Saturday, October 31, 2015

KASIH BERUJUNG MAUT

Blog Post ini dibuat dalam rangka mengikuti kompetisi Menulis Cerpen "Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan" #SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Honda-Motor dan Nulisbuku.com

Ibu sedang sibuk membersihkan meja makan sementara Ayah dan Kiara sedang mempersiapkan diri mereka masing-masing untuk bergegas melakukan rutinitas sehari-hari. Ayah bekerja pada sebuah bank swasta di Jakarta lebih nyaman menggunakan mobil pribadi dibanding naik kendaraan umum yang berdesakan atau naik motor dan tak pernah tahu kapan akan turun hujan hingga dia merasa sangat kerepotan jika harus berhenti di pinggir jalan dan mengganti jaketnya dengan jas hujan. Sedangkan Kiara, dia kebalikannya—ABG usia 16 tahun yang duduk di kelas X itu memilih kendaraan roda dua sebagai alternatif paling utama untuk menembus kemacetan Ibukota. Sebenarnya bukan itu, tapi karena Kiara merasa lebih keren menggunakan sepeda motor, dibanding duduk di sebelah ayahnya dan pasrah dengan kecepatan mobil yang standar itu. Kiara jadi suka geregetan karena ingin menyalip kesana kemari sementara jalanan macet, tapi dia tak punya pilihan selain diam menerima nasib.
"Hati-hati di jalan Ra... Nggak perlu ngebut, nggak bakal telat kok..." Ujar Ibu yang berjalan ke teras. "Kenapa nggak bareng Ayah aja sih?" Tanya wanita itu lagi sambil menghampiri Ayah yang sedang memanaskan mobil dan meletakkan tas suaminya di kursi penumpang. Ayah manggut-manggut menyetujui.
Kiara menggeleng semangat. "Ayah payah nyetirnya, bikin emosi..." Ujar Kiara tak sabar.
“Itu namanya safety Ra..." Ayah membela diri. "Kamu juga harus mulai mengikuti Ayah, dengan mengurangi kecepatan motor... Dan itu lho Ra... Headsetnya dilepas dulu..."
Kiara menggeleng sekali lagi. Kedua tangannya sedang sibuk menggunakan helm setelah menyumbatkan headset pada telinga. "Tenang Yah, sesuai aturan Ayah, Kiara pakai helm kok..."
"Tapi tetep Ra... itu bahaya..." Ibu menimpali.
Kiara mendecakkan lidah kesal. "Mulai deh berdua... Ceramah pagi-pagi...." Keluhnya.
Kalau sudah begitu, siapa yang akan kuat melanjutkan perdebatan. Ayah dan Ibu sudah sering mengingatkan Kiara, tapi gadis remaja anak satu-satunya itu selalu bisa berdalih dan ngacir dengan seringai kemenangan. Lagipula Ayah dan Ibu begitu menyayangi putrinya hingga apapun yang dilakukan Kiara, benar atau salah, semuanya terlihat tak ada bedanya.

