Friday, March 25, 2016
CINTA DATANG TERLAMBAT
Nia membalik halaman novel romantis untuk yang kesekian kalinya. Tak ada tanda-tanda kalau gadis itu akan menutup dan menenggelamkannya ke dalam tas—terkecuali ketiduran. Tanpa sadar tentunya. Tempat duduk bahan beludru yang ditempatinya pun mulai terasa tak nyaman menyangga berat tubuhnya yang agak turun beberapa minggu ini. Nia memang amat sangat butuh liburan.
Sejenak dia menurunkan tangan untuk mengistirahatkan mata. Memejamkannya beberapa detik. Menarik nafas panjang. Menghembuskannya pelan. Dan membuka matanya kembali. Namun dia masih berada di tempat yang sama. Di sebuah perjalanan panjang yang tujuan utamanya untuk menenangkan diri—setidaknya itu yang diingatnya saat mengajukan cuti beberapa hari lalu.
Bosan—pasti. Lelah—apalagi. Namun dia sangat memerlukan doping liburan untuk menyatukan kembali konsentrasinya terhadap pekerjaan yang saat ini sedang digelutinya. Setahun sudah bisa dibilang cukup untuk mengikis karir Nia yang saat ini sedang mulai menanjak menjadi stuck. Jangan sampai tahun berikutnya dia hancur gara-gara masalah “sepele” yang sangat tidak penting ini. “Move on”, teriaknya dalam hati.
“Nasi gorengnya, Mbak…” Agak terkesiap Nia menerima piring berisi menu pesanannya dan meletakkannya ke meja kecil yang menempel di dinding gerbong. Menyingkirkan novel ke dalam ransel mungil yang berada di kursi sebelahnya yang kebetulan kosong, entah kemana pemesannya, mungkin ada hal mendesak yang menahannya hingga tak jadi pergi. Atau memang kosong sejak awal—ini hari kerja bukan liburan, jadi sangat mungkin kalau banyak tempat duduk yang tak terjual. Kemudian menyambut segelas lemon tea dingin dari pelayan yang masih berdiri di dekatnya. Sekilas dia memperhatikan seorang laki-laki berumur di seberang tempat duduk, usianya mungkin seumuran Ayah Nia, kalau saja beliau masih hidup. Kulitnya agak kecoklatan dengan tubuh kurus tinggi. Persis seperti postur tubuh Ayah, batin Nia. Laki-laki itu tidur pulas dengan kedua tangan bersedekap di dada. Lalu setelahnya, Nia memperhatikan laki-laki lain yang duduk bersebelahan dengan bapak tadi, setelan kerjanya rapih, telinganya terpasang headset—isyarat bahwa dia sedang tidak ingin diganggu. Di pangkuannya… ehm—bukan novel… tapi sebuah laptop dengan tampilan drawing yang rumit. Sesekali dia sibuk dengan gadgetnya, menerima telepon masuk dan membahas pekerjaan. Sepertinya Engineer… Maybe… Nia mengedikkan bahu acuh dan mencoba memfokuskan kembali pandangannya kearah lemon tea panas yang masih mengepulkan asap dengan aroma wangi khas yang membuatnya nyaman.
Nia jadi teringat seorang kawan lama yang tinggal jauh dari kotanya. Dulu dia satu sekolah dengan Nia—saat SMP. Tapi ketika SMA seluruh keluarganya pindah ke Surabaya mengikuti ikatan dinas ayahnya yang tak memberi pilihan padanya untuk tetap tinggal. Sesekali dia tiba-tiba muncul dari balik pintu, mendonasikan wajah rupawannya untuk mengejutkan Nia… Jujur—Nia menyukainya, tapi terus terang tak berani mengaku, biarpun sudah tak terhitung lagi berapa kali pemuda itu memberikan perhatian yang lebih terhadapnya. Apa mungkin pemuda sekelas Fathan bisa menyukai gadis sepertinya? Bermimpipun Nia tak berani.
