Keluarganya menahanku untuk bertemu dengannya, tapi toh aku berhasil juga membobol pertahanan itu. ”Mas ingin membuat anak-anak kelaparan?” Ujarku sesenggukan. Mereka beramai-ramai memelototiku dan memberiku komentar pedas yang membuat telinga panas, sedangkan aku berdiri dengan hanya dua kaki. Tanpa pendamping. Aku tak ingin merepotkan keluargaku, tetangga, juga teman-temanku. Mereka sudah terlalu banyak membantu, mendengar keluh kesahku, membantu keuangan yang terkadang harus membuatku gali lubang tutup lubang. Anak-anak kutitipkan pada Rahma, salah satu tetangga yang menjadi teman baikku setelah dia pindah ke perumahan ini.
Seringainya membuatku kesal. Ingin rasanya aku mengambil pisau dan menikam tepat di jantungnya. Kenapa dia setega itu terhadap kami? ”Itu sudah lebih dari cukup. Kamu boleh menempati rumah itu.” Rumah yang kami tempati adalah rumah berukuran kecil yang sederhana yang masih harus diangsur setiap bulan. Dan penuh kebahagiaan—dulu.
Ya Tuhan... Aku memang mempunyai ijazah strata satu, tapi perusahaan mana yang mau menerima pegawai yang usianya sudah nyaris berkepala empat? Andai saja pengalaman kerjaku yang seumur jagung bisa dipertimbangkan, aku pasti tak akan pusing mencari pekerjaan. Apapun.
Kemarin aku bertemu dengan salah seorang teman. Teman Mas Damar lebih tepatnya, ketika aku sedang memeriksakan Ditya yang demamnya tak kunjung turun. Dia sedang mengantar istrinya yang sedang kontrol kandungan. Kami berbicara panjang lebar sampai akhirnya dia mengatakan hal yang entah aku harus sedih atau senang mendengarnya. Tapi sebelah hatiku merasa iba.
”Promosinya dibatalkan.” Dia bilang bahwa kinerja Mas Damar mulai menurun semenjak kami bercerai, entah apa yang terjadi dengannya. Aku pikir dia telah bahagia dengan pasangan hidupnya yang baru. Yang lebih muda dan cantik.
Memang, akhir bulan lalu, tanggal dimana dia seharusnya mentransfer uang ke rekeningku untuk anak-anak, dia seolah menghindar. Lari dari tanggung jawab. Aku sampai harus meneleponnya seperti pengemis yang kelaparan untuk memperjuangkan hak Radith dan Ditya. Aku bisa mengusahakan materi untuk kehidupanku sendiri. Akhir-akhir ini jualanku semakin ramai. Sesekali aku mendapat pesanan nasi uduk juga kue kering. Alhamdulillah...
Aku memang tak bisa mencari pekerjaan di perusahaan besar seperti perusahaan yang menggaji Mas Damar. Tapi aku senang... Aku bisa mencari kesibukan sendiri yang menghasilkan uang. Untuk tambahan uang jajan anak-anak dan sesekali mengajak mereka berenang seperti yang keluarga lain lakukan. Aku yakin, Tuhan tak akan menyengsarakan umatnya...
Tuesday, April 29, 2014
Monday, April 21, 2014
AISHITEIMASU...
Mela berdiri di persimpangan jalan. Tangan kirinya memegang clutch abu-abu, sedangkan sebelah tangan yang lain meremas tisu kumal. Dia sudah menyiksa benda itu sejak sejam lalu. Matanya sudah berhenti menangis, namun wajahnya lengket. Tapi, bukannya ke toilet, dia malah kabur dari restoran dan berjalan tak tentu arah. Kakinya terasa pegal dalam tumpuan high heel yang tak bisa dibilang rendah. Dan semua yang dikenakannya masih sama dengan yang apa yang ia lihat di cermin tadi pagi.
“Are you okey?” Seseorang menurunkan kaca mobil. Hampir saja karena kecerobohan Mela, pria asing yang berbicara dengan aksen aneh itu akan masuk penjara. Atau supirnya? Tapi dia malah membanting pintu dan mengkhawatirkan kondisi Mela yang tak sedikitpun tersentuh mobil. Mela menggeleng. Heran dengan pria ajaib yang tak memaki karena jalannya sudah terganggu.
“Arigatou gozaimasu. Konnichiwa…(Terima kasih banyak. Selamat siang…)” Mela membungkuk ke puluhan lawan bicaranya. Dia seorang Interpreter bahasa Jepang. Karenanya tak heran jika para orang-orang Jepang menyukainya. Termasuk Mr. Kimura yang baru dilihatnya hari ini, namun terasa familiar di penglihatannya. Tapi dimana? Mela tersenyum kearahnya sambil mengucapkan kalimat panjang yang tak di mengerti peserta meeting dan mulai membenahi agenda yang berserakan di meja. Setelah membungkuk, dia berpamitan dengan Mr. Kimura yang sepertinya enggan membiarkan gadis itu pergi. Namun, dia tak bisa berbuat apa-apa.
Mela merasa puas dengan apa yang dikerjakannya hari ini, membantu menerjemahkan apa yang dikatakan Mr. Kimura yang berkewarganegaraan Jepang. Perusahaan tempat Mela bekerja merupakan perusahaan yang sahamnya mayoritas dimiliki oleh negeri sakura itu.
Lelah seharian bekerja tak menyurutkan niat Mela untuk menyempatkan mampir di restoran langganannya. Ardhi dulu sering membawanya ke tempat ini. Namun, itu semua berakhir sejak Ardhi memutuskan untuk bertunangan dengan wanita lain. Enam bulan lalu. Lagipula dia merasa tak punya hak untuk memaksakan perasaan Ardhi untuk dapat menyukainya, apalagi memaksakan keyakinan yang berbeda. Dia akhirnya mengerti mengapa para selebritis harus kabur ke luar negeri hanya untuk melangsungkan pernikahan.
“Boleh saya duduk disini?” Seseorang yang membuyarkan lamunannya dengan bahasa Indonesia yang resmi namun terbata. Seolah untuk mengatakan kalimat pendek itu dia berpikir dengan susah payah. Disini memang Mela sering mendapat sapaan resmi dari para pengunjung, namun ketika dia membalasnya dengan bahasa Jepang fasih mereka akan tersenyum senang. Bangga karena menemukan orang Indonesia yang menguasai bahasanya.
Mela menoleh dan tersenyum. Lalu mengangguk. Dia tak membungkuk seperti yang biasa dilakukannya ketika di kantor, mengangguk sudah cukup bagi orang Indonesia. Batinnya.
Mela senang karena ternyata Mr. Kimura bisa memperlakukannya sebagai teman ketika diluar kantor. Mereka sepakat untuk menggunakan bahasa Jepang saja ketika mengobrol. Kimura tak pandai berbahasa Indonesia.
Mela bekerja sama dengan banyak orang Jepang setiap harinya, tapi dia tak pernah mendapat perlakuan spesial ketika terpaksa menumpang di mobil mereka untuk pulang saat jam terlalu larut. Tapi malam ini Mr. Kimura bersedia turun dan membukakan pintu mobil untuknya. Dia gugup. Sedangkan supir Mr. Kimura hanya memperhatikan mereka dari kaca spion.
Mela memelototi mobil Mr. Kimura sampai menghilang di tikungan. Dia tersenyum. Diam-diam memuji ketampanan pria itu. Juga sifat baiknya. Jantungnya berdegup kencang mengingat ketika pria itu membukakan pintu mobil. Dia jatuh cinta. Tak perlu melewati proses yang panjang dan penuh liku seperti apa yang pernah dirasakannya dulu terhadap Ardhi, hanya dalam hitungan detik, ketika dia membukakan pintu mobil, Mela langsung jatuh cinta. Adegan ketika dia turun dari mobil terlihat tak asing, Mela merasa pernah mengalami sebelumnya.
Tapi kemudian dia membekap mulutnya sendiri, menghentikan senyuman penuh cinta yang tergambar jelas di wajah cantik yang terbingkai rambut hitam panjang nan pekat. Dia menunduk sedih. Dulu, Mela tak pernah mengaku menyukai Ardhi. Itu sangat menyiksa. Now, apa dia harus melakukannya lagi? Memendam perasaan itu karena dia tak mau berpindah keyakinan atau sebaliknya, memaksakan keyakinan orang yang disukainya. Lagipula, mengapa Mela sangat percaya diri kalau Mr. Kimura yang cerdas, yang merupakan perwakilan dari kantor pusat kami di Jepang, yang baru pertama kali ditemuinya ini akan menyukai Mela? Seorang Indonesia yang pasti bukan kriterianya. Tubuh Mela tak terlalu tinggi, meski bisa dibilang cukup proporsional. Kulitnya juga tak sepucat dan sebersih orang-orang Jepang.
“Moshimoshi…(Hallo…) Mela san… Anata wa dokoni imasu (Kamu dimana)?” Suara Mr. Kimura diujung ponsel membuat senyum Mela mengembang. Setiap hari, pagi siang malam, pria itu selalu menanyakan keberadaannya, apa yang sedang ia lakukan, Mela sampai bingung mengartikan perhatian itu. Dia harus senang atau sedih karena tak bisa berharap banyak dari hubungan ini.
Mela menyebut restoran langganannya. Dia menenggak Ocha (Teh hijau) dingin sampai tak bersisa, lalu memanggil pelayan untuk mengisi ulang gelasnya. Tubuh Mela panas dan gemetaran setiap kali pria itu menelepon. Dan seingatnya, seharusnya pria itu masih berada di Jepang sampai seminggu kedepan.
Hari dimana dia mengantar Mela pulang adalah hari pembuka jalan bagi Kimura untuk mengajak gadis itu di waktu berikutnya. Beberapa kali meminta Interpreter lain untuk menggantikan tugas Mela demi bisa mengajak gadis itu keluar.
Kening Mela berkerut mendengar sambungan telepon terputus. Dan tiba-tiba saja Kimura sudah berada di hadapannya. Wajahnya kusut. Dan sedikit kurus. Seharusnya banyak makanan lezat yang dapat ditemuinya di Jepang dibanding negara ini.
“Kimura san?” Pekik Mela sambil berdiri terkejut. Gugup. “Tanggal berapa sekarang?” Tanya gadis itu kebingungan lalu meraih kalender di meja. Pengunjung di sekeliling tampak memperhatikannya. “Seharusnya…”
Kimura tersenyum, menghentikan kalimat Mela yang mengambang. Lalu memanggil pelayan dan memesan makanan yang sama dengan apa yang sedang terhidang di meja Mela. Sushi. Dia senang karena makanan khas negaranya menjadi makanan favorit Mela
Mata Mela berkedip-kedip penasaran. Menunggu pria itu mengatakan sesuatu.
Kimura mengedikkan bahu. “I don’t know…” Aksen bahasa inggrisnya terdengar aneh dan lagi-lagi tak asing. Tapi dimana Mela pernah mendengarnya.
Mela sangat senang. Berkali-kali dia mematut gaya di depan cermin. Kimono berwarna merah muda itu sangat pas di tubuhnya. Dia telah satu jam berusaha memahami cara menggunakan pakaian itu. Tak semudah yang dibayangkan. Dia harus memelototi google untuk bisa segera lulus dari ujian ini. Kimura memberikannya sebagai oleh-oleh dan meminta Mela segera mengirimkan foto dirinya yang sedang mengenakan pakaian tersebut. Dengan malu-malu Mela mengambil gambarnya sendiri yang beradu pandang dengannya di cermin.
“Moshimoshi…” Ujarnya riang. Pasti Kimura sudah melihat potret dirinya mengenakan kimono. Mela menatap pipinya yang bersemu merah di cermin.
“Melanie…” Ini bukan dialek Jepang. Kaki Mela lemas. Dia terduduk di tepian tempat tidur. Mengapa dia harus menelepon sekarang? Bukankah seharusnya dia menikah minggu depan? Aku? Kenapa bukan gue?
Sejam setelah Ardhi menghubunginya, Mela segera menuju tempat mereka janjian. Dari awal gadis itu sudah menolak untuk bertemu dengan Ardhi, toh luka itu sudah mulai membaik. Bahkan lebih baik dari apa yang dipikirnya sebelum bertemu Kimura. Tapi, Mela tak bisa menolak ketika mendengar suara Ardhi yang memohon meminta kesediaannya. Pria itu pernah mengisi ruang terdalam dalam hatinya. Dan dia belum yakin kalau nama Ardhi telah benar-benar terhapus.
Mela menepis tangan Ardhi yang hendak menyentuh pipinya ketika menyambut kedatangan Mela. Ada apa dengan Mela? Pria itu tak bersalah. Dia hanya menerima takdirnya. Dijodohkan. “Mel… Please…”
Mela menarik kursi asal. “Sudah hampir setahun menghilang dan tiba-tiba muncul lagi.” Ketus. Entah mengapa Mela tak merasa senang dengan pertemuan ini.