****
Saat keduanya menikah, pasangan suami istri ini sibuk berencana berapa putra putri yang akan mereka miliki agar rumah besar yang mereka tempati tak terasa kosong. Hingga suatu hari lahirlah seorang bayi cantik bernama Kiara yang menjawab do'a pasangan itu. Tapi saat Kiara berusia lima tahun, Ibu Kiara yang sama sekali tak melakukan program KB itu tak kunjung hamil—ada apa gerangan? Setelah diperiksa oleh dokter, wanita berkacamata dengan jubah putih itu mengatakan bahwa Ibu Kiara mengidap kista dan harus segera dioperasi dengan risiko tak bisa hamil lagi. Ibu Kiara terpukul dan memaksa Ayah tak menandatangani surat dari dokter untuk melakukan operasi. Tapi Ayah, dia sayang sekali dengan keluarganya... Dibanding harus melihat istrinya menahan nyeri setiap hari dengan resiko kehilangan istrinya, dia lebih baik memutuskan untuk segera menerima saran dari dokter. Dan mengijinkan pihak rumah sakit untuk melakukan apapun yang harus mereka lakukan, toh mereka sudah punya Kiara. Hingga memanjakan anak itu adalah hal terpenting yang akan dilakukan mereka berdua. Termasuk ketika yang dimaksud dengan “memanjakan” adalah sebaliknya—membahayakan putri semata wayang mereka.
Beberapa bulan lalu, Kiara merengek meminta sebuah sepeda motor sebagai hadiah kelulusan, kebetulan dia adalah satu lulusan terbaik di sekolah. Jadi, walaupun sebenarnya agak berat memenuhi permintaan gadis itu, tapi akhirnya Ayah dan Ibu Kiara menyerah. Tak butuh waktu lama untuk membuat Kiara mengerti bagaimana cara mengendarai motor, walaupun gadis itu tak pernah mau tahu apa saja hal-hal yang bisa membuatnya aman berkendara, termasuk mengenakan helm, menanggalkan headset untuk sementara, mengabaikan panggilan masuk alih-alih menerima namun terus mengendarai sehingga membahayakan nyawa sendiri dan pengendara lain.
Kiara masih asyik bernyanyi dan menyetel volume headsetnya sampai maksimal ketika tiba-tiba seseorang meneriakinya, "Nenggggggg... awas kereta....!!!" Sedangkan pengendara lain berusaha mengklakson berkali-kali untuk menarik perhatian gadis itu. Kebetulan rumah Kiara dan sekolah harus melintasi rel kereta api yang tanpa palang ini. Sayangnya Kiara tak mendengar panggilan itu, dan tak menyadari bahwa suara ramai klakson yang mengacaukan musik yang didengarnya adalah sebuah peringatan untuknya. "Neng!!! Berhenti!!!" Seorang pengendara motor mengejarnya dan berusaha memotong jalan Kiara, alhasil gadis itu mengeram mendadak sambil membanting setir sehingga dia jatuh terjerembab ke sisi jalan. Semua mata tertuju padanya… Sakit yang dirasa Kiara tak sebanding dengan malu yang harus dia terima. Tapi tetap saja tubuhnya nyeri disana-sini.
Sebelumnya dia berteriak histeris karena betisnya mengenai knalpot motor yang panas hingga membuat kulitnya melepuh, tetapi dia langsung ditolong oleh pemilik warung tak jauh dari lokasi kejadian. "Bapak, ngapain sih motong jalan saya???" Kiara memprotes tindakan seorang Bapak yang tadi berusaha keras menyelamatkannya sambil membersihkan tubuh dari debu.
Pria paruh baya yang sedang memarkirkan motornya hanya mengangkat alis, sedangkan si penjaga warung menunjuk arah rel kereta. Sebuah kereta melintas dengan kecepatan tinggi dan Kiara hanya terbengong memandangnya—jadi ini penyebabnya? "Lepas dulu Neng headsetnya..." saran si pemilik warung. "Kalau tidak ada Bapak ini, mungkin Neng sudah..." si penjaga warung tak melanjutkan kalimatnya. "Berterima kasihlah pada Bapak ini..." Ujarnya lagi sambil berlalu, membiarkan Kiara menjadi tontonan gratis di pinggir jalan.
Kiara menunduk malu. "Maaf ya Pak, tadi saya..." Ujar Kiara kebingungan, apa yang harus diucapkannya pada penyelamatnya ini.
Si Bapak tersenyum. "Lain kali hati-hati, jangan mengenakan headset ketika kamu sedang berkendara..." Saran si Bapak. "Padahal kamu sudah pakai helm..." Setidaknya masih ada yang bisa dipandang baik dari Kiara oleh si Bapak ini.
Kiara mengangguk. "Iya Pak, terima kasih banyak… Saya tidak akan mengulanginya…”