Dering ponsel menghentikan lamunan tentang Fathan, juga membuatnya terkejut hingga hampir tersedak makanan yang sejak tadi tak dikunyah. Sekilas ia melirik tak minat, namun tersenyum kecil membaca sebaris nama makhluk laki-laki yang beberapa bulan belakangan dikenalnya. Dari social media. Ya… Facebook memang mempunyai peran yang amat sangat penting dalam hubungan mereka. Dan tentu saja—Rossa—teman senasib seperjuangan sewaktu mereka kuliah dulu.
“Hey…” Sapanya ringan dengan senyum terkembang. “Tumben udah nelpon jam segini… Ada angin apa?” Nia mulai benar-benar memusatkan perhatian.
Dari seberang ponsel Nia mendengar tawa yang tak kalah ringan dengan suara agak berat—khas seorang laki-laki dewasa yang siap berumah tangga. “Angin sepoi-sepoi…” Ujarnya sambil berkelakar. “Dah sampe mana?” Tanyanya sedikit canggung. Dari awal perkenalan hingga detik ini, ada satu hal yang Nia perhatikan. Raga itu tipe orang yang kurang suka menulis—terbukti dengan bahasa sms yang sepentingnya saja, status social media yang pendek-pendek saja dan BBM yang sekenanya saja. Raga juga tak pandai berbasa basi. And see—dia sudah mulai belajar arti kata—bercanda…
Nia menghembuskan nafas lega. Bahunya yang semula kaku tegang kini mulai rileks. Entah kenapa hanya dengan mendengar suara laki-laki bernama Raga ini hatinya bisa selumer es krim. Nia menyandarkan punggung sambil melayangkan pandangan menembus kaca jendela yang berlapis debu. Telapak tangan kanannya masih setia memeluk ponsel, sementara tangan kiri masih enggan menjauh dari cangkir lemon tea. Hamparan hijau tampak memenuhi pelupuk matanya. Laki-laki ini memang baru ditemuinya dua kali. Toko Buku Gramedia menjadi saksi kebisuan mereka saat sama-sama canggung di pertemuan pertama—atau biasa orang sebut kopi darat. Nia pun tak menyangka kalau dia bisa mempercayai Raga untuk menemuinya di tempat seramai itu. Padahal bisa saja dia menolak karena bisa jadi di tempat itu dia akan bertemu orang paling menyebalkan di dunia seperti Rino. Karena daerah itu masih satu wilayah dengan tempat kerja mantan kekasihnya itu. Seorang pengecut yang hanya bisa memperlakukannya seperti boneka mainan dan satu-satunya laki-laki yang berani menghakimi dia hanya karena kondisi keluarga Nia tak sempurna seperti apa yang dia harapkan. Menyesal karena terlanjur membuat Ibu menaruh harapan terhadap laki-laki brengsek sepertinya ketika Nia akhirnya berani membawa laki-laki itu kerumah sepulang kuliah dan memperkenalkan Rino sebagai “kekasih”.
Nia sama sekali tak pernah bermaksud untuk membanding-bandingkan, tapi Raga memang sesuai dengan penilaian Nia—santun, berwibawa, punya prinsip dan yang pasti ehm—pekerja keras. Tipe calon suami yang Nia idamkan. Orangnya pun nggak neko-neko dan nggak main-main. Dan yang paling penting, Raga sama sekali tak mempermasalahkan penampilan Nia selain memuji paras ayunya yang polos tanpa riasan. Raga tak peduli apa yang Nia kenakan ketika menemuinya, bahkan Nia berani bersumpah bahwa Raga pasti tidak akan bisa menjawab sepatu model apa dan warna apa yang Nia kenakan saat itu. Raga menerimanya apa adanya. Berbeda dengan Rino—dia selalu harus menerima komentar pedas yang tak tanggung-tanggung jika gadis itu muncul di hadapan pria itu tanpa riasan, pakaian seadanya dan tanpa high heel yang sangat menyiksa. Pria itu tak pernah melihat hati Nia, dia hanya melihat penampilan Nia setelah di make over—palsu. Hingga ketika hubungan mereka berakhir—ralat—Rino yang memutuskannya dengan alasan yang membuat Nia sesakit ini hingga memerlukan obat penyembuh dengan dosis yang tak bisa ditemukan di dunia pengobatan. Raga lah yang menjadi obat itu. Obat paling mujarab untuk melupakan kekejaman Rino. Dengan Raga, Nia bisa bisa melihat bahwa tak semua pria sejahat Rino. Dan tak semua pria selabil—Fathan. Ah, pria itu bahkan membuatnya lebih tersiksa bahkan tanpa kalimat pedas sama sekali.