Mela terkejut mendengar Ardhi membatalkan pernikahannya. Ini kabar baik atau kabar buruk? Haruskah dia bersorak? Namun, dia tak berkomentar. “Aku suka sama kamu. Aku nggak mau kehilangan kamu. Setahun tanpamu benar-benar berat. Aku…” Ardhi terbata. Lalu tersenyum. Matanya berbinar karena akhirnya berani mengakui perasaannya.
Mela menatap Ardhi tak mengerti.
“Bukankah kamu menyukaiku? Kamu menangisi keputusanku saat itu. Kamu kecewa karena aku tak memilihmu. Kamu…”
Kening Mela berkerut. Bukan ini yang sekarang diinginkannya. Kepalanya berputar-putar, rasanya berat, panas dan seperti terbakar. Dan ketika pelayan datang membawakan Ogura, es krim kacang merah kesukaannya, Mela tak mau melewatkannya. Tak menghiraukan Ardhi yang kebingungan, tidak juga perduli siapa yang memesan minuman ini. “Lo temen yang baik. Dan gue dulu sempet suka sama lo. Tapi…” Kalimat Mela menggantung. “Kembalilah ke tunangan lo…”
“Please beri aku kesempatan.”
Mela menghela nafas dan menggeleng. Namun Ardhi masih tidak mau kalah dan terus melancarkan aksinya. Dia terus memaksa bahwa perbedaan itu bisa disatukan. Tak tahu kenapa, Mela jadi kesal dengannya. Dia yang Mela kenal dulu bukan orang yang seperti itu, tapi kenapa sekarang dia menyebalkan. Memaksakan kehendaknya sendiri. “Kita menikah di luar negeri!”
Mela terkejut. Dia menelan ludah. Mela benar-benar merasa menjadi salah satu selebritis Indonesia yang akan menelurkan sensasi dan akan segera menjadi tokoh utama dalam gosip teman-teman kantor. Ini tidak masuk akal. Bagaimana caranya mengatakan bahwa dia sudah tak menyukai Ardhi.
Brukkkk!!! Ketika bunyi itu bergemuruh, saat itu juga Mela melihat Ardhi telah tersungkur di lantai restoran. Kursi yang didudukinya tak kalah menyedihkan. Sudut bibirnya berdarah, dan dia mengerang kesakitan.
“Kamu tidak boleh mengambilnya.” Mela menoleh. Kimura ada di sebelahnya, tangannya mengepal dengan nafas tersengal. “Aku tak akan mengijinkanmu!” Tatapnya penuh ancaman pada Ardhi. Mereka sukses jadi penghibur para pengunjung hari ini. “Ayo…!” Kimura menyeret gadis itu setelah meninggalkan beberapa lembar uang bernilai tinggi di meja.
Sepanjang perjalanan Mela terdiam, tak jauh beda dengan Kimura. Pria itu mendadak dingin. Mela ketakutan semobil dengannya. Pria ini tak seperti pria biasanya, yang setiap bertemu Mela akan terlihat riang. Dia duduk di sebelah supir, dan Mela duduk di kursi belakang. Dia bisa melihat wajah Kimura yang tegang dari kaca spion.
Hari masih pagi ketika ketukan pintu apartement terdengar nyaring di telinga Mela. Wajahnya pucat, matanya sembab. Beruntung karena hari minggu, dia tak perlu repot-repot memikirkan apa yang akan dipikirkan orang dengan tampilan itu. Mela segera berlari ke pintu dan tak ingin menebak siapa yang ada dibaliknya. Mela terbengong. Dan segera mendorong pria itu menjauh, lalu berjalan tergesa keluar gedung. Angin pagi terasa menusuk tulang sumsum. Kimura mengikutinya dari belakang.
“Gomen’ nasai…(aku minta maaf)” Ujarnya menghentikan langkah Mela. Gadis itu berbalik dan mengerutkan kening. “Dia merebut kekasihku.” Kalimat Kimura kali ini terdengar menyakitkan Mela. Air matanya tak menetes, namun hatinya perih. Gadis yang menjadi tunangan Ardhi adalah kekasihnya. “Aku tak akan pernah memaafkannya…”
Mela menangis dalam hati. “Dia telah membatalkannya… Kimura san tak perlu khawatir lagi…” Jadi ini maksud kedatangannya. Untuk menyayat hatinya.
Kimura menggeleng. Dan melihat gadis itu berjalan menjauh. Dan semakin jauh. Dia juga mendengar kalau gadis itu menangis. Kimura tak ingin melihat Mela menangis lagi seperti ketika dia hampir menabraknya beberapa bulan lalu. “Mela san…” Gadis itu berhenti. “Aku tak mau dia melakukan itu lagi terhadapku. Aku tak mau kehilanganmu juga. Aishiteimasu…”
Bodoh. Kenapa Mela berpikir kalau baru saja Kimura menyatakan cinta. Ini seperti mimpi yang terbang terlalu tinggi. Mela tak ingin jatuh dan kesakitan.
“Aku cinta kamu…” Ujar Kimura meyakinkan.
Itu adalah kalimat terindah yang pernah didengarnya.
“Are you okey?” Seseorang menurunkan kaca mobil. Hampir saja karena kecerobohan Mela, pria asing yang berbicara dengan aksen aneh itu akan masuk penjara. Atau supirnya? Tapi dia malah membanting pintu dan mengkhawatirkan kondisi Mela yang tak sedikitpun tersentuh mobil. Mela menggeleng. Heran dengan pria ajaib yang tak memaki karena jalannya sudah terganggu.
“Arigatou gozaimasu. Konnichiwa…(Terima kasih banyak. Selamat siang…)” Mela membungkuk ke puluhan lawan bicaranya. Dia seorang Interpreter bahasa Jepang. Karenanya tak heran jika para orang-orang Jepang menyukainya. Termasuk Mr. Kimura yang baru dilihatnya hari ini, namun terasa familiar di penglihatannya. Tapi dimana? Mela tersenyum kearahnya sambil mengucapkan kalimat panjang yang tak di mengerti peserta meeting dan mulai membenahi agenda yang berserakan di meja. Setelah membungkuk, dia berpamitan dengan Mr. Kimura yang sepertinya enggan membiarkan gadis itu pergi. Namun, dia tak bisa berbuat apa-apa.
Mela merasa puas dengan apa yang dikerjakannya hari ini, membantu menerjemahkan apa yang dikatakan Mr. Kimura yang berkewarganegaraan Jepang. Perusahaan tempat Mela bekerja merupakan perusahaan yang sahamnya mayoritas dimiliki oleh negeri sakura itu.
Lelah seharian bekerja tak menyurutkan niat Mela untuk menyempatkan mampir di restoran langganannya. Ardhi dulu sering membawanya ke tempat ini. Namun, itu semua berakhir sejak Ardhi memutuskan untuk bertunangan dengan wanita lain. Enam bulan lalu. Lagipula dia merasa tak punya hak untuk memaksakan perasaan Ardhi untuk dapat menyukainya, apalagi memaksakan keyakinan yang berbeda. Dia akhirnya mengerti mengapa para selebritis harus kabur ke luar negeri hanya untuk melangsungkan pernikahan.
“Boleh saya duduk disini?” Seseorang yang membuyarkan lamunannya dengan bahasa Indonesia yang resmi namun terbata. Seolah untuk mengatakan kalimat pendek itu dia berpikir dengan susah payah. Disini memang Mela sering mendapat sapaan resmi dari para pengunjung, namun ketika dia membalasnya dengan bahasa Jepang fasih mereka akan tersenyum senang. Bangga karena menemukan orang Indonesia yang menguasai bahasanya.
Mela menoleh dan tersenyum. Lalu mengangguk. Dia tak membungkuk seperti yang biasa dilakukannya ketika di kantor, mengangguk sudah cukup bagi orang Indonesia. Batinnya.
Mela senang karena ternyata Mr. Kimura bisa memperlakukannya sebagai teman ketika diluar kantor. Mereka sepakat untuk menggunakan bahasa Jepang saja ketika mengobrol. Kimura tak pandai berbahasa Indonesia.
Mela bekerja sama dengan banyak orang Jepang setiap harinya, tapi dia tak pernah mendapat perlakuan spesial ketika terpaksa menumpang di mobil mereka untuk pulang saat jam terlalu larut. Tapi malam ini Mr. Kimura bersedia turun dan membukakan pintu mobil untuknya. Dia gugup. Sedangkan supir Mr. Kimura hanya memperhatikan mereka dari kaca spion.
Mela memelototi mobil Mr. Kimura sampai menghilang di tikungan. Dia tersenyum. Diam-diam memuji ketampanan pria itu. Juga sifat baiknya. Jantungnya berdegup kencang mengingat ketika pria itu membukakan pintu mobil. Dia jatuh cinta. Tak perlu melewati proses yang panjang dan penuh liku seperti apa yang pernah dirasakannya dulu terhadap Ardhi, hanya dalam hitungan detik, ketika dia membukakan pintu mobil, Mela langsung jatuh cinta. Adegan ketika dia turun dari mobil terlihat tak asing, Mela merasa pernah mengalami sebelumnya.
Tapi kemudian dia membekap mulutnya sendiri, menghentikan senyuman penuh cinta yang tergambar jelas di wajah cantik yang terbingkai rambut hitam panjang nan pekat. Dia menunduk sedih. Dulu, Mela tak pernah mengaku menyukai Ardhi. Itu sangat menyiksa. Now, apa dia harus melakukannya lagi? Memendam perasaan itu karena dia tak mau berpindah keyakinan atau sebaliknya, memaksakan keyakinan orang yang disukainya. Lagipula, mengapa Mela sangat percaya diri kalau Mr. Kimura yang cerdas, yang merupakan perwakilan dari kantor pusat kami di Jepang, yang baru pertama kali ditemuinya ini akan menyukai Mela? Seorang Indonesia yang pasti bukan kriterianya. Tubuh Mela tak terlalu tinggi, meski bisa dibilang cukup proporsional. Kulitnya juga tak sepucat dan sebersih orang-orang Jepang.
“Moshimoshi…(Hallo…) Mela san… Anata wa dokoni imasu (Kamu dimana)?” Suara Mr. Kimura diujung ponsel membuat senyum Mela mengembang. Setiap hari, pagi siang malam, pria itu selalu menanyakan keberadaannya, apa yang sedang ia lakukan, Mela sampai bingung mengartikan perhatian itu. Dia harus senang atau sedih karena tak bisa berharap banyak dari hubungan ini.
Mela menyebut restoran langganannya. Dia menenggak Ocha (Teh hijau) dingin sampai tak bersisa, lalu memanggil pelayan untuk mengisi ulang gelasnya. Tubuh Mela panas dan gemetaran setiap kali pria itu menelepon. Dan seingatnya, seharusnya pria itu masih berada di Jepang sampai seminggu kedepan.
Hari dimana dia mengantar Mela pulang adalah hari pembuka jalan bagi Kimura untuk mengajak gadis itu di waktu berikutnya. Beberapa kali meminta Interpreter lain untuk menggantikan tugas Mela demi bisa mengajak gadis itu keluar.
Kening Mela berkerut mendengar sambungan telepon terputus. Dan tiba-tiba saja Kimura sudah berada di hadapannya. Wajahnya kusut. Dan sedikit kurus. Seharusnya banyak makanan lezat yang dapat ditemuinya di Jepang dibanding negara ini.
“Kimura san?” Pekik Mela sambil berdiri terkejut. Gugup. “Tanggal berapa sekarang?” Tanya gadis itu kebingungan lalu meraih kalender di meja. Pengunjung di sekeliling tampak memperhatikannya. “Seharusnya…”
Kimura tersenyum, menghentikan kalimat Mela yang mengambang. Lalu memanggil pelayan dan memesan makanan yang sama dengan apa yang sedang terhidang di meja Mela. Sushi. Dia senang karena makanan khas negaranya menjadi makanan favorit Mela
Mata Mela berkedip-kedip penasaran. Menunggu pria itu mengatakan sesuatu.
Kimura mengedikkan bahu. “I don’t know…” Aksen bahasa inggrisnya terdengar aneh dan lagi-lagi tak asing. Tapi dimana Mela pernah mendengarnya.
Mela sangat senang. Berkali-kali dia mematut gaya di depan cermin. Kimono berwarna merah muda itu sangat pas di tubuhnya. Dia telah satu jam berusaha memahami cara menggunakan pakaian itu. Tak semudah yang dibayangkan. Dia harus memelototi google untuk bisa segera lulus dari ujian ini. Kimura memberikannya sebagai oleh-oleh dan meminta Mela segera mengirimkan foto dirinya yang sedang mengenakan pakaian tersebut. Dengan malu-malu Mela mengambil gambarnya sendiri yang beradu pandang dengannya di cermin.
“Moshimoshi…” Ujarnya riang. Pasti Kimura sudah melihat potret dirinya mengenakan kimono. Mela menatap pipinya yang bersemu merah di cermin.
“Melanie…” Ini bukan dialek Jepang. Kaki Mela lemas. Dia terduduk di tepian tempat tidur. Mengapa dia harus menelepon sekarang? Bukankah seharusnya dia menikah minggu depan? Aku? Kenapa bukan gue?