****
Sebulan berlalu sejak kejadian pahit yang menimpa Kiara. Agak trauma sebenarnya, tapi namanya juga Kiara—dia tetaplah seorang ABG labil yang kesadarannya masih sangat rendah. Walaupun kedua orang tuanya sudah mewanti-wanti padanya untuk lebih peduli pada nyawanya, dan Kiara mengiyakan—tapi semua itu hanya berlangsung beberapa hari saja. Saat kondisi luka-luka di tubuhnya mulai membaik maka Kiara kembali menjadi Kiara yang dulu, Kiara yang selalu menang berdebat dengan orang tuanya. Padahal saat berhasil pulang kerumah setelah mengalami kecelakaan tunggal itu, dia menangis mengeluhkan betapa tubuhnya nyeri disana-sini, dan betapa malu dia saat kejadian karena menjadi tontonan gratis di siang bolong sepulang sekolah.
“Ra, headset dilepas dulu… Lupa sama kejadian waktu itu. Luka-luka kamu aja baru kering, mau nambah lagi?” Ibu mengingatkan sambil berkacak pinggang menghadang anak gadisnya di depan pagar.
Kiara menghela nafas panjang. Kata orang, orang yang selalu mengingatkan hal yang sama berkali-kali itu tandanya sayang, tapi buat Kiara itu artinya cerewet. “Bu… Kiara Cuma didekat sini aja kok perginya… Lagipula kan Kiara sudah pernah jatuh jadi akan lebih hati-hati lagi… Kiara juga nyetel volumenya nggak kenceng, nggak percaya? Mau bukti???” Kiara sedang berusaha melepas headsetnya untuk disodorkan ke Ibunya.
“Ibu nggak butuh bukti Ra, tapi Ibu sedang menagih janji kamu…” Tuntut wanita paruh baya itu.
Kiara menggaruk kepala. “Tenang aja Bu… Kiara akan pulang dengan selamat kok… Janji deh…” Gadis itu menunjukkan huruf V dari tangan kanannya.
Ibu mengangkat sebelah tangan menahan sabar. “Bukan janji yang itu…” Protesnya.
“Bisa-bisa Kiara terlambat nih gara-gara kelamaan di introgasi sama Ibu…” Ujarnya sambil mengenakan helmnya. “Kiara jalan ya… Assalamu’alaikum…” Teriaknya sambil menarik gas dan berlalu dari pandangan Ibu yang hanya bisa menghela nafas panjang.
Inilah, perdebatan yang selalu berhasil dimenangkan Kiara. Sebenarnya Ayah dan Ibu bisa memenangkan ini, kalau saja mereka berdua bisa lebih keras dan tegas pada anak semata wayangnya. Tapi mereka terlalu sayang… Mereka terlalu takut membuat Kiara sedih hingga membuat gadis remaja itu kecewa dan melakukan “hal bodoh” itu kembali seperti yang dilakukannya dulu.
Saat itu, saat Kiara memperoleh hadiah kelulusannya—sebuah sepeda motor matic lengkap dengan surat-suratnya, kecuali—SIM, Ayah dan Ibu meminta pada anak gadisnya untuk tak membawa kendaraan itu pergi terlalu jauh, terlebih keluar perumahan dan memasuki jalan raya. Ayah mengancam tak akan mengajari Kiara naik motor jika dia tak menuruti kemauan kedua orang tuanya. Dan apa yang terjadi??? Kalian tak akan pernah bisa menebaknya—Kiara kabur dari rumah dan menginap di rumah temannya sampai berhari-hari. Gadis itu mengancam tak akan pernah pulang jika Ayah Ibunya tak membiarkan Kiara berbuat apapun dengan hadiah kelulusannya. Dan setelahnya bisa kalian perkirakan sendiri, Kiara menang telak! Dia belajar naik motor dan mendapatkan SIM serta KTP hasil—nembak! Owwww…