Tanpa terasa obrolan ringan mereka menjadi obrolan serius yang mengubah rileks Nia menjadi tegang. “Aku mau ketemu Ibu kamu…”
Hening.
“Nia, are you there?”
Hening. Tapi Nia sudah memutuskan…
“Apa kabar Nia? Kangen sama kamu…”
Pesan singkat yang membuat Nia megap-megap. Laki-laki ini—yaampun! Sebenarnya apa yang diinginkannya… Laki-laki yang memperlakukan Nia bagai layangan—tarik ulur. Nia memang menyukainya—sebelum Rino datang dan kemudian menghancurkan hatinya, dan sekarangpun masih sama—saat kehadiran Raga perlahan mengobati lukanya. “Fine, holiday @my sister’s house…” balasnya sambil melempar ponsel ke tempat tidur dan meninggalkannya di tempat itu tanpa menoleh lagi.
Dan di belahan kota lain—masih di pulau jawa, Fathan membaca pesan Nia dengan lega. Setidaknya gadis itu masih mau membalas pesan-pesannya. Gadis ini, satu-satunya gadis yang membuat hatinya jungkir balik—dan perasaan itu sudah ada sejak usianya belasan. Pun sampai saat ini… Walaupun sudah berkali-kali dia memacari banyak gadis yang tentu lebih cantik dibanding dia, hatinya tak pernah bisa musnah begitu saja… Nia masih selalu hadir memenuhi memorinya. Nia yang manis, ceria, polos, cerdas. Yang banyak menarik perhatian lawan jenis—dan sepertinya dia tak pernah menyadari hal ini. Karena seperti halnya kebanyakan pemuda lain yang menginginkannya, Fathan sering melakukan kunjungan singkat di akhir pekan, terkadang bahkan dia harus membiarkan pengunjung sebelumnya meninggalkan rumah Nia dulu. Aneh juga kan kalau mereka berkunjung sama-sama, dengan status tak saling mengenal, namun satu tujuan—mendapatkan hati gadis itu. Tapi entah—apa yang ada di pikiran Nia, dan siapa yang memiliki hatinya karena jelas-jelas Nia tak pernah menjalin hubungan yang serius dengan seseorang. Dia terlalu supel—hingga semua orang menyukainya, dan diapun seolah biasa saja—memperlakukan semua orang sama. Termasuk Fathan. Membuatnya menahan kesal namun tak bisa tak memperhatikan gadis itu sekali saja. Saat akhirnya mereka harus berpisah dan Fathan harus pindah sekolah, Fathan membawa perasaan itu bersamanya… Berusaha mengubur perasaan itu dalam-dalam, mengisi kekosongan hatinya dengan berusaha move on—menjalin hubungan dengan beberapa yang menarik dan tertarik dengannya, lalu ketika kembali ke kampung halaman dia akan kembali menemui Nia—berharap gadis itu memutuskan sesuatu—membuatnya melepaskan gadis-gadis di sekeliling dan menjalani hubungan mereka walaupun dengan LDR dan itu tak pernah terjadi. Nia seolah menggantung perasaannya. Terakhir dia datang, ternyata Nia sudah menjalin hubungan dengan salah satu teman fakultasnya, membuat Fathan patah hati… Nia ternyata menyukai pemuda lain…
Sementara di salah satu sudut kamar tamu—Nia, merenungi nasib kisah percintaannya yang seolah tak pernah memihaknya. Nia tak pernah mengerti jalan pikiran Fathan—menghujaninya dengan banyak perhatian tanpa tahu apa sebenarnya arti hubungan itu. Kemana dia akan membawa hubungan mereka nanti? Nia ingin seseorang yang serius—yang tak main-main, dan yang paling utama—yang dia sukai. Tapi apa pantas Nia mengungkapkan cintanya pada pria itu? Tabu—dia selalu memegang prinsip itu, prinsip yang sangat menjaga harga diri kaum perempuan.