Sejam setelah Ardhi menghubunginya, Mela segera menuju tempat mereka janjian. Dari awal gadis itu sudah menolak untuk bertemu dengan Ardhi, toh luka itu sudah mulai membaik. Bahkan lebih baik dari apa yang dipikirnya sebelum bertemu Kimura. Tapi, Mela tak bisa menolak ketika mendengar suara Ardhi yang memohon meminta kesediaannya. Pria itu pernah mengisi ruang terdalam dalam hatinya. Dan dia belum yakin kalau nama Ardhi telah benar-benar terhapus.
Mela menepis tangan Ardhi yang hendak menyentuh pipinya ketika menyambut kedatangan Mela. Ada apa dengan Mela? Pria itu tak bersalah. Dia hanya menerima takdirnya. Dijodohkan. “Mel… Please…”
Mela menarik kursi asal. “Sudah hampir setahun menghilang dan tiba-tiba muncul lagi.” Ketus. Entah mengapa Mela tak merasa senang dengan pertemuan ini.
Mela terkejut mendengar Ardhi membatalkan pernikahannya. Ini kabar baik atau kabar buruk? Haruskah dia bersorak? Namun, dia tak berkomentar. “Aku suka sama kamu. Aku nggak mau kehilangan kamu. Setahun tanpamu benar-benar berat. Aku…” Ardhi terbata. Lalu tersenyum. Matanya berbinar karena akhirnya berani mengakui perasaannya.
Mela menatap Ardhi tak mengerti.
“Bukankah kamu menyukaiku? Kamu menangisi keputusanku saat itu. Kamu kecewa karena aku tak memilihmu. Kamu…”
Kening Mela berkerut. Bukan ini yang sekarang diinginkannya. Kepalanya berputar-putar, rasanya berat, panas dan seperti terbakar. Dan ketika pelayan datang membawakan Ogura, es krim kacang merah kesukaannya, Mela tak mau melewatkannya. Tak menghiraukan Ardhi yang kebingungan, tidak juga perduli siapa yang memesan minuman ini. “Lo temen yang baik. Dan gue dulu sempet suka sama lo. Tapi…” Kalimat Mela menggantung. “Kembalilah ke tunangan lo…”
“Please beri aku kesempatan.”
Mela menghela nafas dan menggeleng. Namun Ardhi masih tidak mau kalah dan terus melancarkan aksinya. Dia terus memaksa bahwa perbedaan itu bisa disatukan. Tak tahu kenapa, Mela jadi kesal dengannya. Dia yang Mela kenal dulu bukan orang yang seperti itu, tapi kenapa sekarang dia menyebalkan. Memaksakan kehendaknya sendiri. “Kita menikah di luar negeri!”
Mela terkejut. Dia menelan ludah. Mela benar-benar merasa menjadi salah satu selebritis Indonesia yang akan menelurkan sensasi dan akan segera menjadi tokoh utama dalam gosip teman-teman kantor. Ini tidak masuk akal. Bagaimana caranya mengatakan bahwa dia sudah tak menyukai Ardhi.
Brukkkk!!! Ketika bunyi itu bergemuruh, saat itu juga Mela melihat Ardhi telah tersungkur di lantai restoran. Kursi yang didudukinya tak kalah menyedihkan. Sudut bibirnya berdarah, dan dia mengerang kesakitan.
“Kamu tidak boleh mengambilnya.” Mela menoleh. Kimura ada di sebelahnya, tangannya mengepal dengan nafas tersengal. “Aku tak akan mengijinkanmu!” Tatapnya penuh ancaman pada Ardhi. Mereka sukses jadi penghibur para pengunjung hari ini. “Ayo…!” Kimura menyeret gadis itu setelah meninggalkan beberapa lembar uang bernilai tinggi di meja.
Sepanjang perjalanan Mela terdiam, tak jauh beda dengan Kimura. Pria itu mendadak dingin. Mela ketakutan semobil dengannya. Pria ini tak seperti pria biasanya, yang setiap bertemu Mela akan terlihat riang. Dia duduk di sebelah supir, dan Mela duduk di kursi belakang. Dia bisa melihat wajah Kimura yang tegang dari kaca spion.
Hari masih pagi ketika ketukan pintu apartement terdengar nyaring di telinga Mela. Wajahnya pucat, matanya sembab. Beruntung karena hari minggu, dia tak perlu repot-repot memikirkan apa yang akan dipikirkan orang dengan tampilan itu. Mela segera berlari ke pintu dan tak ingin menebak siapa yang ada dibaliknya. Mela terbengong. Dan segera mendorong pria itu menjauh, lalu berjalan tergesa keluar gedung. Angin pagi terasa menusuk tulang sumsum. Kimura mengikutinya dari belakang.
“Gomen’ nasai…(aku minta maaf)” Ujarnya menghentikan langkah Mela. Gadis itu berbalik dan mengerutkan kening. “Dia merebut kekasihku.” Kalimat Kimura kali ini terdengar menyakitkan Mela. Air matanya tak menetes, namun hatinya perih. Gadis yang menjadi tunangan Ardhi adalah kekasihnya. “Aku tak akan pernah memaafkannya…”
Mela menangis dalam hati. “Dia telah membatalkannya… Kimura san tak perlu khawatir lagi…” Jadi ini maksud kedatangannya. Untuk menyayat hatinya.
Kimura menggeleng. Dan melihat gadis itu berjalan menjauh. Dan semakin jauh. Dia juga mendengar kalau gadis itu menangis. Kimura tak ingin melihat Mela menangis lagi seperti ketika dia hampir menabraknya beberapa bulan lalu. “Mela san…” Gadis itu berhenti. “Aku tak mau dia melakukan itu lagi terhadapku. Aku tak mau kehilanganmu juga. Aishiteimasu…”
Bodoh. Kenapa Mela berpikir kalau baru saja Kimura menyatakan cinta. Ini seperti mimpi yang terbang terlalu tinggi. Mela tak ingin jatuh dan kesakitan.
“Aku cinta kamu…” Ujar Kimura meyakinkan.
Itu adalah kalimat terindah yang pernah didengarnya.
Wednesday, April 16, 2014
THE SECRET ADMIRER
Aku mendapat surat itu lagi. Entah darimana datangnya dan siapa pengirimnya. Yang aku tahu bahwa benda itu sudah berada di laci meja di waktu yang bersamaan untuk tiga hari berturut-turut. Mungkin pengirimnya terlalu terobsesi padaku namun terlalu pengecut untuk bersikap gentle dan berani terang-terangan mengungkapkan perasaannya. Hm… Apa enaknya menyembunyikan perasaan? Kemarin lusa memuji kuncir ekor kudaku yang katanya menggemaskan, kemarin bilang bahwa aku cocok menggunakan bandana pink, dan hari ini dia sudah membuatku melayang dengan pujiannya yang selangit mengenai poni baruku yang kupotong sendiri dengan asal. Aku berencana mengepang penuh rambutku esok—dia akan memuji atau akan mengomentari dandananku yang kuno? Just wait and see.
Akhirnya petualanganku mencari bukti-bukti mulai berjalan. Dengan teliti aku memelototi satu persatu setumpuk buku tugas yang Pak Dahlan, guru sejarah, minta untuk kumpulkan. Aku hanya perlu mencocokkan karakter tulisan di sampul buku dan surat-surat itu. Mudah-mudahan ada petunjuk sehingga aku tak akan mati penasaran. Ternyata ini manfaatku ditempatkan sebagai sekretaris di kelas. Sungguh beruntung…
“Elena…”
Aku menoleh dan menjatuhkan salah satu buku dari tangan. Terlalu terkejut dengan panggilan itu. Dengan kikuk aku mencari-cari alasan untuk mengelabuhi Pak Dahlan yang memandang sarat kecurigaan. Pria itu berjongkok untuk membantu mengambil dan menyatukan kembali buku itu ke posisi teratas.
“Terima kasih.” Kataku tulus. “Saya ingin membawanya ke ruangan Bapak.” Awalnya Pak Dahlan ragu, namun akhirnya dia luluh juga meskipun mengomel mengapa aku tak meminta bantuin murid-murid laki-laki dan malah mengerjakannya sendiri. Misiku gagal…
Hari keempat. Tuh kan, apa kubilang... Surat itu datang lagi—sebuah pujian disertai kritikan yang lagi-lagi membuatku melayang. “Kepang dua? Kuno bangettt… Tapi kalau itu Elena sih semuanya jadi WOW!!!… You look so beautiful… Always…” Kalimat itu bahkan diakhiri dengan gambar sebuah karakter wajah yang kedua bola matanya mengeluarkan simbol cinta berwarna merah hati. Yaampun… Ini orang pasti cinta mati sama aku. Dengan gusar mataku menyapu sekeliling, berharap ada satu orang saja yang mencurigakan sehingga aku tak perlu menebak-nebak lagi dan langsung menandai bahwa dialah pelakunya. Inilah kerugiannya jika kita tak punya teman sebangku, tak ada sahabat dekat yang bisa merangkap jadi mata-mata. Maklum… Ini adalah SMA terfavorit sepanjang masa. Ibarat kata, biarpun harus merelakan uang jajan setiap hari, aku rela asalkan bisa mendapat satu tempat saja di sekolah ini. Kembali aku menyisiri dua puluh bangku kosong yang tertata rapi—seluruh penghuninya sedang asik menjelajahi dunia maya di ruang komputer sudut sekolah. Aku hanya perlu mengambil sebuah buku catatan yang tertinggal karena buru-buru tadi.
Tanpa perduli lagi aku membiarkan kakiku berjalan menyusuri koridor sekolah dan melewati sederet kelas yang sibuk. Dan ketika aku kebetulan menoleh ke salah satu ruangan dimana ada sosok Pak Dahlan menjulang di bibir pintu, dia tersenyum ramah—kelewat ramah sampai-sampai aku punya pikiran buruk tentangnya. Bagaimana mungkin aku menebak bahwa pria berwajah bersih itulah pelakunya? Memang sih dia ”terkesan” lebih memperhatikanku dibanding murid lain. Tapi... Tidak mungkin! Pasti aku terlalu percaya diri. Aku balas tersenyum dan berlalu secepat mungkin dari pandangannya.
Sepulang sekolah tak henti-hentinya aku memikirkan kejadian aneh ini. Siapa yang berani berbuat tak berani tanggung jawab? Kembali wajah Pak Dahlan memenuhi pelupuk mata—menguasai seluruh ruang pikirku. Tak salah jika dia menyukaiku, aku tak menyalahkannya juga.
Single—check(√). Mapan—check(√). Ganteng—check(√). Kaya—check(√).
Aneh. Kriteria orang seperti Pak Dahlan harus terdampar, menghabiskan sisa umurnya di kelas dan bukannya menjadi obyek sampul majalah. Nama Pak Dahlan bahkan jauh lebih terkenal dibanding cowok paling TOP di sekolah ini. Tapi… Apa aku harus menerima perasaan guruku? Aku hanya seorang siswi berumur enam belas tahun yang masih harus melewati ujian kelulusan dua tahun lagi. Masih jauh jika harus terjerat kisah cinta yang serius dengan pria berumur. Haishhhh… Memikirkan seorang pengagum rahasia rasanya menyenangkan, tapi ketika mengingat kandidatnya rasanya menjengkelkan! Aku bukan penggemar Pak Dahlan seperti cewek-cewek itu yang berani malu dengan meneriaki namanya bak artis Korea. “Bukan gue bangettttttt…” Amit-amit jabang bayi tujuh turunan jangan sampai kejadian.
Pagi-pagi sekali aku sudah tiba di sekolah. Pertama menghindari kemacetan Jakarta dan yang kedua ingin melihat wajah fresh Randy ketika pagi hari. Cowok itu tak terlalu tampan, memiliki tubuh yang tak atletis dan juga bukan juara kelas. Tapi setiap melihatnya hatiku berdebar. Darahku berdesir. Tubuhku gemetaran. Dan menurut artikel yang pernah aku baca, bahwa gejala-gejala inilah yang dinamakan cinta. It’s all about love. Aku berharap bahwa Randy lah pelaku kejadian-kejadian yang menimpaku akhir-akhir ini. Bukan Pak Dahlan atau orang lain. Tapi jika diamati dari gerak geriknya, aku bahkan tidak berani bertaruh bahwa dia pernah mendengar ataupun mengenal ada seorang gadis bernama Elena di sekolah ini.
“Hei… Ada yang bisa gue bantu?”
Aku sungguh terkejut, tak menyangka dia menyadari keberadaanku. Pasti karena aku terbengong dan tanpa sadar berjalan terlalu dekat ke kelasnya yang masih satu lorong dengan kelasku. Seperti biasa dia sedang asik mengobrol dengan teman-teman sekelasnya dari kelas XI. “Eh… Kak… Anu… Ehm, lagi nyari orang tapi kayaknya bukan di kelas ini deh…” Ujarku ngawur. Semoga dia termakan omonganku. Amin…
Randy manggut-manggut sambil mengerutkan kening. Aku memanfaatkan detik berikutnya untuk kabur dan ingin segera menghilang dibalik pintu kelas. Tapi sungguh—aku tak pernah bermimpi dia akan memanggil namaku apalagi memuji penampilanku.