****
Dan sekarang…
Kiara berada di tempat tongkrongannya agak jauh dari perumahan—sebuah sudut perumahan lain yang kebetulan agak sepi dan mempunyai jalan lebih lebar. Dia sedang berkumpul dengan teman-teman sebayanya juga teman-teman sekolahnya melakukan hal tak penting yang menurut mereka “keren”. Menjajal kemampuan berlari motor mereka seolah berada di arena balap. Hal yang sangat membahayakan nyawanya juga nyawa orang lain sebenarnya. Apalagi untuk pemula seperti Kiara yang masih sering lupa menyalakan lampu sen ketika akan berbelok.
“Ra, coba lo maju…” Ujar salah seorang diantara perkumpulan itu.
Kiara mengangkat bahu. Dia sedang tak mood hari ini, perasaannya tak enak sejak dia meninggalkan rumah tadi. “Gue lagi males banget… Yang lain deh…” Ujarnya ogah-ogahan.
“Payah ah…”
Kiara tetap pada pendiriannya. “Sorry, lain kali ya…” Ujarnya menyesal.
Dan benar—tak berapa lama sesuatu terjadi. Sirine mobil polisi yang makin lama makin mendekat disertai dengan kemunculan mobil aparat yang menuju kearah mereka. Tak perlu menunggu lama hingga mereka semua segera bergegas meninggalkan tempat itu, tak peduli dengan yang lain, termasuk Kiara yang asal comot helmnya lalu ikutan kabur bersama yang lain tanpa sempat mengenakan pelindung kepala itu. Dia mengendarai motor dengan kecepatan tinggi, dan tanpa berhenti meletakkan helmnya di pijakan kaki, lalu berusaha menjepitnya dengan lutut. Kiara yang dilanda panik sudah melupakan keberadaannya di jalan raya dan tanpa perhitungan menarik gas sekencang-kencangnya. Sudah beberapa kali dia hampir menabrak pengendara lain, hingga akhirnya berhasil lolos dari kejaran polisi. Kiara bernafas lega. Lalu tak berapa lama ponselnya berdering dan lagi-lagi tanpa menghentikan kendaraan, Kiara mengambil ponsel dari saku belakang celananya dengan tangan kiri sementara tangan kanan menjadi penggendali tunggal menjalankan kendaraan.
“Ya, Bu…”
Suara di seberang sana terdengar panik. “Ra, cepet pulang… Ayah kecelakaan…”
Kiara spontan kebingungan. Dia panik dan takut dalam waktu yang bersamaan. Konsentrasinya mulai terpecah antara tetap mempertahankan agar sepeda motor tetap berjalan, memegang ponsel, menjepit helm, dan mendengar berita mengejutkan dari Ibu. “Ap… Apa???” Ujarnya gemetaran.
“Cepat ya Ra…” Pinta Ibu sambil menahan tangis.
Kiara mengangguk walaupun Ibu tak melihatnya. “I… Iya Bu…” Tutupnya disertai menambah kecepatan kendaraan, sambil berusaha mematikan ponselnya. Tapi nahas, belum juga dia berhasil mematikan ponsel, seorang anak kecil entah muncul dari mana tiba-tiba menyeberang jalan, namun Kiara tak cukup berhasil menghindarinya hingga tabrakanpun tak terelakkan. Tubuh si anak terpental jauh dan kepalanya membentur trotoar, sedangkan Kiara yang tak sempat menghindar melindas sepeda dan ambruk di tengah jalan tepat saat pengendara motor lain melintas. Kiara tak mengingat apapun lagi selain kepalanya yang berdenyut nyeri sebelum akhirnya semua gelap.

****
Kiara terbangun di sebuah ruangan tak begitu luas dengan warna dinding pucat dan penerangan terbatas. Sebuah TV plasma tertempel di dinding sementara di sisi tempat tidurnya dibatasi oleh gorden berwarna kecoklatan. Di sisi berlawanan seorang wanita paruh baya terlelap sambil memposisikan kepalanya di sisi tempat tidur Kiara, sementara tubuhnya hanya disangga oleh sebuah tempat duduk. Itu adalah ibunya…
Kiara menggerakkan tangannya yang bebas dari jarum infuse dan mengelus kepala ibunya pelan, namun sentuhan itu berhasil membuat Ibu terjaga dan bernafas lega.
“Alhamdulillah… Akhirnya kamu bangun, Nak…” Ibunya tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Dia buru-buru menekan tombol memanggil petugas sesuai dengan permintaan mereka jika Kiara sadar. Sudah beberapa hari putrinya koma karena kepalanya terbentur sesuatu yang keras, sehingga dia harus menjalani operasi. Saksi mata bilang bahwa Kiara tertabrak oleh pengendara lain entah siapa karena dia sudah melarikan diri entah kemana.
Kiara mengangguk. “Ma—af…” Ujarnya sambil terbata sementara kepalanya terasa nyeri. Kiara memang sangat menyesal dengan apa yang terjadi, walaupun dia kecelakaan gara-gara dilanda panik ketika mendengar berita tentang ayahnya, tapi mungkin kejadiannya akan lain jika saja dia tak ceroboh mengendarai sepeda motor tanpa helm juga menerima panggilan telepon. Itu adalah kesalahan… “Kiara—membuat—Ibu—sedih…” Katanya lagi masih terbata.
Ibu menggeleng cepat. Berusaha menenangkan ketakutan putrinya. “Ibu takut kamu kenapa-kenapa… Ibu nggak bisa kehilangan kamu…” Kali ini tangis Ibu sudah tak bisa dikendalikan.
Kiara pun tak dapat menahan air matanya lagi. Dia tak bisa melihat ibunya menangis. “Ayah…”
“Ayahmu nggak apa-apa, dia selamat…” Ujar Ibu berusaha menenangkan ketakutan Kiara.
Lalu seolah mengingat sesuatu, Kiara tak menyia-nyiakan waktu untuk bertanya. “Anak kecil itu… Dia—bagaimana dengannya?”
Ibu seolah terkejut. Sejujurnya dia tak ingin membuat Kiara sedih hingga membahas hal ini. Tapi cepat atau lambat pasti Kiara akan menanyakannya. “Ayahmu sedang mengurusnya…”
Kiara masih menunggu jawaban Ibu. Bukan itu yang ingin didengarnya. “Bagaimana kondisinya?” Tanya Kiara mulai lancar.
Ibu menunduk sedih. Pertanyaan inilah yang dia takut akan ditanyakan oleh Kiara. “Dia… Dia…”
“Kenapa dengannya Bu?”
“Dia meninggal...”
“Apa???” Kiara mendelik terkejut. Tubuhnya menggigil ketakutan. Wajahnya pucat dan darahnya terasa panas—Kiara seorang pembunuh???