“Nia telponnnn” Mbak Dinar, kakak perempuannya berteriak dari lantai bawah. Segera saja Nia turun, berusaha mengenyahkan lamunan tentang Fathan. “Kayaknya penting, bunyi berkali-kali…” Nia mengangguk curiga—tak mungkin anak buahnya, mereka telah di ultimatum Nia bahwa gadis itu benar-benar butuh liburan, jadi jangan coba-coba membuatnya memikirkan pekerjaan.
Ragu. Ada perasaan hangat—deg-degan—kesal. Emosi yang sulit diartikan. Sama seperti hari-hari yang lalu ketika nama itu berkedip di ponselnya. “Fathan?”
“Lagi ngapain?”
Nia menahan nafas—suara yang amat dirindukannya. Yang sering mengisi hari-harinya dengan penuh warna sekaligus membuatnya meneteskan air mata kesal—karena pada kenyataannya pria itu tak pernah menjadi miliknya. Mereka tak pernah saling memiliki. Fathan tak pernah menginginkannya secara resmi, mengungkapkan perasaannya misalnya. “Nggak ngapa-ngapain..”
Hening di seberang sana. Lalu terdengar lagi. “Aku… Aku udah putus sama Nessa, kamu…” Suara Fathan menggantung di udara. Begitu saja.
Nia memejamkan mata. Seharusnya lega yang muncul dihatinya saat mendengar ini, tapi toh semuanya seolah beban buatnya. Selalu seperti ini… Apa maksudnya, setiap kali putus dengan seorang gadis dia akan bercerita. Apakah dia sedang pamer bahwa dia banyak digandrungi gadis, hingga bisa putus dan menjalin hubungan dengan yang lain secepat ia mengganti pakaian? “Oh, lalu?” Nia memijit pelipis. Liburan yang tak menyenangkan—pikirnya. Lepas dari Rino, menerima perhatian Raga, lalu Fathan dengan segala pesonanya kembali membicarakan sudut kosong di hatinya yang tak pernah bisa Nia isi.
Fathan membuang nafas. Tapi lalu menahannya lagi. “Kamu… Apa kamu nggak bisa memberiku kesempatan?”
Whatttt??? Nia berdebar-debar. Inikah kalimat yang dia nantikan?
“Memulai segalanya denganku…”
Nia sekali lagi memejamkan mata. Menyerap kata-kata itu baik-baik. Hening… “Apa yang sedang kamu bicarakan?”
“Perasaanku…”
“…” Nia menyandarkan tubuh di dinding. “Fathan bisa kamu ngomong lebih jelas? Aku masih nggak ngerti apa maksud kamu...” Tak seperti obrolan mereka biasanya yang hanya sebatas pekerjaan, cuaca, tempat hang out, kali ini entah mengapa semuanya penuh ketegangan.
“Aku suka sama kamu, Nia… Apa kamu nggak bisa lihat itu? Aku sudah terlalu lama menunggu kamu, jadi bisakah kamu memberiku kesempatan?”
“Raga pria yang baik, aku hanya perlu memutuskan untuk memilihnya… Dan tawaran kamu itu—“ Nia ragu sesaat. Tak rela dan tak tega menolak, tapi kalau menerimapun dia khawatir akan sakit hati. Begitu banyak gadis yang berada di sekeliling Fathan—tak menutup kemungkinan kan kalau… kalau… Nia menggeleng. “Setelah sekian lama kamu baru membicarakan hal ini?”