“Lena!!!” Panggilnya terasa aneh—namun tak terlalu buruk. Elena, biasanya semua orang menyebut namaku, tapi Lena? It’s ok. Aku berhenti dan membalikkan badan. Dia berlari kearahku dan “Rambut kamu lucu banget…” Ujarnya sambil tersenyum dan memainkan ujung kuncir ekor kudaku. Tubuhku melemas. Mimpi apa aku semalam…???
“Bengong, tertawa, manyun… Kamu tetap cantik!” Oh My Goooooooodddddd!!! Surat kaleng itu bahkan tiba lebih cepat dibanding waktu kedatanganku. Tergeletak sempurna di laci dengan amplop biru terang. Warna kesukaanku. Aku membacanya mual—berharap ini semua akan segera berakhir. Kembali aku menyapu pandangan ke sekeliling ruangan yang seperti biasanya—tak seorangpun. Dan biarpun tadi aku terbengong didepan Randy, aku yakin pelakunya bukan dia. Benda itu sukses membuatku gelisah. Galau.
Mama dan Papa pernah menceritakan asal muasal bagaimana cara mereka saling mengungkapkan perasaan, bertukar pujian satu sama lain, maupun saling janjian bertemu muka. Dulu. Itu semua dilakukan dengan surat. Tapi bukan surat tanpa alamat seperti yang aku terima sekarang, dan kenapa sih harus surat? Kenapa tidak telepon atau sms saja? Romantis sebenarnya, kalau saja itu Randy yang mengirimkan. Tapi ini… Siapa kurirnya saja belum diketahui, bagaimana cara mencari penulisnya? Sungguh melelahkan.
Dengan kesal aku melempar tas dan membanting pintu membuat seisi rumah bergetar. Aku bisa menebak jelas apa yang akan terjadi berikutnya. “Elenaaaaaaaaa!!!” Tuh, benar kan? Pasti dalam hitungan ketiga wanita itu sudah sampai di depan kamar dan melotot memprotes kelakuan anak gadisnya. “Kamu ini! Kebiasaan! Apa kamu berencana menghancurkan rumah ini dan membuat keluarga kita tinggal di kolong jembatan?”
Dengan kikuk aku memamerkan sederet gigi putihku yang rapi dan terawat. Tak menjawab apapun karena itu berarti akan memancing emosi Mama berikutnya. Terkadang diam itu lebih baik daripada dibanding bicara hal yang tak berguna.
Sebulan sudah berlalu sejak kejadian itu. Kejadian dimana Randy “ternyata” mengetahui namaku. Sungguh senang rasanya mengingat hal ini. Sejak saat itu, di hari berikutnya dia selalu menyapaku lebih dulu. Tak lupa dia memuji penampilanku setiap kali kami berpapasan dan tak ada saksi mata. Benar-benar susah ditebak. Bagaimana sebenarnya perasaannya?
Aku memasuki kelas sambil menenteng kamus bahasa inggris yang jika dimasukkan tas bisa membuat tinggiku semakin menurun. Dan seperti biasa, aku penasaran dengan isi laciku dari hari ke hari. Ya, meskipun kesal karena tak juga bisa menebak—tapi harus kuakui bahwa itu sudah menjadi salah satu alasanku untuk datang ke sekolah lebih pagi. Candu.
Tapi sungguh—jauh di lubuk hatiku aku sangat berharap bahwa itu Randy. Dialah yang mengirimkan surat-surat itu selama ini. Dialah yang jadi pengagum rahasiaku. Apa mungkin?
“Hai cewek rajin… Pasti hari ini kamu membawa benda berat yang menyebalkan itu… Cemunguuuuth” Aku menepok jidat. Tersenyum mendengar kata rajin dan mendadak migrain mendengar kata terakhir. Aku memang terlahir sebagai anak moderen, gaul, dan smart! Kata teman-teman. Tapi kata itu? OMG!!! Mau dibawa kemana negara ini kalau bahasa yang digunakan sekarang makin ngawur dan tak terarah. Bagaimana EYD kita perlahan-lahan memudar? Mereka semua harus segera disadarkan.
Pak Dahlan memasuki ruang kelas dan langsung menghipnotis seisi ruangan dengan ceritanya mengenai kehidupan manusia purba yang hidup nomaden. Aku langsung merasa sedang bermain film The vampire diaries. Aku sebagai Elena, dan dia—Alaric. Guru sejarah yang mempunyai kekuatan gaib hanya karena sebuah cincin. Dia memang orang yang pandai bercerita, tapi—Ya Tuhan… Dia sungguh tak cocok menjadi seorang guru, seharusnya dia berjalan di catwalk dengan pakaian modis dan bukannya memakai seragam membosankan itu.
Tak lama kemudian dia selesai bercerita dan membuat dua puluh pasang mata kecewa karena ternyata di akhir ceritanya lahir sebuah tugas. Aku tersenyum. Inilah kehidupan di sekolah. Selalu saja terbuai dengan cerita dan ujung-ujungnya malas mengerjakan tugas.
“Pak, bisa nggak sih sekali-sekali kami diberi kebebasan…” Ujar salah seorang dari kami. Aku mengangguk menyetujui tak jauh beda dengan yang lain. Laki-laki itu langsung menyetujui pendapat itu. “Ciyus???” Aihhhhh kata-kata itu lagi. Seluruh isi ruangan bersorak.
“Setelah jam pelajaran saya selesai…” Sontak mereka semua ber-huuuuu ria dan saling melempar kalimat-kalimat asal yang bisa membuat telinga panas ataupun membuat senyum Pak Dahlan terkembang. Pak Dahlan memandang kearahku—tersenyum. Oh Nooooooo!!!
Dan pagi ini misiku tak boleh gagal. Aku sudah meminta Mama untuk membangunkanku lebih pagi sehingga aku pasti akan menangkap basah si kurir pagi-pagi. Aku akan mendapatkan jawaban hari ini. So, let’s go!
Kakiku melangkah ringan—tapi hatiku terasa berat. Aku sungguh takut menghadapi kenyataan pahit. Pasti bukan Pak Dahlan. Apa orang lain? Jika saja dia Randy…
Dengan gugup aku mengintip ruang kelas. Hanya ada seorang gadis pendiam yang “Gilaaaaa… Culun banget…” Namanya Rasti—dan dia adalah murid paling kuno yang pernah aku temui di belahan bumi Indonesia. Sifatnya yang tertutup membuat seisi ruangan ogah berdekatan dengannya, hanya jika ketiban sial mereka mau menerima kehadirannya sebagai anggota kelompok dalam diskusi. Beruntung karena meja kami agak jauh sehingga kemungkinan aku berada satu kelompok dengannya sangat kecil. Syukurlah…
Tapi tunggu! Apa yang sedang dia lakukan? Mataku terus mengikuti gerak-geriknya. Dan sumpah… Berani kaya mendadak! Berani ditembak cowok ganteng! Dia menuju ke mejaku dan membawa sebuah—amplop! Jadi dia kurirnya? “Rasti!” Suratnya terjatuh. “Lo ngapain dimeja gue? Itu… Surat itu… Siapa sebenernya yang nulis?” Gadis itu menunduk. Ketakutan. Mungkin aku terlalu kasar menegurnya. Seharusnya aku bisa bersikap lebih baik—tapi, aku sudah tak sabar mengintrogasinya. Dalam hitungan detik saja aku sudah menghujaninya dengan banyak pertanyaan. Tapi tak satupun kata keluar dari mulutnya. Membuat aku gemas dan serasa ingin melahapnya. “Lo nggak mau jawab pertanyaan gue?”
Dia menggeleng pelan tak berani menatapku yang sudah bertolak pinggang. Aku merasa menjadi orang yang paling kejam di dunia saat ini.
“Gue..”
Gendang telingaku seolah pecah. Aku memang pernah mendengar bahwa dia adalah seorang lesbian, tapi aku tak pernah menyangka bahwa orang yang dia sukai adalah aku. Tubuhku melemas. Wajah Pak Dahlan melintas—pria itu lebih baik dibanding Rasti. Dan Randy—ternyata cowok itu berada terlalu jauh didepanku. Aku menangis… Ini adalah berita paling buruk selama hidupku.
Akhirnya petualanganku mencari bukti-bukti mulai berjalan. Dengan teliti aku memelototi satu persatu setumpuk buku tugas yang Pak Dahlan, guru sejarah, minta untuk kumpulkan. Aku hanya perlu mencocokkan karakter tulisan di sampul buku dan surat-surat itu. Mudah-mudahan ada petunjuk sehingga aku tak akan mati penasaran. Ternyata ini manfaatku ditempatkan sebagai sekretaris di kelas. Sungguh beruntung…
“Elena…”
Aku menoleh dan menjatuhkan salah satu buku dari tangan. Terlalu terkejut dengan panggilan itu. Dengan kikuk aku mencari-cari alasan untuk mengelabuhi Pak Dahlan yang memandang sarat kecurigaan. Pria itu berjongkok untuk membantu mengambil dan menyatukan kembali buku itu ke posisi teratas.
“Terima kasih.” Kataku tulus. “Saya ingin membawanya ke ruangan Bapak.” Awalnya Pak Dahlan ragu, namun akhirnya dia luluh juga meskipun mengomel mengapa aku tak meminta bantuin murid-murid laki-laki dan malah mengerjakannya sendiri. Misiku gagal…
Hari keempat. Tuh kan, apa kubilang... Surat itu datang lagi—sebuah pujian disertai kritikan yang lagi-lagi membuatku melayang. “Kepang dua? Kuno bangettt… Tapi kalau itu Elena sih semuanya jadi WOW!!!… You look so beautiful… Always…” Kalimat itu bahkan diakhiri dengan gambar sebuah karakter wajah yang kedua bola matanya mengeluarkan simbol cinta berwarna merah hati. Yaampun… Ini orang pasti cinta mati sama aku. Dengan gusar mataku menyapu sekeliling, berharap ada satu orang saja yang mencurigakan sehingga aku tak perlu menebak-nebak lagi dan langsung menandai bahwa dialah pelakunya. Inilah kerugiannya jika kita tak punya teman sebangku, tak ada sahabat dekat yang bisa merangkap jadi mata-mata. Maklum… Ini adalah SMA terfavorit sepanjang masa. Ibarat kata, biarpun harus merelakan uang jajan setiap hari, aku rela asalkan bisa mendapat satu tempat saja di sekolah ini. Kembali aku menyisiri dua puluh bangku kosong yang tertata rapi—seluruh penghuninya sedang asik menjelajahi dunia maya di ruang komputer sudut sekolah. Aku hanya perlu mengambil sebuah buku catatan yang tertinggal karena buru-buru tadi.
Tanpa perduli lagi aku membiarkan kakiku berjalan menyusuri koridor sekolah dan melewati sederet kelas yang sibuk. Dan ketika aku kebetulan menoleh ke salah satu ruangan dimana ada sosok Pak Dahlan menjulang di bibir pintu, dia tersenyum ramah—kelewat ramah sampai-sampai aku punya pikiran buruk tentangnya. Bagaimana mungkin aku menebak bahwa pria berwajah bersih itulah pelakunya? Memang sih dia ”terkesan” lebih memperhatikanku dibanding murid lain. Tapi... Tidak mungkin! Pasti aku terlalu percaya diri. Aku balas tersenyum dan berlalu secepat mungkin dari pandangannya.
Sepulang sekolah tak henti-hentinya aku memikirkan kejadian aneh ini. Siapa yang berani berbuat tak berani tanggung jawab? Kembali wajah Pak Dahlan memenuhi pelupuk mata—menguasai seluruh ruang pikirku. Tak salah jika dia menyukaiku, aku tak menyalahkannya juga.
Single—check(√). Mapan—check(√). Ganteng—check(√). Kaya—check(√).
Aneh. Kriteria orang seperti Pak Dahlan harus terdampar, menghabiskan sisa umurnya di kelas dan bukannya menjadi obyek sampul majalah. Nama Pak Dahlan bahkan jauh lebih terkenal dibanding cowok paling TOP di sekolah ini. Tapi… Apa aku harus menerima perasaan guruku? Aku hanya seorang siswi berumur enam belas tahun yang masih harus melewati ujian kelulusan dua tahun lagi. Masih jauh jika harus terjerat kisah cinta yang serius dengan pria berumur. Haishhhh… Memikirkan seorang pengagum rahasia rasanya menyenangkan, tapi ketika mengingat kandidatnya rasanya menjengkelkan! Aku bukan penggemar Pak Dahlan seperti cewek-cewek itu yang berani malu dengan meneriaki namanya bak artis Korea. “Bukan gue bangettttttt…” Amit-amit jabang bayi tujuh turunan jangan sampai kejadian.
Pagi-pagi sekali aku sudah tiba di sekolah. Pertama menghindari kemacetan Jakarta dan yang kedua ingin melihat wajah fresh Randy ketika pagi hari. Cowok itu tak terlalu tampan, memiliki tubuh yang tak atletis dan juga bukan juara kelas. Tapi setiap melihatnya hatiku berdebar. Darahku berdesir. Tubuhku gemetaran. Dan menurut artikel yang pernah aku baca, bahwa gejala-gejala inilah yang dinamakan cinta. It’s all about love. Aku berharap bahwa Randy lah pelaku kejadian-kejadian yang menimpaku akhir-akhir ini. Bukan Pak Dahlan atau orang lain. Tapi jika diamati dari gerak geriknya, aku bahkan tidak berani bertaruh bahwa dia pernah mendengar ataupun mengenal ada seorang gadis bernama Elena di sekolah ini.
“Hei… Ada yang bisa gue bantu?”
Aku sungguh terkejut, tak menyangka dia menyadari keberadaanku. Pasti karena aku terbengong dan tanpa sadar berjalan terlalu dekat ke kelasnya yang masih satu lorong dengan kelasku. Seperti biasa dia sedang asik mengobrol dengan teman-teman sekelasnya dari kelas XI. “Eh… Kak… Anu… Ehm, lagi nyari orang tapi kayaknya bukan di kelas ini deh…” Ujarku ngawur. Semoga dia termakan omonganku. Amin…
Randy manggut-manggut sambil mengerutkan kening. Aku memanfaatkan detik berikutnya untuk kabur dan ingin segera menghilang dibalik pintu kelas. Tapi sungguh—aku tak pernah bermimpi dia akan memanggil namaku apalagi memuji penampilanku.
“Lena!!!” Panggilnya terasa aneh—namun tak terlalu buruk. Elena, biasanya semua orang menyebut namaku, tapi Lena? It’s ok. Aku berhenti dan membalikkan badan. Dia berlari kearahku dan “Rambut kamu lucu banget…” Ujarnya sambil tersenyum dan memainkan ujung kuncir ekor kudaku. Tubuhku melemas. Mimpi apa aku semalam…???
“Bengong, tertawa, manyun… Kamu tetap cantik!” Oh My Goooooooodddddd!!! Surat kaleng itu bahkan tiba lebih cepat dibanding waktu kedatanganku. Tergeletak sempurna di laci dengan amplop biru terang. Warna kesukaanku. Aku membacanya mual—berharap ini semua akan segera berakhir. Kembali aku menyapu pandangan ke sekeliling ruangan yang seperti biasanya—tak seorangpun. Dan biarpun tadi aku terbengong didepan Randy, aku yakin pelakunya bukan dia. Benda itu sukses membuatku gelisah. Galau.
Mama dan Papa pernah menceritakan asal muasal bagaimana cara mereka saling mengungkapkan perasaan, bertukar pujian satu sama lain, maupun saling janjian bertemu muka. Dulu. Itu semua dilakukan dengan surat. Tapi bukan surat tanpa alamat seperti yang aku terima sekarang, dan kenapa sih harus surat? Kenapa tidak telepon atau sms saja? Romantis sebenarnya, kalau saja itu Randy yang mengirimkan. Tapi ini… Siapa kurirnya saja belum diketahui, bagaimana cara mencari penulisnya? Sungguh melelahkan.
Dengan kesal aku melempar tas dan membanting pintu membuat seisi rumah bergetar. Aku bisa menebak jelas apa yang akan terjadi berikutnya. “Elenaaaaaaaaa!!!” Tuh, benar kan? Pasti dalam hitungan ketiga wanita itu sudah sampai di depan kamar dan melotot memprotes kelakuan anak gadisnya. “Kamu ini! Kebiasaan! Apa kamu berencana menghancurkan rumah ini dan membuat keluarga kita tinggal di kolong jembatan?”
Dengan kikuk aku memamerkan sederet gigi putihku yang rapi dan terawat. Tak menjawab apapun karena itu berarti akan memancing emosi Mama berikutnya. Terkadang diam itu lebih baik daripada dibanding bicara hal yang tak berguna.
Sebulan sudah berlalu sejak kejadian itu. Kejadian dimana Randy “ternyata” mengetahui namaku. Sungguh senang rasanya mengingat hal ini. Sejak saat itu, di hari berikutnya dia selalu menyapaku lebih dulu. Tak lupa dia memuji penampilanku setiap kali kami berpapasan dan tak ada saksi mata. Benar-benar susah ditebak. Bagaimana sebenarnya perasaannya?
Aku memasuki kelas sambil menenteng kamus bahasa inggris yang jika dimasukkan tas bisa membuat tinggiku semakin menurun. Dan seperti biasa, aku penasaran dengan isi laciku dari hari ke hari. Ya, meskipun kesal karena tak juga bisa menebak—tapi harus kuakui bahwa itu sudah menjadi salah satu alasanku untuk datang ke sekolah lebih pagi. Candu.
Tapi sungguh—jauh di lubuk hatiku aku sangat berharap bahwa itu Randy. Dialah yang mengirimkan surat-surat itu selama ini. Dialah yang jadi pengagum rahasiaku. Apa mungkin?
“Hai cewek rajin… Pasti hari ini kamu membawa benda berat yang menyebalkan itu… Cemunguuuuth” Aku menepok jidat. Tersenyum mendengar kata rajin dan mendadak migrain mendengar kata terakhir. Aku memang terlahir sebagai anak moderen, gaul, dan smart! Kata teman-teman. Tapi kata itu? OMG!!! Mau dibawa kemana negara ini kalau bahasa yang digunakan sekarang makin ngawur dan tak terarah. Bagaimana EYD kita perlahan-lahan memudar? Mereka semua harus segera disadarkan.
Pak Dahlan memasuki ruang kelas dan langsung menghipnotis seisi ruangan dengan ceritanya mengenai kehidupan manusia purba yang hidup nomaden. Aku langsung merasa sedang bermain film The vampire diaries. Aku sebagai Elena, dan dia—Alaric. Guru sejarah yang mempunyai kekuatan gaib hanya karena sebuah cincin. Dia memang orang yang pandai bercerita, tapi—Ya Tuhan… Dia sungguh tak cocok menjadi seorang guru, seharusnya dia berjalan di catwalk dengan pakaian modis dan bukannya memakai seragam membosankan itu.
Tak lama kemudian dia selesai bercerita dan membuat dua puluh pasang mata kecewa karena ternyata di akhir ceritanya lahir sebuah tugas. Aku tersenyum. Inilah kehidupan di sekolah. Selalu saja terbuai dengan cerita dan ujung-ujungnya malas mengerjakan tugas.
“Pak, bisa nggak sih sekali-sekali kami diberi kebebasan…” Ujar salah seorang dari kami. Aku mengangguk menyetujui tak jauh beda dengan yang lain. Laki-laki itu langsung menyetujui pendapat itu. “Ciyus???” Aihhhhh kata-kata itu lagi. Seluruh isi ruangan bersorak.
“Setelah jam pelajaran saya selesai…” Sontak mereka semua ber-huuuuu ria dan saling melempar kalimat-kalimat asal yang bisa membuat telinga panas ataupun membuat senyum Pak Dahlan terkembang. Pak Dahlan memandang kearahku—tersenyum. Oh Nooooooo!!!
Dan pagi ini misiku tak boleh gagal. Aku sudah meminta Mama untuk membangunkanku lebih pagi sehingga aku pasti akan menangkap basah si kurir pagi-pagi. Aku akan mendapatkan jawaban hari ini. So, let’s go!
Kakiku melangkah ringan—tapi hatiku terasa berat. Aku sungguh takut menghadapi kenyataan pahit. Pasti bukan Pak Dahlan. Apa orang lain? Jika saja dia Randy…
Dengan gugup aku mengintip ruang kelas. Hanya ada seorang gadis pendiam yang “Gilaaaaa… Culun banget…” Namanya Rasti—dan dia adalah murid paling kuno yang pernah aku temui di belahan bumi Indonesia. Sifatnya yang tertutup membuat seisi ruangan ogah berdekatan dengannya, hanya jika ketiban sial mereka mau menerima kehadirannya sebagai anggota kelompok dalam diskusi. Beruntung karena meja kami agak jauh sehingga kemungkinan aku berada satu kelompok dengannya sangat kecil. Syukurlah…
Tapi tunggu! Apa yang sedang dia lakukan? Mataku terus mengikuti gerak-geriknya. Dan sumpah… Berani kaya mendadak! Berani ditembak cowok ganteng! Dia menuju ke mejaku dan membawa sebuah—amplop! Jadi dia kurirnya? “Rasti!” Suratnya terjatuh. “Lo ngapain dimeja gue? Itu… Surat itu… Siapa sebenernya yang nulis?” Gadis itu menunduk. Ketakutan. Mungkin aku terlalu kasar menegurnya. Seharusnya aku bisa bersikap lebih baik—tapi, aku sudah tak sabar mengintrogasinya. Dalam hitungan detik saja aku sudah menghujaninya dengan banyak pertanyaan. Tapi tak satupun kata keluar dari mulutnya. Membuat aku gemas dan serasa ingin melahapnya. “Lo nggak mau jawab pertanyaan gue?”
Dia menggeleng pelan tak berani menatapku yang sudah bertolak pinggang. Aku merasa menjadi orang yang paling kejam di dunia saat ini.
“Gue..”
Gendang telingaku seolah pecah. Aku memang pernah mendengar bahwa dia adalah seorang lesbian, tapi aku tak pernah menyangka bahwa orang yang dia sukai adalah aku. Tubuhku melemas. Wajah Pak Dahlan melintas—pria itu lebih baik dibanding Rasti. Dan Randy—ternyata cowok itu berada terlalu jauh didepanku. Aku menangis… Ini adalah berita paling buruk selama hidupku.
Friday, April 4, 2014
HIDUP TAK SEINDAH MIMPI
Aku tersenyum dan membuang nafas lega seraya menyambut kedatangannya dari balik kepulan hitam yang menelan malam. Tembok Rumah sakit itu bahkan tak mampu mempertahankan keputihan warnanya di jam selarut ini. Pukul sembilan lewat dua menit. Hanya selang waktu tiga puluh menit semenjak aku menelepon dan memintanya menjemput. Wajahnya tak secerah biasanya. Mungkin karena malam, sehingga terlihat pucat. Lama kuamati wajah itu—dekat—dan semakin terlihat. Senyumnya terkesan dipaksakan. Tapi aku tahu kalau itu tulus. Dia selalu tulus terhadapku.
“Nunggu lama?” Tanyanya hati-hati dengan mulut tertahan. Sepertinya kondisinya tak terlalu sehat. Bibirnya mengering dan pucat. Aku menatapnya khawatir. Selalu saja dia menomorduakan kesehatannya demi aku. Menyesal telah memintanya datang. “Ayo…” Ajaknya menggandeng tanganku. Hangat merayap, mengalir, menyerap dingin yang menggerogoti telapak tangan. Kami menembus hitam, membelah angin yang dinginnya membuat sakit gigiku semakin tak terkira.
Selama perjalanan kami tak saling bertukar suara. Hanya sesekali aku menanyakan untuk memastikan keadaannya yang terlihat buruk, namun laki-laki itu selalu menggeleng dan memaksakan senyum. Miris melihat pemandangan ini. Hubungan kami sudah sampai di tahap dimana kami tak bisa disebut “teman” lagi, tapi dia selalu menolak memberikanku kesempatan untuk merawatnya atau sekedar mencemaskan kondisinya ketika keadaannya seperti sekarang. Aku tahu dia punya keluarga yang memperhatikan, tapi apa salah jika aku ingin belajar merawatnya. Menjaganya. Memperlakukannya dengan hal yang sama seperti apa yang telah dia lakukan terhadapku.
Keesokan harinya aku tak melihat Mas Angga dimanapun. Dia datang terlambat atau ada meeting dimana ya? Pikirku kalut. Beberapa teman yang kutanyai malah tertawa mengolok-olok. “Seharusnya kami yang tanya.”
Aku mengenalnya beberapa bulan lalu ketika pertama kali bergabung di perusahaan ini. Dia sangat ramah, baik dan tak ragu-ragu mengajarkanku ilmu yang telah dia dapat. Dia juga tak segan menegur ataupun memberi masukan ketika aku melakukan hal yang salah. Hampir setiap hari dia memberikanku sesuatu, entah itu sebatang cokelat, setangkai mawar, ataupun makanan yang mengundang selera. Dia juga menyeretku ke tempat wisata setiap akhir pekan, memastikanku senang dan tak murung di rumah kontrakan. Akupun tak ragu untuk memintanya mendampingiku di acara-acara pernikahan dan menggandengnya bangga meskipun tak sekalipun dia melibatkanku ketika dia pribadi yang mendapat undangan. Tapi aku sangat menyukainya… Dan—Ibu, pasti sama sukanya denganku.
Aku berusaha menghubungi ponselnya yang tak aktif. Sudah puluhan kali aku mencobanya dan tak membuahkan hasil. Hanya operator yang masih setia menjawab panggilanku. BBM yang kukirim pending. Mungkin masa berlaku paketnya sudah habis. Hiburku namun tetap tak terhibur. Mas Angga membuatku sangat khawatir. Ini adalah pertama kalinya dia menghilang tanpa kabar, membuat hariku terasa menanjak—lebih lama dibanding ketika ada dia yang selalu setia mendampingiku. Kami pasangan yang sangat serasi di kantor. Apapun akan dia lakukan untukku.
“Mas, yaampun… Kemana aja?” Cecarku ketika dia baru menghubungi tengah hari. Sudah hampir gila aku dibuatnya.
Lama dia tak menjawab. Mungkin banyak yang sedang dipikirkannya sehingga dia melamun. Namun ketika mampu bersuara, aku langsung tahu bahwa kondisinya sedah tak baik. Dia bilang sedang tak enak badan sehingga ponselnya dimatikan. Kilatan kejadian semalam menghantui perasaanku. Aku yakin kalau semalam kondisinya benar-benar buruk ketika datang ke Rumah Sakit, tapi dia memaksakannya. Ini membuat rasa bersalahku semakin menjadi. Aku langsung meminta maaf.
Aku sangat khawatir mengenai kondisinya dan ingin segera menemuinya. Tapi dia tak mengijinkanku berkunjung. “Nggak enak sama orang rumah,” ujarnya tadi ketika aku memaksakan datang. Dia bahkan tak mempercayakan alamat rumahnya padaku. Membuatku sedih.
“Mas, nggak masuk lagi?” Ini adalah hari ketiga dia tak datang ke kantor. Aku sudah tak tahan untuk melihat keadaannya. Pasti kondisinya parah. Meskipun dia mengatakan baik-baik saja, tapi aku tidak bisa percaya begitu saja. Aku memaksanya memberikan alamat rumah padaku. “Mas takut kalau aku bakalan bikin kecewa keluarga Mas?” Tanyaku heran bercampur kesal.
“Bukan…” Aku membayangkan Mas Angga menggeleng ketika mengatakan ini. “Ok, kita bertemu di kafe biasa…” Jawabnya membuat mataku terbelalak. Mengapa dia sangat ketakutan ketika aku memaksa datang? Apa keluarganya sangat pemilih mengenai calon bagi putranya? Dan aku belum memenuhi kriteria itu.
Lama aku menunggu—makin malam makin tak nyaman. Duduk sendirian di kafe dalam keadaan larut begini akan menimbulkan fitnah. Bisa saja ada om-om yang tiba-tiba datang dan menawarku. Aku berdiri dan menatap sekeliling. Pengunjung kafe mulai sepi, berbeda ketika aku datang dua jam lalu, hanya untuk memanggil pelayan saja aku harus bersabar. Sekarang, mereka mulai berbenah dan menatapku curiga. Apa aku sebegitu buruknya di hadapan mereka??? “Dimana sih kamu Mas…” Keluhku sambil mencoba menghubungi ponselnya yang lagi-lagi tidak aktif.
Akhirnya aku kembali kerumah dengan perasaan gundah. Khawatir. Apa yang terjadi padanya sekarang? Biasanya aku akan marah dan mengomel panjang lebar ketika dia terlambat datang saat kami janjian bertemu, tapi kali ini aku sangat ingin melihatnya. Aku sangat merindukannya. Rasa kesalku tak sebanding dengan rasa rindu yang aku tahan selama beberapa hari. Aku ingin sekali menjadi orang yang mendampingi Mas Angga ketika kondisinya sakit seperti sekarang. Ketika aku sakit sebulan yang lalu, aku tak tahu harus meminta tolong pada siapa… Aku tak berani menghubungi keluargaku dan mengatakan bahwa putri semata wayangnya ini masuk Rumah Sakit karena typus. Pasti mereka akan mengomeliku karena tak makan dengan baik. Padahal aku hanya kecapekan. Dan Mas Angga—dia datang tanpa aku memintanya. Menjengukku sepulang kantor dan menghabiskan malamnya dengan meringkuk di sofa sebelah tempat tidurku. Bagaimana mungkin aku akan mengabaikan pria sebaik ini? Aku tak ingin kehilangannya.
Tidak ada kompromi. Pagi-pagi sekali aku datang ke kantor dan berharap telingaku menangkap kabar baik. Tapi—nihil. Belum ada kabar apapun yang mampu membunuh cemasku akan kondisi Mas Angga yang entah seperti apa sekarang.
Dengan tergesa aku menuju ruang HRD dan menyesal kenapa aku tak terpikir untuk mendatangi tempat ini sejak Mas Angga menghilang. Apa aku sebegitu paniknya?
“Don, bisa tolong liatin alamat karyawan nggak?” Tanyaku memasang tampang memelas. Biasanya dia tidak akan memberikan alamat karyawan pada sembarang orang. Takut disalahgunakan. Doni yang biasa dipanggil Donce memandang aku dengan penuh tanda tanya. Dia menjawab dengan suara gemulai dengan gerakan tangan tak jauh berbeda. Aku selalu ingin muntah melihat adegan ini. Tapi saat ini aku tak punya pilihan.
Berbekal secarik kertas dengan potongan asal aku berjalan dengan penuh percaya diri menelusuri gang yang tak memungkinkan dua mobil untuk saling berpapasan. Sesekali memandangi kertas yang telah kumal di saku celana kerja, dan mencocokkan tulisan itu dengan sederet rumah minimalis yang tak dipungkiri adalah jenis rumah idamanku—setelah berkeluarga kelak. Sudut bibirku tersenyum mengkhayalkan kehidupan kami, aku dan Mas Angga, serta anak-anak kami empat sampai lima tahun kedepan.
Langkah demi langkah aku nikmati hingga adzan magrib terasa mengejutkan. Aku bahkan tak menyadarinya. Lingkungan perumahan ini terasa damai dan menenangkan, aku ingin segera tiba dan memasuki salah satu bangunannya.
Gemetar. Keringat dingin. Jemariku kaku menunggu pemilik rumah membukakan pintu. Baru saja suara seorang wanita menjawab salam dengan lemah lembut dan menentramkan. Dari suaranya aku bisa menebak kalau usia wanita itu pasti tak jauh beda denganku. Tak lama kemudian, suara itu muncul dengan bentuk yang nyata. Seorang wanita berjilbab, aku memprediksi umurnya awal tiga puluhan, wajahnya biasa saja, namun tatapannya teduh dan menenangkan. Dia menyapaku dengan ramah, membuatku lega karena ternyata keluarga Mas Angga tak seburuk yang aku pikirkan. Pasti ini adik yang Mas Angga sering ceritakan.
“Saya Shinta, teman kantor Pak Angga…”
Dia mempersilakanku masuk, memintaku duduk dan bertanya apa yang ingin kuminum. Aku menggeleng mengucapkan terima kasih seraya memamerkan botol air mineral yang masih penuh. Namun, dia tak menerima alasanku dan memaksa akan membawakan minuman yang dipilihnya, sambil berjanji akan memanggil Mas Angga kehadapanku. Aku tersenyum senang.
Sebenarnya aku ingin menumpang sholat magrib terlebih dahulu, namun aku merasa akan lebih nyaman menumpahkan isi kepalaku ke Mas Angga. Sehingga aku bersabar mengunggu kedatangannya di ruang tamu. Detik berganti menit, aku sudah merubah posisi duduk dari lurus, menyamping dan sesekali berdiri mengamati beberapa bingkai foto yang dipajang terpisah dan tersebar di dinding ruangan. Satu, foto sepasang wanita dan pria berumur yang pasti orang tua Mas Angga. Dua, foto Mas Angga dan adiknya. Tiga, foto Mas Angga dan… Aku merenung sesaat sebelum berani menyimpulkan bahwa dua balita mungil yang ada dipangkuan itu adalah… putra putri Mas Angga??? Aku membekap mulut. Wanita tadi adalah…
“Shin…” Aku menoleh terkejut. “Kamu datang?” Tanya Mas Angga tak kalah terkejut. “Darimana kamu ta…”
Aku terdiam. Memandanginya penasaran, hingga ia bingung dan menghentikan kalimatnya. Tanpa basa-basi aku langsung menghujaninya dengan banyak pertanyaan. Siapa wanita tadi? Ada hubungan apa dia dengan anak-anak yang ada di pangkuan itu. Dan kenapa Mas Angga tak senang dengan kedatanganku. Dia hanya diam—tak mengatakan apapun. Mulutnya terkunci dan aku sedang berusaha mencarinya. Kepalanya tertunduk tak mampu menatapku. Aku pun sama—diam. Bahkan tak mampu lagi menanyakan keadaannya. Rasa sakitnya pasti tak sebanding dengan rasa sakit yang aku rasakan sekarang.
“Istri…” Ujarnya terbata. “Dan anak-anak kami…”
Tubuhku langsung membeku. Mati rasa. Tak memerlukan waktu lama untuk dapat membebaskan air mata yang sudah kutahan semenjak melihat potret itu. Tanganku mengepal keras, membuat buku-buku jariku memutih. Kepalannya mampu melukai telapak tangan yang seolah terbakar. Namun aku tak merasakan kesakitan. Hatiku jauh lebih sakit. Mengapa selama ini ia memberikan harapan palsu yang tak mungkin menjadi kenyataan? Mas Angga menatapku kalut dan berusaha meredam tangisku, mencoba meraih salah satu tangan yang langsung kutepis kasar. Lalu menyentuh bahu yang langsung kubalas dengan tamparan keras di sebelah pipinya. Dia tak mengelak, juga tak membalas. Bagaimana mungkin dia sepicik itu? Membiarkan benih-benih ini tumbuh, memupuknya rajin, hingga menghasilkan kuncup bunga dan memetiknya tak berperasaan sebelum ia sempat mekar. Kenapa ia tak membiarkanku mencari kebebasan sendiri dan memenjarakan aku di bilik yang telah penuh? Dan tak mungkin terisi lagi. Aku menangis.
“Dia adik sahabatku… Aku tak pernah mencintainya…”
Mas Angga mengatakan itu dengan dengan santai. Seolah ikrar yang telah ia janjikan sewaktu akad tak berarti apa-apa. Cinta atau tidak dia dengan wanita itu, namun mereka telah dikaruniai sepasang putra-putri lucu yang tak mungkin diingkari keberadaannya. Tapi mengapa dia tega sekali terhadap mereka? Juga terhadapku? Ternyata aku salah menilainya. Dia tak merasa bersalah sama sekali ketika mengatakan kalimat itu, seolah dia telah melupakan keberadaan kedua buah hatinya. Seharusnya dia malu pada dirinya sendiri.
Akhirnya aku memutuskan untuk pergi. Langkah kakiku panjang dan tergesa, tak menghiraukan panggilan Mas Angga yang “seolah” meneriakkan “Malinggg!!!” begitu keras, tak mengacuhkan tatapan penasaran yang terpancar jelas di wajah para pejalan kaki yang berbaju koko dan bergamis rapi melangkah ke masjid. Mereka menatapku seolah aku orang asing yang mencurigakan. Aku sakit. Sangat sakit. Bahkan rasa sakit saat putus dengan cinta pertamaku dulu tak sebesar ini. Aku sudah menambatkan hati ke orang yang salah. Orang yang tak layak. Orang yang tak patut dicintai.
“Nunggu lama?” Tanyanya hati-hati dengan mulut tertahan. Sepertinya kondisinya tak terlalu sehat. Bibirnya mengering dan pucat. Aku menatapnya khawatir. Selalu saja dia menomorduakan kesehatannya demi aku. Menyesal telah memintanya datang. “Ayo…” Ajaknya menggandeng tanganku. Hangat merayap, mengalir, menyerap dingin yang menggerogoti telapak tangan. Kami menembus hitam, membelah angin yang dinginnya membuat sakit gigiku semakin tak terkira.
Selama perjalanan kami tak saling bertukar suara. Hanya sesekali aku menanyakan untuk memastikan keadaannya yang terlihat buruk, namun laki-laki itu selalu menggeleng dan memaksakan senyum. Miris melihat pemandangan ini. Hubungan kami sudah sampai di tahap dimana kami tak bisa disebut “teman” lagi, tapi dia selalu menolak memberikanku kesempatan untuk merawatnya atau sekedar mencemaskan kondisinya ketika keadaannya seperti sekarang. Aku tahu dia punya keluarga yang memperhatikan, tapi apa salah jika aku ingin belajar merawatnya. Menjaganya. Memperlakukannya dengan hal yang sama seperti apa yang telah dia lakukan terhadapku.
Keesokan harinya aku tak melihat Mas Angga dimanapun. Dia datang terlambat atau ada meeting dimana ya? Pikirku kalut. Beberapa teman yang kutanyai malah tertawa mengolok-olok. “Seharusnya kami yang tanya.”