****
Kiara sedang berada di sebuah pemakaman. Dengan kursi rodanya dia didorong bergantian oleh ayah dan ibunya. Akhirnya walaupun kondisinya belum cukup pulih namun Kiara memaksa untuk bisa melakukan rawat jalan hingga dokter mengijinkannya pulang. Dan satu-satunya hal yang ingin dilakukannya hanyalah berziarah ke makam korban yang ditabraknya. Bocah tak berdosa yang mungkin baru belajar naik sepeda—tak ada bedanya dengannya yang baru belajar mengendarai sepeda motor. Bedanya adalah anak kecil itu memang polos, walaupun sudah berhati-hati namun dia tetaplah seorang anak yang memang kita sebagai orang dewasa harus mengalah, sedangkan Kiara—dia adalah gadis remaja yang baru “bisa” mengendarai sepeda motor namun dengan sok jagoan melakukan hal-hal lain yang tak seharusnya dilakukan. Dan mau lari bagaimanapun, Kiara tetap salah… Dia yang sudah menghilangkan nyawa anak itu, dia juga yang membuat keluarga anak itu berduka, dan mungkin mereka sedang berharap Tuhan segera mengambil nyawa Kiara… Dan Kiara, dia harus beryukur karena operasi kepalanya berjalan dengan lancar, karena jika tidak, mungkin Ayah dan Ibu harus kehilangan Kiara juga…
“Apa setelah ini Kiara akan dipenjara?” Tanya Kiara entah pada siapa.
Ayah ibunya saling memandang sedih. Lalu mereka menggeleng. “Ayah sudah menjaminmu, Nak… Tapi jika sekali saja ini terjadi lagi, maka Ayah yang harus menggantikanmu masuk penjara…” Ujar Ibu dengan tatapan penuh harap—berharap bahwa tanpa penjelasan pun Kiara akan mengerti bahwa satu nyawa sangatlah berarti.
Kiara menahan tangis. “Kiara janji, Kiara akan menurut apa kata Ayah dan Ibu… Kiara menyesal…” Ujarnya dengan tangis pecah.
“Kami tahu Kiara anak yang baik…” Ayah mengelus kepala putrinya.
“Kami juga tahu kalau Kiara bisa berubah lebih baik…” Ibunya menimpali.
Kiara mengangguk. “Kiara nggak akan mengecewakan kalian lagi… Mulai saat ini Kiara akan lebih berhati-hati…” Ujarnya sesenggukkan.
“Kami tahu Nak…” Ayah menutup pembicaraan, sebelum akhirnya mereka bertiga memeluk satu sama lain, pelukan untuk saling menguatkan, pelukan untuk saling mengingat hari ini, hari dimana Ayah dan Ibu akan lebih tegas mendidik Kiara—mengasihi dengan tidak menjerumuskan, dan hari dimana Kiara akan selalu mengingat bahwa nyawa manusia sangatlah berharga…


-END-

No comments:

Post a Comment