Fathan menyipitkan mata. Dia selalu bertanya dalam hati—apa yang dipikirkan gadis ini, apakah dia pernah sedikit saja menyukainya? Kurang apa dia? Secara fisik Fathan bahkan yakin tak akan ada seorangpun yang tak menoleh dua kali ketika berpapasan dengannya. Fathan pun memberikan perhatian lebih pada Nia, dan gadis itu pun sepertinya menyukainya—dan salah. Dia berpacaran dengan orang lain. “Selama ini aku sudah menunjukkan semua itu padamu, tapi kamu…”
Nia menggeleng. “Kamu nggak pernah mengatakan apapun…”
“Haruskah aku?”
Nia mengangguk. “Ya, dan semua itu sudah terlambat sekarang.”
“Pekerjaanku… Aku yakin akan siap beberapa bulan lagi.” Fathan berdalih dengan pekerjaan dia yang memang belum pasti. Dia masih terdaftar sebagai seorang peserta management trainee. Project yang dia kerjaan saat ini di perusahaannya yang akan menentukan. Jika sukses maka dia akan langsung menempati satu posisi bagus, sebaliknya kalau gagal Fathan harus menunda keinginannya untuk memiliki gadis itu. Atau bahkan kemungkinan terburuknya—gadis itu sudah menjadi milik orang lain. “Kamu masih belum memutuskan…”
Nia menggeleng. “Aku memilih Raga…”
Fathan memejamkan mata. Sekali lagi—terluka. Apakah dia sudah terlambat lagi kali ini? “Kamu nggak mengenalnya?”
“Dia orang yang mau berkomitmen…”
“Nia, please… Tak bisakah kamu…”
Dan pecah sudah benteng pertahanan Nia. Kenapa laki-laki ini sungguh brengsek—dia lebih brengsek dari Rino! Tidak hanya menggantung perasaannya begitu lama, tapi juga selalu memberikan harapan yang selalu saja datang terlambat. Saat Nia merasa bahwa harapan itu seharusnya sudah musnah—mengapa—mengapa Fathan melakukan ini padanya? Nia menangis. Baru saja dia memutuskan ponselnya…
Raga. Fisiknya tak sesempurna Fathan. Namun hatinya—dia jauh lebih baik dibanding dengan laki-laki plin-plan itu. Wajahnya teduh dan suaranya menenangkan… Bukan debaran jantung memang yang ia rasakan ketika mendengar suara ini, tapi—bukankah tenang itu yang dicari? Walaupun Nia merasa kalau terlalu tenang juga tak baik, tapi Nia lebih memilih hidup dalam kedamaian. Dengan Raga dan segala kerendahan hati dimilikinya…
“Aku mau ketemu ibu kamu…” Ujarnya serius. Raga datang jauh-jauh dari luar kota untuk menemuinya weekend ini. Dia menginap di hotel tak jauh dari tempat kos Nia. Sebuah perjuangan yang tak mudah, dan jujur membuat Nia terharu.
Nia langsung terduduk. Tegak. Kaku. Mereka duduk berhadapan di sebuah kafe kecil di kota itu. “Kamu…”
“Apalagi yang harus kita tunggu? Aku sendiri—kamupun sama. Kita saling cocok, jadi apalagi?”
Sebelumnya Rino pernah mengungkapkan ini pada Nia, saat mereka sama-sama saling cinta—mungkin… Karena Nia sepertinya baru sadar, itu bukan cinta, tapi dia hanya merasa bahwa tak ada salahnya mencoba dan memberi pria yang berani mengungkapkan perasaannya itu kesempatan. “Kamu—nggak keberatan masa laluku? Dan keluargaku… Rino—“ Nia berhenti. “Dia memilih mundur saat mendengar bahwa keluarga ku kacau balau…”
“Aku ingin menikahimu… Dan keluargamu…”
“Tapi keluargaku…” Nia menahan diri untuk tak menangis. Membayangkan betapa kacaunya kehidupan di keluarganya yang tanpa sadar hancur sejak ayahnya pergi. Mengingat betapa semua orang menganggap bahwa sebuah keluarga tanpa seorang sosok laki-laki adalah—rendah. Menganggap sebuah titel sarjana yang dimilikinya adalah suatu hal yang mustahil. Dulu Nia harus menunduk menghadapi penghinaan ini—tapi sekarang—kepalanya harus tegak, Nia lulus dengan predikat cumlaude, dan pekerjaannya tak bisa dianggap enteng. Nia adalah seorang single dengan karir yang cukup cemerlang di sebuah Bank swasta di Negara ini.