Aku mengenalnya beberapa bulan lalu ketika pertama kali bergabung di perusahaan ini. Dia sangat ramah, baik dan tak ragu-ragu mengajarkanku ilmu yang telah dia dapat. Dia juga tak segan menegur ataupun memberi masukan ketika aku melakukan hal yang salah. Hampir setiap hari dia memberikanku sesuatu, entah itu sebatang cokelat, setangkai mawar, ataupun makanan yang mengundang selera. Dia juga menyeretku ke tempat wisata setiap akhir pekan, memastikanku senang dan tak murung di rumah kontrakan. Akupun tak ragu untuk memintanya mendampingiku di acara-acara pernikahan dan menggandengnya bangga meskipun tak sekalipun dia melibatkanku ketika dia pribadi yang mendapat undangan. Tapi aku sangat menyukainya… Dan—Ibu, pasti sama sukanya denganku.
Aku berusaha menghubungi ponselnya yang tak aktif. Sudah puluhan kali aku mencobanya dan tak membuahkan hasil. Hanya operator yang masih setia menjawab panggilanku. BBM yang kukirim pending. Mungkin masa berlaku paketnya sudah habis. Hiburku namun tetap tak terhibur. Mas Angga membuatku sangat khawatir. Ini adalah pertama kalinya dia menghilang tanpa kabar, membuat hariku terasa menanjak—lebih lama dibanding ketika ada dia yang selalu setia mendampingiku. Kami pasangan yang sangat serasi di kantor. Apapun akan dia lakukan untukku.
“Mas, yaampun… Kemana aja?” Cecarku ketika dia baru menghubungi tengah hari. Sudah hampir gila aku dibuatnya.
Lama dia tak menjawab. Mungkin banyak yang sedang dipikirkannya sehingga dia melamun. Namun ketika mampu bersuara, aku langsung tahu bahwa kondisinya sedah tak baik. Dia bilang sedang tak enak badan sehingga ponselnya dimatikan. Kilatan kejadian semalam menghantui perasaanku. Aku yakin kalau semalam kondisinya benar-benar buruk ketika datang ke Rumah Sakit, tapi dia memaksakannya. Ini membuat rasa bersalahku semakin menjadi. Aku langsung meminta maaf.
Aku sangat khawatir mengenai kondisinya dan ingin segera menemuinya. Tapi dia tak mengijinkanku berkunjung. “Nggak enak sama orang rumah,” ujarnya tadi ketika aku memaksakan datang. Dia bahkan tak mempercayakan alamat rumahnya padaku. Membuatku sedih.
“Mas, nggak masuk lagi?” Ini adalah hari ketiga dia tak datang ke kantor. Aku sudah tak tahan untuk melihat keadaannya. Pasti kondisinya parah. Meskipun dia mengatakan baik-baik saja, tapi aku tidak bisa percaya begitu saja. Aku memaksanya memberikan alamat rumah padaku. “Mas takut kalau aku bakalan bikin kecewa keluarga Mas?” Tanyaku heran bercampur kesal.
“Bukan…” Aku membayangkan Mas Angga menggeleng ketika mengatakan ini. “Ok, kita bertemu di kafe biasa…” Jawabnya membuat mataku terbelalak. Mengapa dia sangat ketakutan ketika aku memaksa datang? Apa keluarganya sangat pemilih mengenai calon bagi putranya? Dan aku belum memenuhi kriteria itu.
Lama aku menunggu—makin malam makin tak nyaman. Duduk sendirian di kafe dalam keadaan larut begini akan menimbulkan fitnah. Bisa saja ada om-om yang tiba-tiba datang dan menawarku. Aku berdiri dan menatap sekeliling. Pengunjung kafe mulai sepi, berbeda ketika aku datang dua jam lalu, hanya untuk memanggil pelayan saja aku harus bersabar. Sekarang, mereka mulai berbenah dan menatapku curiga. Apa aku sebegitu buruknya di hadapan mereka??? “Dimana sih kamu Mas…” Keluhku sambil mencoba menghubungi ponselnya yang lagi-lagi tidak aktif.
Akhirnya aku kembali kerumah dengan perasaan gundah. Khawatir. Apa yang terjadi padanya sekarang? Biasanya aku akan marah dan mengomel panjang lebar ketika dia terlambat datang saat kami janjian bertemu, tapi kali ini aku sangat ingin melihatnya. Aku sangat merindukannya. Rasa kesalku tak sebanding dengan rasa rindu yang aku tahan selama beberapa hari. Aku ingin sekali menjadi orang yang mendampingi Mas Angga ketika kondisinya sakit seperti sekarang. Ketika aku sakit sebulan yang lalu, aku tak tahu harus meminta tolong pada siapa… Aku tak berani menghubungi keluargaku dan mengatakan bahwa putri semata wayangnya ini masuk Rumah Sakit karena typus. Pasti mereka akan mengomeliku karena tak makan dengan baik. Padahal aku hanya kecapekan. Dan Mas Angga—dia datang tanpa aku memintanya. Menjengukku sepulang kantor dan menghabiskan malamnya dengan meringkuk di sofa sebelah tempat tidurku. Bagaimana mungkin aku akan mengabaikan pria sebaik ini? Aku tak ingin kehilangannya.
Tidak ada kompromi. Pagi-pagi sekali aku datang ke kantor dan berharap telingaku menangkap kabar baik. Tapi—nihil. Belum ada kabar apapun yang mampu membunuh cemasku akan kondisi Mas Angga yang entah seperti apa sekarang.
Dengan tergesa aku menuju ruang HRD dan menyesal kenapa aku tak terpikir untuk mendatangi tempat ini sejak Mas Angga menghilang. Apa aku sebegitu paniknya?
“Don, bisa tolong liatin alamat karyawan nggak?” Tanyaku memasang tampang memelas. Biasanya dia tidak akan memberikan alamat karyawan pada sembarang orang. Takut disalahgunakan. Doni yang biasa dipanggil Donce memandang aku dengan penuh tanda tanya. Dia menjawab dengan suara gemulai dengan gerakan tangan tak jauh berbeda. Aku selalu ingin muntah melihat adegan ini. Tapi saat ini aku tak punya pilihan.
Berbekal secarik kertas dengan potongan asal aku berjalan dengan penuh percaya diri menelusuri gang yang tak memungkinkan dua mobil untuk saling berpapasan. Sesekali memandangi kertas yang telah kumal di saku celana kerja, dan mencocokkan tulisan itu dengan sederet rumah minimalis yang tak dipungkiri adalah jenis rumah idamanku—setelah berkeluarga kelak. Sudut bibirku tersenyum mengkhayalkan kehidupan kami, aku dan Mas Angga, serta anak-anak kami empat sampai lima tahun kedepan.
Langkah demi langkah aku nikmati hingga adzan magrib terasa mengejutkan. Aku bahkan tak menyadarinya. Lingkungan perumahan ini terasa damai dan menenangkan, aku ingin segera tiba dan memasuki salah satu bangunannya.
Gemetar. Keringat dingin. Jemariku kaku menunggu pemilik rumah membukakan pintu. Baru saja suara seorang wanita menjawab salam dengan lemah lembut dan menentramkan. Dari suaranya aku bisa menebak kalau usia wanita itu pasti tak jauh beda denganku. Tak lama kemudian, suara itu muncul dengan bentuk yang nyata. Seorang wanita berjilbab, aku memprediksi umurnya awal tiga puluhan, wajahnya biasa saja, namun tatapannya teduh dan menenangkan. Dia menyapaku dengan ramah, membuatku lega karena ternyata keluarga Mas Angga tak seburuk yang aku pikirkan. Pasti ini adik yang Mas Angga sering ceritakan.
“Saya Shinta, teman kantor Pak Angga…”
Dia mempersilakanku masuk, memintaku duduk dan bertanya apa yang ingin kuminum. Aku menggeleng mengucapkan terima kasih seraya memamerkan botol air mineral yang masih penuh. Namun, dia tak menerima alasanku dan memaksa akan membawakan minuman yang dipilihnya, sambil berjanji akan memanggil Mas Angga kehadapanku. Aku tersenyum senang.
Sebenarnya aku ingin menumpang sholat magrib terlebih dahulu, namun aku merasa akan lebih nyaman menumpahkan isi kepalaku ke Mas Angga. Sehingga aku bersabar mengunggu kedatangannya di ruang tamu. Detik berganti menit, aku sudah merubah posisi duduk dari lurus, menyamping dan sesekali berdiri mengamati beberapa bingkai foto yang dipajang terpisah dan tersebar di dinding ruangan. Satu, foto sepasang wanita dan pria berumur yang pasti orang tua Mas Angga. Dua, foto Mas Angga dan adiknya. Tiga, foto Mas Angga dan… Aku merenung sesaat sebelum berani menyimpulkan bahwa dua balita mungil yang ada dipangkuan itu adalah… putra putri Mas Angga??? Aku membekap mulut. Wanita tadi adalah…
“Shin…” Aku menoleh terkejut. “Kamu datang?” Tanya Mas Angga tak kalah terkejut. “Darimana kamu ta…”
Aku terdiam. Memandanginya penasaran, hingga ia bingung dan menghentikan kalimatnya. Tanpa basa-basi aku langsung menghujaninya dengan banyak pertanyaan. Siapa wanita tadi? Ada hubungan apa dia dengan anak-anak yang ada di pangkuan itu. Dan kenapa Mas Angga tak senang dengan kedatanganku. Dia hanya diam—tak mengatakan apapun. Mulutnya terkunci dan aku sedang berusaha mencarinya. Kepalanya tertunduk tak mampu menatapku. Aku pun sama—diam. Bahkan tak mampu lagi menanyakan keadaannya. Rasa sakitnya pasti tak sebanding dengan rasa sakit yang aku rasakan sekarang.
“Istri…” Ujarnya terbata. “Dan anak-anak kami…”
Tubuhku langsung membeku. Mati rasa. Tak memerlukan waktu lama untuk dapat membebaskan air mata yang sudah kutahan semenjak melihat potret itu. Tanganku mengepal keras, membuat buku-buku jariku memutih. Kepalannya mampu melukai telapak tangan yang seolah terbakar. Namun aku tak merasakan kesakitan. Hatiku jauh lebih sakit. Mengapa selama ini ia memberikan harapan palsu yang tak mungkin menjadi kenyataan? Mas Angga menatapku kalut dan berusaha meredam tangisku, mencoba meraih salah satu tangan yang langsung kutepis kasar. Lalu menyentuh bahu yang langsung kubalas dengan tamparan keras di sebelah pipinya. Dia tak mengelak, juga tak membalas. Bagaimana mungkin dia sepicik itu? Membiarkan benih-benih ini tumbuh, memupuknya rajin, hingga menghasilkan kuncup bunga dan memetiknya tak berperasaan sebelum ia sempat mekar. Kenapa ia tak membiarkanku mencari kebebasan sendiri dan memenjarakan aku di bilik yang telah penuh? Dan tak mungkin terisi lagi. Aku menangis.
“Dia adik sahabatku… Aku tak pernah mencintainya…”
Mas Angga mengatakan itu dengan dengan santai. Seolah ikrar yang telah ia janjikan sewaktu akad tak berarti apa-apa. Cinta atau tidak dia dengan wanita itu, namun mereka telah dikaruniai sepasang putra-putri lucu yang tak mungkin diingkari keberadaannya. Tapi mengapa dia tega sekali terhadap mereka? Juga terhadapku? Ternyata aku salah menilainya. Dia tak merasa bersalah sama sekali ketika mengatakan kalimat itu, seolah dia telah melupakan keberadaan kedua buah hatinya. Seharusnya dia malu pada dirinya sendiri.
Akhirnya aku memutuskan untuk pergi. Langkah kakiku panjang dan tergesa, tak menghiraukan panggilan Mas Angga yang “seolah” meneriakkan “Malinggg!!!” begitu keras, tak mengacuhkan tatapan penasaran yang terpancar jelas di wajah para pejalan kaki yang berbaju koko dan bergamis rapi melangkah ke masjid. Mereka menatapku seolah aku orang asing yang mencurigakan. Aku sakit. Sangat sakit. Bahkan rasa sakit saat putus dengan cinta pertamaku dulu tak sebesar ini. Aku sudah menambatkan hati ke orang yang salah. Orang yang tak layak. Orang yang tak patut dicintai.
Friday, March 28, 2014
YOU’RE MY EVERYTHING
Segerombolan orang panik dan berjalan kearah UGD. Aku menduga kalau sedang terjadi sesuatu disana. Kecelakaan—pikirku getir. Iba. Tak jauh dari tempatku, duduk pasangan muda yang saling bertukar senyum menunggu kelahiran buah hati mereka. Pasti itu anak pertama. Membuatku ikut tersenyum mengingat masa indah itu. Di sudut ruangan, ada sebuah apotek yang antriannya bisa membuat orang berpikir untuk melarikan diri dibanding menebus obat yang sebenarnya bisa saja ditebus diluar. Aku membuang muka—tak tertarik.
“Nyonya Aulia…”
Namaku dipanggil oleh seorang suster yang memegang daftar antrian. Dia tersenyum ramah kemudian mempersilakanku masuk. Aku balas tersenyum seraya mengucapkan terima kasih dan menyapa dokter kandungan yang membantu persalinan Rendra tiga tahun silam. Dokter itu masih cantik. Pasti hidupnya bahagia tanpa tekanan. Seperti kontrol bulan-bulan sebelumnya dia menanyakan kabar juga keluhan yang aku rasakan selama masa kehamilan. Tak lupa dia menanyakan keberadaan Mas Agung juga Rendra. Aku menjawab datar. “Sedang dalam perjalanan Dok. Kebetulan dinas pagi. Putra saya sedang menginap di rumah eyangnya,” ujarku berbohong. Aku tidak mungkin curhat masalah pribadi untuk mendapatkan simpatinya.
“Ibu harus makan lebih banyak. Jangan lupa minum vitamin.” Dokter menegaskan karena hasil pemeriksaannya kurang memuaskan. “Tidak boleh… harus dipaksakan…” Ujarnya setelah aku mengatakan bahwa di kehamilan yang kali ini aku sangat mual ketika mencium aroma susu. Faktor tekanan juga membuatku kurang bernafsu untuk menyantap makanan. Dimana lagi aku harus mencari pengasuh untuk Rendra?
Mas Agung datang tak lama setelah aku menebus obat di apotek yang pengantrinya sudah menyusut. Alhamdulillah... Dengan setelan rapi warna keabuan dia tersenyum dan melangkah mantap kearahku. Itulah pesonanya yang berhasil mengjungkirbalikkan hatiku lima tahun lalu saat kami pertama kali bertemu. Menyapa kemudian mengelus perutku mesra. Semua orang memandang iri. Kami tidak perduli.
“Bunda…!” Rendra berjingkrak gembira melihat kedatangan kami. Pasti dia sangat merindukan kedua orangtuanya. Sepulang kerja tadi, tak sabar ingin segera bertemu dengan Rendra, namun aku juga tak bisa mengabaikan kehamilanku yang sudah menginjak bulan ke enam. Aku sayang pada Rendra—juga janin yang sedang kukandung. Tak perlu menunggu lama hingga taxi pesananku datang. Taxi bergerak pelan membelah kemacetan kota, waktu terbuang sia-sia. Begitupun ketika sampai di Rumah Sakit, dokter terlambat ke ruang praktek. Dari informasi yang kuperoleh, dia sedang ada pasien melahirkan. Bukan suatu hal yang patut dibesar-besarkan, karena aku pernah berada di posisi pasien tersebut. Aku harus memaafkannya.
“Kakak…” Sambutku antusias dan menghambur memeluk putraku yang semakin kurus. Aku menciuminya sedih. Suamiku melakukan hal yang sama setelahnya. Hanya saja dia tidak sampai meneteskan air mata. Rendra terlihat mengantuk, sepertinya karena lelah bermain—atau jangan-jangan lelah menangisiku selama dua hari. Jarak antara rumah kami—kantorku—tempat tinggal Ibu sebenarnya tak terlalu jauh. Namun kota ini tak selengang ketika aku datang merantau tujuh tahun lalu. Semua terasa menyesakkan. Aku malas menyetir mobil dan berjuang dengan kemacetan kota dalam kondisi hamil yang sudah terbilang tua ini. Sangat melelahkan. Jadi kuputuskan untuk menitipkan Rendra dengan Ibu yang tinggal dengan saudara perempuanku. Berkali-kali aku mendapatkan pembantu, namun hanya beberapa bulan saja mereka bertahan. Beberapa orang pamit pulang dan menghilang—beberapa orang sisanya kuberhentikan karena tidak bisa membagi waktu antara mengurus rumah dan mengasuh putraku, Rendra.
Malam ini aku datang untuk menjemput Rendra, karena esok sabtu dan minggu. Aku libur. Seharusnya ada pekerjaan yang harus aku selesaikan, namun aku berencana berkeliling seputar perumahan untuk mencari tempat penitipan anak. Makin sedih aku membayangkan hal ini.
Setelah seminggu di tiap akhir petang aku berkeliling, akhirnya aku memutuskan memilih salah satu tempat penitipan anak yang tidak jauh dari rumah. Hari ini adalah hari ketiga yang pasti masih sulit untuk Rendra. Dia menangis terisak, menyayat hatiku. Tidak tega aku meninggalkan dia di tempat asing ini—di tengah kumpulan orang asing yang tak ia kenal. Mas Agung yang seorang aparat kepolisian dinas malam dan baru pulang jam delapan nanti. “Aku nggak mau sekolah, Bunda…” Rengeknya membuat hatiku makin perih. Dengan sabar para pengasuh di tempat ini merayu Rendra, mengajaknya bermain hingga berhasil melupakanku. Aku mengendap-endap untuk melarikan diri.
Aku bekerja di sebuah perusahaan swasta yang jam kerjanya benar-benar mengikat. Jam tujuh sampat empat sore. Tidak kurang dan tidak lebih. Ini membuat ruang gerakku sebagai ibu rumah tangga sangat terbatas. Jarang memasak—pasti. Bersih-bersih apalagi. Ketika kutinggalkan tadi rumah dalam keadaan berantakan. Kadang aku merasa tidak enak dengan Mas Agung, apa dia memilih pasangan hidup yang tepat. “Gimana Rendra? Sudah bisa menyesuaikan?” Tanya salah satu rekan kerjaku. Aku menggeleng sedih. “Hari ini dia masih rewel,” ujarku. Baru saja aku menelepon salah satu pengasuh dan dia mengatakan hal itu.
Berdasarkan referensi dari beberapa teman yang menyebutkan beberapa yayasan pembantu rumah tangga aku menghubunginya satu-persatu. Berharap akan mendapatkan satu yang cocok. Yang sesuai denganku. Yang bisa mengambil hati putraku. Tapi pemikiran ini membuatku semakin berduka, bagaimana mungkin aku rela ada orang lain yang mampu menggantikan posisiku? Dan berita itu tak sesuai harapan. Beberapa yayasan menetapkan peraturan yang membuat kepalaku hampir pecah, sisanya menetapkan tarif yang tinggi namun tidak sesuai dengan kriteria yang aku harapkan. Tuhan… Apa ini rencanamu…
Pagi ini sangat cerah. Secerah hatiku ketika bisa mempersiapkan makan pagi untuk Mas Agung dan mengantar Rendra ke penitipan anak. Ya, aku memutuskan untuk tetap mengirimnya ke tempat itu meskipun aku sedang cuti pra melahirkan. Hanya saja, aku akan menjemputnya ketika semua pekerjaan rumah sudah selesai. Kadang sebelum jam makan siang aku sudah sampai di tempat itu dan melihat keceriaan Rendra yang menyambut kedatanganku. Sesekali dia bolos, biasanya itu atas permintaannya. “Kakak senang kalau Bunda dirumah,” ujarnya terdengar pilu. “Kakak nggak mau sekolah ah…” Tambahnya membuatku iba. Kemudian mengacuhkan pekerjaan rumah dan memilih bermain dengannya. Suamiku tersenyum tak kalah cerah—seolah keberadaanku dirumah “sepanjang hari” memang yang diinginkannya. Ini membuat malamku terasa panjang—tidurku tak lelap. Aku terus memikirkan kemungkinan untuk mengundurkan diri. Dan ketika pemikiran itu semakin matang, muncul pemikiran lain yang mengurangi keyakinanku untuk berani mengambil resiko tersebut.
Beberapa minggu berlalu sejak aku cuti. Dan aku menikmati hari-hari yang semakin lama semakin menyenangkan. Sangat menyenangkan. Melihat tawa Rendra yang diiringi lesung pipit—sungguh rupawan putraku. Mewarisi bentuk wajah ayahnya. Aku tahu. Aku sadar. Bahwa mereka berdua pun sangat menikmati keberadaanku. Aku bahkan merasa bahwa mereka terlalu berlebihan memperlakukanku, seolah memanfaatkan waktuku yang tersisa dirumah, yang hanya tinggal sedikit lagi. Aku gelisah… Kutatap wajah tenang Chandra—putri cantik yang baru saja ku aqiqah. Dia terlelap. Wajahnya polos. Tanpa dosa. Tangan kecilnya kugenggam—erat. Apa aku akan menitipkannya juga ke yayasan? Aku menangis dalam hati.
“Bun…” Panggilan Mas Agung membuyarkan lamunanku. “Apa yang Bunda pikirkan?” Tanyanya sambil melangkah kearahku. Seragamnya sangat rapi—dan dia yang melakukannya sendiri. Tanpa aku. Miris membayangkan ini.
Aku menggeleng lalu membuang nafas. Menatap wajahnya yang tirus. “Yah… Kalau aku kerja lagi, anak-anak gimana ya?” Tanyaku gamang.
Mas Agung terdiam. Lalu duduk di sisi tempat tidur, sama seperti yang aku lakukan. Lama aku menunggu jawabannya. Dia hanya diam, lalu membelai pipi Chandra kemudian mencolek hidung mungil bocah itu. “Kalau menurut Bunda gimana?” Tanyanya balik. Aku mengedikkan bahu.
“Kan aku minta pendapat Ayah. Kok Ayah balik bertanya?”
Mas Agung menoleh lalu menggeser tubuh. Kedua tangannya mendarat di bahuku. Lembut. Dia selalu memperlakukanku seperti itu, seolah aku benda berharga yang mudah hancur. Dia tak pernah menuntut apapun dariku. Sekalipun. Aku sungguh beruntung memilikinya. “Bunda ingin jawaban apa?” Aku mengerutkan kening. Lalu merengut kearahnya. “Apa saja…” ujarku parau.
“Janji tidak akan marah?”
Aku menggerak-gerakkan bibir. Resah. Apa yang ada dipikirannya sekarang? Aku menatapnya. “Hanya satu orang yang bisa melakukannya. Bukan Ayah. Bukan orang lain.” Kami saling bertatapan. “Tapi Bunda…” Mas Agung tersenyum penuh arti membelai pipiku.
Mataku berkedip-kedip. Berusaha membatalkan air mata yang nyaris tumpah. Aku bahagia mendengarnya. Aku bahagia atas kepercayaannya. Haru. Tapi apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku terisak.
“Kenapa Bunda menangis?”
Dengan cepat aku memeluk Mas Agung. Memeluknya erat. Aku bisa merasakan kalau dia tersenyum. “Apa selama ini Ayah kecewa sama Bunda?” Tanyaku tak jelas karena diiringi tangis.
Mas Agung menarik tubuhku menjauh dan menuntut kejelasan atas pertanyaanku. “Bunda adalah Ibu yang baik. Sabar. Jadi tidak ada alasan bagi Ayah untuk kecewa sama Bunda. Kenapa Bunda berkata seperti itu?”
Bagaimana mungkin suami yang sebaik ini tega kusia-siakan? Surgaku adalah telapak kakinya. Aku hanya harus berbakti kepadanya. Materi memang bisa membuat hidup manusia di dunia menjadi penuh kejutan. Tapi apa itu bisa menjamin kebahagiaan? Aku baru belajar tentang ini sekarang, ketika aku bangun, dan buru-buru menyiapkan sarapan. Bukannya sibuk menyiapkan diri sendiri untuk menumpuk materi yang sebenarnya sudah cukup dari penghasilan Mas Agung.
“Iya… Sebentar Nak…”
Aku tergesa menuju teras rumah. Baru saja Rendra berteriak bahwa bekalnya tertinggal. Dalam hitungan detik aku telah berada dihadapan pria kecilku dan menyerahkan kotak roti bakar dan segelas susu hangat. Dia tidak terbiasa sarapan dirumah. Chandra tersenyum dalam dekapanku—tangan mungilnya memainkan ujung kerah. Di sudut garasi, Mas Agung sedang sibuk memanaskan mobil untuk mengantar Rendra sebelum menuju kantornya. Semalam dia libur. Sedangkan hari ini dia dinas pagi. Jam kerjanya tiap hari bergantian antara dinas pagi dan dinas malam.
Akhirnya bulan lalu, hari dimana aku harus kembali ke kantor untuk pertama kalinya. Pada hari itu juga aku datang dan membawa surat pengunduran diriku. Aku sudah memikirkannya berkali-kali dan hasilnya sama. Ini adalah jalan yang terbaik. Untukku. Suamiku. Dan anak-anakku. Aku tidak harus pontang-panting mencari pembantu. Suamiku bahagia karena aku selalu berada dirumah ketika dia berangkat dan pulang kerja. Rendra-pun senang karena dia tidak dititipkan ke yayasan lagi. Kami memasukkannya ke PAUD (Pendidikan anak usia dini). Dan Chandra—aku akan mengurus dan membesarkannya dengan tanganku sendiri. Dengan kasih sayangku yang tak terbatas. Aku tersenyum. Bahagia. Bahagia karena keputusanku yang bijak. Aku yakin setiap orang pasti punya rejekinya masing-masing. Aku tidak harus khawatir karena aku yakin bahwa keputusanku ini tidak akan membuat kami kekurangan materi. Ini adalah kebahagiaan yang sesungguhnya, yang selama ini aku belum pernah dapatkan. Aku yakin… Tuhan punya rencana yang indah…
Subscribe to:
Posts (Atom)