Raga tersenyum. “Bagaimanapun keadaan keluargamu aku akan menerimanya… Lengkap dengan segala masalah yang sedang kamu hadapi saat ini… Aku akan menemanimu menghadapi semuanya…” Laki-laki itu menatap Nia intens. Dia ingin memeluk gadis dihadapannya, meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja jika mereka menghadapinya berdua—tapi melihat pakaian yang dikenakannya, blouse lengan panjang dengan lengan kerut hijau toska,dipadu dengan rok lebar dengan warna senada yang menutup tubuh tinggi serta ramping gadis itu, kerudung sederhana yang membalut separuh tubuhnya, Ragapun mengurungkan niatnya. Rasanya tak pantas memeluk gadis itu yang masih belum resmi untuknya…
Jujur Nia senang mendengarnya. Belum pernah ada laki-laki manapun yang mengatakan ini. Tidak Rino, tidak juga Fathan—yang mungkin malah tak pernah mengerti apa saja yang selama ini Nia hadapi. “Dan masa laluku?”
Raga menggeleng.
“Kenapa aku harus memikirkan itu? Nia… Tahukah bahwa kamu lebih penting dari masa lalumu?” Nia tersenyum haru. “Semua orang punya masa lalu… Aku, kamu, mereka—semua hidup dari masa lalu. Hanya saja, apakah masa lalu itu penting? Anggaps saja mereka semua pelengkap hidup, hal-hal indah kita simpan dalam kenangan. Dan hal buruk—tak perlu diingat lagi…”
Nia tersenyum. Sekarang dia sudah meneteskan air mata. “Apa kamu yakin?”
Raga mengangguk tanpa ragu sedikitpun. Dia mengepalkan tangannya—haruskah ia menghapus air mata itu, atau—akhirnya dia tetap mengepalkan tangan. “Jangan menangis… Membuatmu menangis adalah hal yang terakhir aku pikirkan…”
Nia mematung. Terharu dengan kata-katanya—tapi haruskah ia menerima Raga. “Raga kamu…”
“Aku cinta sama kamu…”
Sebuah kalimat yang pasti akan membuatnya melambung jika keluar dari mulut laki-laki yang dicintainya—tapi dari Raga—ternyata kata itu tak cukup mujarab untuk membuat hatinya melambung, meski, ya, dia melihat ketulusan di mata itu—ketulusan yang membuat Nia selalu berada dalam damai. Ketulusan yang tak pernah didapat dari laki-laki manapun di dunia ini. Ketulusan yang membuat hidupnya tenang… Dan Nia—dia tak bisa bilang tidak. Nia hanya bisa mengangguk, memberi Raga kesempatan untuk membahagiakannya… Tanpa terasa dia tersenyum. Ternyata inilah yang diinginkannya… Laki-laki ini. Nia akan berusaha sebisa mungkin memberikan seluruh perasaannya pada Raga, membahagiakan Raga seperti apa yang akan dijanjikan laki-laki itu padanya, tak pernah ingin membuat laki-laki itu menyesali karena memilihnya.
“Menikahlah denganku…” Ujar Raga sambil mengeluarkan kotak beludru dari kantong celananya dan membuka benda itu—sebuah cincin sederhana tanpa batu dan hiasan apapun, dan tampak indah, karena diberikan dengan penuh cinta serta ketulusan yang nyata.
Nia mengangguk. Air matanya masih menetes.
Dan Raga—ia merasa bahwa tak ada yang salah dengan memegang jemari gadis itu dan memakaikan cincin di jari manisnya. “Aku harap kamu akan lebih mencintaiku lagi setelah mengenalku… Aku tidak akan membuatmu menyesal karena memilihku…”
Nia tersenyum. “Aku tahu…”
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment