Blog Post ini dibuat dalam rangka mengikuti kompetisi Menulis Cerpen "Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan" #SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Honda-Motor dan Nulisbuku.com
Ibu sedang sibuk membersihkan meja makan sementara Ayah dan Kiara sedang mempersiapkan diri mereka masing-masing untuk bergegas melakukan rutinitas sehari-hari. Ayah bekerja pada sebuah bank swasta di Jakarta lebih nyaman menggunakan mobil pribadi dibanding naik kendaraan umum yang berdesakan atau naik motor dan tak pernah tahu kapan akan turun hujan hingga dia merasa sangat kerepotan jika harus berhenti di pinggir jalan dan mengganti jaketnya dengan jas hujan. Sedangkan Kiara, dia kebalikannya—ABG usia 16 tahun yang duduk di kelas X itu memilih kendaraan roda dua sebagai alternatif paling utama untuk menembus kemacetan Ibukota. Sebenarnya bukan itu, tapi karena Kiara merasa lebih keren menggunakan sepeda motor, dibanding duduk di sebelah ayahnya dan pasrah dengan kecepatan mobil yang standar itu. Kiara jadi suka geregetan karena ingin menyalip kesana kemari sementara jalanan macet, tapi dia tak punya pilihan selain diam menerima nasib.
"Hati-hati di jalan Ra... Nggak perlu ngebut, nggak bakal telat kok..." Ujar Ibu yang berjalan ke teras. "Kenapa nggak bareng Ayah aja sih?" Tanya wanita itu lagi sambil menghampiri Ayah yang sedang memanaskan mobil dan meletakkan tas suaminya di kursi penumpang. Ayah manggut-manggut menyetujui.
Kiara menggeleng semangat. "Ayah payah nyetirnya, bikin emosi..." Ujar Kiara tak sabar.
“Itu namanya safety Ra..." Ayah membela diri. "Kamu juga harus mulai mengikuti Ayah, dengan mengurangi kecepatan motor... Dan itu lho Ra... Headsetnya dilepas dulu..."
Kiara menggeleng sekali lagi. Kedua tangannya sedang sibuk menggunakan helm setelah menyumbatkan headset pada telinga. "Tenang Yah, sesuai aturan Ayah, Kiara pakai helm kok..."
"Tapi tetep Ra... itu bahaya..." Ibu menimpali.
Kiara mendecakkan lidah kesal. "Mulai deh berdua... Ceramah pagi-pagi...." Keluhnya.
Kalau sudah begitu, siapa yang akan kuat melanjutkan perdebatan. Ayah dan Ibu sudah sering mengingatkan Kiara, tapi gadis remaja anak satu-satunya itu selalu bisa berdalih dan ngacir dengan seringai kemenangan. Lagipula Ayah dan Ibu begitu menyayangi putrinya hingga apapun yang dilakukan Kiara, benar atau salah, semuanya terlihat tak ada bedanya.
****
Saat keduanya menikah, pasangan suami istri ini sibuk berencana berapa putra putri yang akan mereka miliki agar rumah besar yang mereka tempati tak terasa kosong. Hingga suatu hari lahirlah seorang bayi cantik bernama Kiara yang menjawab do'a pasangan itu. Tapi saat Kiara berusia lima tahun, Ibu Kiara yang sama sekali tak melakukan program KB itu tak kunjung hamil—ada apa gerangan? Setelah diperiksa oleh dokter, wanita berkacamata dengan jubah putih itu mengatakan bahwa Ibu Kiara mengidap kista dan harus segera dioperasi dengan risiko tak bisa hamil lagi. Ibu Kiara terpukul dan memaksa Ayah tak menandatangani surat dari dokter untuk melakukan operasi. Tapi Ayah, dia sayang sekali dengan keluarganya... Dibanding harus melihat istrinya menahan nyeri setiap hari dengan resiko kehilangan istrinya, dia lebih baik memutuskan untuk segera menerima saran dari dokter. Dan mengijinkan pihak rumah sakit untuk melakukan apapun yang harus mereka lakukan, toh mereka sudah punya Kiara. Hingga memanjakan anak itu adalah hal terpenting yang akan dilakukan mereka berdua. Termasuk ketika yang dimaksud dengan “memanjakan” adalah sebaliknya—membahayakan putri semata wayang mereka.
Beberapa bulan lalu, Kiara merengek meminta sebuah sepeda motor sebagai hadiah kelulusan, kebetulan dia adalah satu lulusan terbaik di sekolah. Jadi, walaupun sebenarnya agak berat memenuhi permintaan gadis itu, tapi akhirnya Ayah dan Ibu Kiara menyerah. Tak butuh waktu lama untuk membuat Kiara mengerti bagaimana cara mengendarai motor, walaupun gadis itu tak pernah mau tahu apa saja hal-hal yang bisa membuatnya aman berkendara, termasuk mengenakan helm, menanggalkan headset untuk sementara, mengabaikan panggilan masuk alih-alih menerima namun terus mengendarai sehingga membahayakan nyawa sendiri dan pengendara lain.
Kiara masih asyik bernyanyi dan menyetel volume headsetnya sampai maksimal ketika tiba-tiba seseorang meneriakinya, "Nenggggggg... awas kereta....!!!" Sedangkan pengendara lain berusaha mengklakson berkali-kali untuk menarik perhatian gadis itu. Kebetulan rumah Kiara dan sekolah harus melintasi rel kereta api yang tanpa palang ini. Sayangnya Kiara tak mendengar panggilan itu, dan tak menyadari bahwa suara ramai klakson yang mengacaukan musik yang didengarnya adalah sebuah peringatan untuknya. "Neng!!! Berhenti!!!" Seorang pengendara motor mengejarnya dan berusaha memotong jalan Kiara, alhasil gadis itu mengeram mendadak sambil membanting setir sehingga dia jatuh terjerembab ke sisi jalan. Semua mata tertuju padanya… Sakit yang dirasa Kiara tak sebanding dengan malu yang harus dia terima. Tapi tetap saja tubuhnya nyeri disana-sini.
Sebelumnya dia berteriak histeris karena betisnya mengenai knalpot motor yang panas hingga membuat kulitnya melepuh, tetapi dia langsung ditolong oleh pemilik warung tak jauh dari lokasi kejadian. "Bapak, ngapain sih motong jalan saya???" Kiara memprotes tindakan seorang Bapak yang tadi berusaha keras menyelamatkannya sambil membersihkan tubuh dari debu.
Pria paruh baya yang sedang memarkirkan motornya hanya mengangkat alis, sedangkan si penjaga warung menunjuk arah rel kereta. Sebuah kereta melintas dengan kecepatan tinggi dan Kiara hanya terbengong memandangnya—jadi ini penyebabnya? "Lepas dulu Neng headsetnya..." saran si pemilik warung. "Kalau tidak ada Bapak ini, mungkin Neng sudah..." si penjaga warung tak melanjutkan kalimatnya. "Berterima kasihlah pada Bapak ini..." Ujarnya lagi sambil berlalu, membiarkan Kiara menjadi tontonan gratis di pinggir jalan.
Kiara menunduk malu. "Maaf ya Pak, tadi saya..." Ujar Kiara kebingungan, apa yang harus diucapkannya pada penyelamatnya ini.
Si Bapak tersenyum. "Lain kali hati-hati, jangan mengenakan headset ketika kamu sedang berkendara..." Saran si Bapak. "Padahal kamu sudah pakai helm..." Setidaknya masih ada yang bisa dipandang baik dari Kiara oleh si Bapak ini.
Kiara mengangguk. "Iya Pak, terima kasih banyak… Saya tidak akan mengulanginya…”
****
Sebulan berlalu sejak kejadian pahit yang menimpa Kiara. Agak trauma sebenarnya, tapi namanya juga Kiara—dia tetaplah seorang ABG labil yang kesadarannya masih sangat rendah. Walaupun kedua orang tuanya sudah mewanti-wanti padanya untuk lebih peduli pada nyawanya, dan Kiara mengiyakan—tapi semua itu hanya berlangsung beberapa hari saja. Saat kondisi luka-luka di tubuhnya mulai membaik maka Kiara kembali menjadi Kiara yang dulu, Kiara yang selalu menang berdebat dengan orang tuanya. Padahal saat berhasil pulang kerumah setelah mengalami kecelakaan tunggal itu, dia menangis mengeluhkan betapa tubuhnya nyeri disana-sini, dan betapa malu dia saat kejadian karena menjadi tontonan gratis di siang bolong sepulang sekolah.
“Ra, headset dilepas dulu… Lupa sama kejadian waktu itu. Luka-luka kamu aja baru kering, mau nambah lagi?” Ibu mengingatkan sambil berkacak pinggang menghadang anak gadisnya di depan pagar.
Kiara menghela nafas panjang. Kata orang, orang yang selalu mengingatkan hal yang sama berkali-kali itu tandanya sayang, tapi buat Kiara itu artinya cerewet. “Bu… Kiara Cuma didekat sini aja kok perginya… Lagipula kan Kiara sudah pernah jatuh jadi akan lebih hati-hati lagi… Kiara juga nyetel volumenya nggak kenceng, nggak percaya? Mau bukti???” Kiara sedang berusaha melepas headsetnya untuk disodorkan ke Ibunya.
“Ibu nggak butuh bukti Ra, tapi Ibu sedang menagih janji kamu…” Tuntut wanita paruh baya itu.
Kiara menggaruk kepala. “Tenang aja Bu… Kiara akan pulang dengan selamat kok… Janji deh…” Gadis itu menunjukkan huruf V dari tangan kanannya.
Ibu mengangkat sebelah tangan menahan sabar. “Bukan janji yang itu…” Protesnya.
“Bisa-bisa Kiara terlambat nih gara-gara kelamaan di introgasi sama Ibu…” Ujarnya sambil mengenakan helmnya. “Kiara jalan ya… Assalamu’alaikum…” Teriaknya sambil menarik gas dan berlalu dari pandangan Ibu yang hanya bisa menghela nafas panjang.
Inilah, perdebatan yang selalu berhasil dimenangkan Kiara. Sebenarnya Ayah dan Ibu bisa memenangkan ini, kalau saja mereka berdua bisa lebih keras dan tegas pada anak semata wayangnya. Tapi mereka terlalu sayang… Mereka terlalu takut membuat Kiara sedih hingga membuat gadis remaja itu kecewa dan melakukan “hal bodoh” itu kembali seperti yang dilakukannya dulu.
Saat itu, saat Kiara memperoleh hadiah kelulusannya—sebuah sepeda motor matic lengkap dengan surat-suratnya, kecuali—SIM, Ayah dan Ibu meminta pada anak gadisnya untuk tak membawa kendaraan itu pergi terlalu jauh, terlebih keluar perumahan dan memasuki jalan raya. Ayah mengancam tak akan mengajari Kiara naik motor jika dia tak menuruti kemauan kedua orang tuanya. Dan apa yang terjadi??? Kalian tak akan pernah bisa menebaknya—Kiara kabur dari rumah dan menginap di rumah temannya sampai berhari-hari. Gadis itu mengancam tak akan pernah pulang jika Ayah Ibunya tak membiarkan Kiara berbuat apapun dengan hadiah kelulusannya. Dan setelahnya bisa kalian perkirakan sendiri, Kiara menang telak! Dia belajar naik motor dan mendapatkan SIM serta KTP hasil—nembak! Owwww…
****
Dan sekarang…
Kiara berada di tempat tongkrongannya agak jauh dari perumahan—sebuah sudut perumahan lain yang kebetulan agak sepi dan mempunyai jalan lebih lebar. Dia sedang berkumpul dengan teman-teman sebayanya juga teman-teman sekolahnya melakukan hal tak penting yang menurut mereka “keren”. Menjajal kemampuan berlari motor mereka seolah berada di arena balap. Hal yang sangat membahayakan nyawanya juga nyawa orang lain sebenarnya. Apalagi untuk pemula seperti Kiara yang masih sering lupa menyalakan lampu sen ketika akan berbelok.
“Ra, coba lo maju…” Ujar salah seorang diantara perkumpulan itu.
Kiara mengangkat bahu. Dia sedang tak mood hari ini, perasaannya tak enak sejak dia meninggalkan rumah tadi. “Gue lagi males banget… Yang lain deh…” Ujarnya ogah-ogahan.
“Payah ah…”
Kiara tetap pada pendiriannya. “Sorry, lain kali ya…” Ujarnya menyesal.
Dan benar—tak berapa lama sesuatu terjadi. Sirine mobil polisi yang makin lama makin mendekat disertai dengan kemunculan mobil aparat yang menuju kearah mereka. Tak perlu menunggu lama hingga mereka semua segera bergegas meninggalkan tempat itu, tak peduli dengan yang lain, termasuk Kiara yang asal comot helmnya lalu ikutan kabur bersama yang lain tanpa sempat mengenakan pelindung kepala itu. Dia mengendarai motor dengan kecepatan tinggi, dan tanpa berhenti meletakkan helmnya di pijakan kaki, lalu berusaha menjepitnya dengan lutut. Kiara yang dilanda panik sudah melupakan keberadaannya di jalan raya dan tanpa perhitungan menarik gas sekencang-kencangnya. Sudah beberapa kali dia hampir menabrak pengendara lain, hingga akhirnya berhasil lolos dari kejaran polisi. Kiara bernafas lega. Lalu tak berapa lama ponselnya berdering dan lagi-lagi tanpa menghentikan kendaraan, Kiara mengambil ponsel dari saku belakang celananya dengan tangan kiri sementara tangan kanan menjadi penggendali tunggal menjalankan kendaraan.
“Ya, Bu…”
Suara di seberang sana terdengar panik. “Ra, cepet pulang… Ayah kecelakaan…”
Kiara spontan kebingungan. Dia panik dan takut dalam waktu yang bersamaan. Konsentrasinya mulai terpecah antara tetap mempertahankan agar sepeda motor tetap berjalan, memegang ponsel, menjepit helm, dan mendengar berita mengejutkan dari Ibu. “Ap… Apa???” Ujarnya gemetaran.
“Cepat ya Ra…” Pinta Ibu sambil menahan tangis.
Kiara mengangguk walaupun Ibu tak melihatnya. “I… Iya Bu…” Tutupnya disertai menambah kecepatan kendaraan, sambil berusaha mematikan ponselnya. Tapi nahas, belum juga dia berhasil mematikan ponsel, seorang anak kecil entah muncul dari mana tiba-tiba menyeberang jalan, namun Kiara tak cukup berhasil menghindarinya hingga tabrakanpun tak terelakkan. Tubuh si anak terpental jauh dan kepalanya membentur trotoar, sedangkan Kiara yang tak sempat menghindar melindas sepeda dan ambruk di tengah jalan tepat saat pengendara motor lain melintas. Kiara tak mengingat apapun lagi selain kepalanya yang berdenyut nyeri sebelum akhirnya semua gelap.
****
Kiara terbangun di sebuah ruangan tak begitu luas dengan warna dinding pucat dan penerangan terbatas. Sebuah TV plasma tertempel di dinding sementara di sisi tempat tidurnya dibatasi oleh gorden berwarna kecoklatan. Di sisi berlawanan seorang wanita paruh baya terlelap sambil memposisikan kepalanya di sisi tempat tidur Kiara, sementara tubuhnya hanya disangga oleh sebuah tempat duduk. Itu adalah ibunya…
Kiara menggerakkan tangannya yang bebas dari jarum infuse dan mengelus kepala ibunya pelan, namun sentuhan itu berhasil membuat Ibu terjaga dan bernafas lega.
“Alhamdulillah… Akhirnya kamu bangun, Nak…” Ibunya tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Dia buru-buru menekan tombol memanggil petugas sesuai dengan permintaan mereka jika Kiara sadar. Sudah beberapa hari putrinya koma karena kepalanya terbentur sesuatu yang keras, sehingga dia harus menjalani operasi. Saksi mata bilang bahwa Kiara tertabrak oleh pengendara lain entah siapa karena dia sudah melarikan diri entah kemana.
Kiara mengangguk. “Ma—af…” Ujarnya sambil terbata sementara kepalanya terasa nyeri. Kiara memang sangat menyesal dengan apa yang terjadi, walaupun dia kecelakaan gara-gara dilanda panik ketika mendengar berita tentang ayahnya, tapi mungkin kejadiannya akan lain jika saja dia tak ceroboh mengendarai sepeda motor tanpa helm juga menerima panggilan telepon. Itu adalah kesalahan… “Kiara—membuat—Ibu—sedih…” Katanya lagi masih terbata.
Ibu menggeleng cepat. Berusaha menenangkan ketakutan putrinya. “Ibu takut kamu kenapa-kenapa… Ibu nggak bisa kehilangan kamu…” Kali ini tangis Ibu sudah tak bisa dikendalikan.
Kiara pun tak dapat menahan air matanya lagi. Dia tak bisa melihat ibunya menangis. “Ayah…”
“Ayahmu nggak apa-apa, dia selamat…” Ujar Ibu berusaha menenangkan ketakutan Kiara.
Lalu seolah mengingat sesuatu, Kiara tak menyia-nyiakan waktu untuk bertanya. “Anak kecil itu… Dia—bagaimana dengannya?”
Ibu seolah terkejut. Sejujurnya dia tak ingin membuat Kiara sedih hingga membahas hal ini. Tapi cepat atau lambat pasti Kiara akan menanyakannya. “Ayahmu sedang mengurusnya…”
Kiara masih menunggu jawaban Ibu. Bukan itu yang ingin didengarnya. “Bagaimana kondisinya?” Tanya Kiara mulai lancar.
Ibu menunduk sedih. Pertanyaan inilah yang dia takut akan ditanyakan oleh Kiara. “Dia… Dia…”
“Kenapa dengannya Bu?”
“Dia meninggal...”
“Apa???” Kiara mendelik terkejut. Tubuhnya menggigil ketakutan. Wajahnya pucat dan darahnya terasa panas—Kiara seorang pembunuh???
****
Kiara sedang berada di sebuah pemakaman. Dengan kursi rodanya dia didorong bergantian oleh ayah dan ibunya. Akhirnya walaupun kondisinya belum cukup pulih namun Kiara memaksa untuk bisa melakukan rawat jalan hingga dokter mengijinkannya pulang. Dan satu-satunya hal yang ingin dilakukannya hanyalah berziarah ke makam korban yang ditabraknya. Bocah tak berdosa yang mungkin baru belajar naik sepeda—tak ada bedanya dengannya yang baru belajar mengendarai sepeda motor. Bedanya adalah anak kecil itu memang polos, walaupun sudah berhati-hati namun dia tetaplah seorang anak yang memang kita sebagai orang dewasa harus mengalah, sedangkan Kiara—dia adalah gadis remaja yang baru “bisa” mengendarai sepeda motor namun dengan sok jagoan melakukan hal-hal lain yang tak seharusnya dilakukan. Dan mau lari bagaimanapun, Kiara tetap salah… Dia yang sudah menghilangkan nyawa anak itu, dia juga yang membuat keluarga anak itu berduka, dan mungkin mereka sedang berharap Tuhan segera mengambil nyawa Kiara… Dan Kiara, dia harus beryukur karena operasi kepalanya berjalan dengan lancar, karena jika tidak, mungkin Ayah dan Ibu harus kehilangan Kiara juga…
“Apa setelah ini Kiara akan dipenjara?” Tanya Kiara entah pada siapa.
Ayah ibunya saling memandang sedih. Lalu mereka menggeleng. “Ayah sudah menjaminmu, Nak… Tapi jika sekali saja ini terjadi lagi, maka Ayah yang harus menggantikanmu masuk penjara…” Ujar Ibu dengan tatapan penuh harap—berharap bahwa tanpa penjelasan pun Kiara akan mengerti bahwa satu nyawa sangatlah berarti.
Kiara menahan tangis. “Kiara janji, Kiara akan menurut apa kata Ayah dan Ibu… Kiara menyesal…” Ujarnya dengan tangis pecah.
“Kami tahu Kiara anak yang baik…” Ayah mengelus kepala putrinya.
“Kami juga tahu kalau Kiara bisa berubah lebih baik…” Ibunya menimpali.
Kiara mengangguk. “Kiara nggak akan mengecewakan kalian lagi… Mulai saat ini Kiara akan lebih berhati-hati…” Ujarnya sesenggukkan.
“Kami tahu Nak…” Ayah menutup pembicaraan, sebelum akhirnya mereka bertiga memeluk satu sama lain, pelukan untuk saling menguatkan, pelukan untuk saling mengingat hari ini, hari dimana Ayah dan Ibu akan lebih tegas mendidik Kiara—mengasihi dengan tidak menjerumuskan, dan hari dimana Kiara akan selalu mengingat bahwa nyawa manusia sangatlah berharga…
-END-
Saturday, October 31, 2015
Sunday, March 22, 2015
WINTER IN KOREA
Satu tangan Dewa menarik selimut tinggi-tinggi, sementara sebelah tangan lainnya menggapai nakas di sebelah tempat tidurnya dengan putus asa. Dimana sih dia meletakkan weker semalam? Dan—please deh dia baru saja tidur dua jam yang lalu karena gelisah semalaman hingga matanya tak bisa terpejam—entah apa yang terjadi, dan pagi ini rasanya datang terlalu cepat… Ini adalah musim dingin tahun ketiga yang dijalaninya tanpa keluarga di Negara ini, dan tetap saja Dewa belum juga bisa terbiasa dengan salju, coat, boot, dan segala hal yang akan membuatnya merasa “nyaman” dalam arti yang sesungguhnya. Setiap kali melihat drama Korea yang ditonton oleh teman-teman di Indonesia, Dewa tak bisa memungkiri bahwa style dan cara berpakaian penduduk Korea memang sangat keren, tapi coba kalau kalian sudah mengenakannya—yaampun! Memakai coat atau jubah musim dingin itu rasanya sangat tak nyaman, tak leluasa bergerak, tapi meskipun begitu Dewa tak bisa meremehkan bagaimana mujarabnya benda tebal itu membungkus tubuhnya hangat.
“Wa! Bangun woiiii!!! Nggak gawe lo???”
“Kasih gue lima menit buat nerusin mimpi…” Gumam Dewa dari balik selimut. Tubuhnya bergerak-gerak dari balik benda itu. Walaupun tidur di lantai dengan hanya beralaskan kasur lipat tapi tetap hangat karena tempat tinggal mereka menggunakan pemanas lantai—ondol dalam istilah lokal.
Anton, sahabatnya sejak tiba di Negara ini hanya menggeleng sambil menghela nafas panjang. Siapa juga yang tak tergiur dengan selimut sementara diluar sana salju turun dengan intensitas yang tak bisa terbilang rendah. Dan suhunya minus 10 derajat. Dia pun merindukan tanah airnya yang hangat. “Ayo buruan ah…” Anton menarik selimut teman sekamarnya itu paksa. Tak peduli apapun yang akan temannya itu lakukan, dia tak ingin berjalan di tengah salju sendirian karena sepeda yang hanya satu-satunya dibawa Anton. Jarak antara gisuksa, asrama yang disediakan oleh perusahaan dan tempat kerjanya tak terlalu jauh hingga mereka tak perlu menggunakan bus atau kereta untuk menempuh perjalanan singkat itu. “Dalam hitungan ketiga nggak bangun juga, gue siram air!” Ancam Anton yang sontak membuat Dewa terduduk—masih memeluk selimut. Bisa menggigil dia kalau sampai Dewa menyiramnya dengan air dingin. Matanya mengerjap berkali-kali dan tangannya dari balik selimut berusaha keras mengucek kelopaknya. Susahnya jadi pekerja, selalu saja harus taat aturan—kapan gue bisa jadi pengusaha??? Teriak Dewa dalam hati.
Dulu—beberapa tahun sebelum tiba di Negara ini—Negara yang perkembangannya luar biasa cepat dibanding Negara-negara yang lain, tak pernah terbersit dalam benak Dewa untuk hijrah apalagi menjadi TKI. Dia sangat membenci K-Pop atau boyband atau semacamnya yang berisi para pemuda yang bahkan bisa dibilang lebih cantik dari wanita. Dewa ingin berkembang dan maju di negaranya sendiri. Diapun tak ingin hidup dari uang hasil menjual tenaga dan pikirannya ke orang asing. And now? Apa yang dilakukannya sekarang??? Dia sudah menjadi bagian dari mereka semua, makan dan minum seperti penduduk lokal dan cara berpakaiannya pun sudah sama seperti kebanyakan orang disana. Hidup memang aneh…
“Annyeong haseyo…” Sapa seorang gadis setelah Dewa membuka pintu kamarnya. Gadis itu tersenyum ramah sambil memamerkan tangan kanannya yang menenteng sesuatu. Namanya Yoona—persis seperti anggota band Girls Generation walaupun secara fisik dia tak bisa dibandingkan dengan kecantikan alami kekasih Lee Seung Gi itu. Tuh kan—Dewa sudah mulai hafal para idol di Korea. Namun keahlian memasaknya tak bisa diragukan. Semenjak Dewa mulai memakan masakan Negara itu karena jelas-jelas tak ada pilihan warteg, soto lamongan, maupun sate tegal, mau tak mau Dewa harus belajar menikmati menu-menu yang dimakan orang-orang setempat, mulai dari kimchi yang rasanya naudhubillah anehnya, sampai kimbab yang ternyata masih bisa diterima lidah Dewa. Karena di Indonesia-pun Dewa sudah mengenal sushi yang tampilan dan rasanya hampir sama.
Dewa membungkuk membalas salam gadis itu. “Yoona ssi?”
“Oppa…” Yoona mengulurkan sebelah tangan yang penuh bawaan itu. Dari wanginya Dewa sudah bisa menebak bahwa itu pasti hasil olahan tangannya. Gadis itu memang hobi memasak. Dan—Oppa? Dewa sudah mulai terbiasa dengan panggilan itu, tapi sungguh—dia lebih nyaman dipanggil mas. “Semalam aku berpikir apa yang harus kumasak pagi ini untuk sarapanmu, mudah-mudahan Oppa menyukainya…” Ujarnya dengan bahasa Korea yang cepat. Walaupun Dewa masih belum bisa menirukannya secepat itu namun dia masih paham apa yang gadis itu ucapkan. Itu hampir seperti bahasa sunda di Indonesia yang walaupun sudah bertahun-tahun bergaul dengan Anton yang asli Sukabumi, tetap saja Dewa masih tak juga mengerti setiap kali sahabatnya itu mengomelinya dengan rentetan kata yang memusingkan untuk diingat.
“Alhamdulillah… Kita nggak makan ramen hari ini. Yoona baik ya… cantik lagi…” Anton tiba-tiba muncul menggantikan Yoona. “Sayang sekali…” Gumam Anton.
“Memang…” Ujar Dewa sambil menerawang.
Beberapa tahun lalu, Dewa pernah bekerja di sebuah perusahaan bonafit yang tak bisa diremehkan pengaruhnya terhadap Negara Indonesia, karena tentu saja pajak yang harus dibayarkan perusahaan terhadap negarapun tak bisa dipandang sebelah mata. Dewa harus membelalak ketika mengetahui betapa imbasnya sangat terasa pada ratusan vendor ketika perusahaan sedang mengalami krisis, tapi lebih membelalak lagi ketika tahu bahwa dia harus kena PHK gara-gara itu. Menyedihkan. Dari sekian ratus orang dan dia termasuk diantara mereka yang tak bernasib mujur. Dewa memang bukan orang berada, dia hanya mengenyam pendidikan yang tak bisa dibanggakan—lulus dari STM, so what? Orang tuanya sudah berusaha menyekolahkan dia sampai di titik ini dalam segala keterbatasan mereka—dan Dewa, dia sungguh bersyukur dan menyayangi keduanya. Dia tak pernah menuntut orang tuanya untuk menuruti segala keinginan Dewa,tapi mereka—air mata Dewa menetes, tubuh renta kedua orang tuanya itulah yang selalu berusaha memaksimalkan apapun kebutuhan Dewa. Mereka mengerti tanpa harus Dewa beritahu… Memeluk saat Dewa membutuhkan kekuatan, mendiamkan saat dia butuh ketenangan. Tak ada hal apapun yang lebih membuat Dewa senang selain membuat mereka berdua bangga terhadapnya. Bangga melahirkannya. Bangga memilikinya. Lalu apa yang harus ia lakukan?
“Dewa ssi…” Seseorang menepuk bahunya pelan namun keterkejutan tetap tak dapat di hindarkan. Dewa seolah terbangun dari mimpi. “Sedang melamun apa?” Cha Gong Can adalah pria asal Korea yang berbeda sekali dengan yang pernah dilihat Dewa di televisi. Dia dan orang-orang lain karyawan di perusahaan ini bermata sipit, dengan paras yang tak “secantik” pria yang yang wara-wiri di layar kaca. Juga tak setampan mereka. Dia masih original—tanpa operasi plastik!
Dewa tersenyum kecil. “Tahun depan aku pulang ke negaraku…” Dewa menjelaskan.
“Arraso… Anton sudah mengatakannya. Seharusnya kau senang bukan?” Tanya Cha Gong Can sambil duduk di sebelahnya. Mulutnya penuh dengan makanan ketika berbicara.
Dewa tersenyum lagi. Memang dia seharusnya senang, tapi kenapa dia merasa bimbang. Senang itu kalau berkumpul dengan orang-orang yang kalian cintai bukan? “Entahlah… Aku sendiri masih tak mengerti…”
“Kau akan kembali lagi kesini?” Tanyanya lagi. Padahal pertanyaan pertamanya masih belum mampu Dewa jawab, tapi dia sudah melempar Dewa dengan pertanyaan lain.
Dewa menghela nafas. “Itupun aku masih tak mengeri…” Lagi-lagi Dewa menerawang.
Cha Gong Can mengeryit. “Kau menyukai seseorang?”
Dewa menoleh. “Apakah begitu kentara?”
Pria sebelahnya menoleh. Lalu mengangguk. “Kau terlihat tak rela meninggalkan tempat ini sementara kau juga bingung mempertimbangkan untuk kembali…”
“Kau benar…” Gumam Dewa lemah.
Pernahkah kalian mengalami dilema seperti yang dialami Dewa? Benar—dia memang mengalami masalah dengan yang namanya perasaan. Dia telah memiliki seseorang di Indonesia dan “belajar” menitipkan hatinya pada perempuan itu—dan sekarang dia menyukai seseorang lain di Negara ini karena perhatian gadis itu yang amat sangat terhadapnya. Membuatkan sarapan tiap pagi—bahkan seorang istripun belum tentu melakukan itu pada suaminya. Tapi gadis Korea itu—dia susah payah memasak makanan untuk orang yang disukainya dengan lihai dan tak sampai disitu saja, dia bahkan menyempatkan waktu untuk memodifikasinya—membuat hiasan mata, hidung, bibir dengan potongan sayur dan buah misalnya. Dewa pikir itu hanya akan ditemukannya di televisi, dan ternyata itu benar terjadi. Ah—Yoona ssi… Mengapa kau membuatnya menjadi begitu sulit… Gumamnya dalam hati sambil membayangkan betapa halusnya kulit gadis itu. Sehalus porselen dengan kulit seputih mutiara. Jika saja dia tak begitu perhatian pada Dewa pasti Dewa hanya menganggapnya seperti gadis Korea lain yang mengabaikannya…
Dinda—teman sekaligus tetangganya semenjak jaman sekolah. Dan seolah tak ada gadis lain saja karena setelah merantau ke ibukota pun dia masih tetap menjaga hubungan mereka dengan lebih mengenal satu sama lain, walaupun berkali-kali Dewa hampir menjalin hubungan dengan gadis lain yang berada di radius jarak pandangnya—bukan hanya berhubungan melalui telepon. Suara tanpa rupa… Karena jelas-jelas walaupun Dewa salah satu yang update masalah gadget—semenjak bekerja, namun Dinda tipe orang yang mengutamakan fungsi daripada lifestyle. Ponsel itu yang penting bisa sms dan telepon—fungsi lain itu “bonus!”. Dewa tetap mempertahankan hubungan itu. Dinda, memang gadis itu tak pernah menjadi seseorang yang dicintainya, tapi kelembutan gadis itulah yang membuat Dewa berpikir bahwa tipe gadis seperti Dinda lah yang akan mendampingi Dewa di sisa hidupnya. Cinta bisa tumbuh seiring berjalannya waktu dengan kebersamaan. Kebersamaan? Tapi justru sebaliknya, dari awal mereka tinggal terpisah, sampai menikahpun mereka kembali berpisah, bahkan terpisah jarak yang begitu mustahil bagi Dinda untuk bisa menyusul Dewa ke Negara ini. Dan rasanya sulit mempertahankan hubungan semacam ini… Mengingat betapa banyaknya gadis cantik dan seksi berada di sekelilingnya, entah itu bawaan lahir atau hasil operasi plastik. Kadang Dewa tergoda untuk tak kembali ke Indonesia dan hanya menghabiskan sisa hidupnya di Negara ini…
“Oppa, wajahmu terlihat pucat. Apa kau sakit?”
Dewa masih dalam mood yang tak baik menoleh dan memaksakan senyum. Tapi wajahnya berubah agak merona, antara dingin dan senang, Yoona datang tepat waktu bahkan sebelum waktu janjian. Tadi saat jam kerjanya habis Dewa langsung mengirimkan pesan singkat untuk gadis itu, dia tahu bahwa Yoona pasti sudah selesai bekerja juga. Gadis itu bukan orang kaya, dia hanya seorang pelayan restoran yang pendapatannya pas-pasan. Dia bukan asli Seoul, hanya seorang perantauan yang mencari kehidupan lebih layak. Sama sepertinya. Dewa menepuk bangku kosong di sebelahnya meminta gadis itu duduk, mereka janjian bertemu di taman tak jauh dari gisuksa dimana Yoona tinggal. “Kau ingat tempat ini?”
Senyum Yoona terkembang. “Waktu itu kau kebingungan mencari jalan pulang…” Ujarnya sambil terkekeh. “Dan mereka semua tak mengerti apa yang kau bicarakan…” Ingatan Yoona melayang ke masa dimana mereka dipertemukan pertama kali.
“Benar! Saat itu salju turun begitu deras, aku hampir mati membeku di tempat ini…” Kenang Dewa. Seperti saat mereka bertemu dulu, sekarangpun sama, musim dingin. Tapi sore ini tak sebutirpun salju turun, karena itu Dewa memberanikan diri untuk mengajak gadis itu bertemu di tempat ini.
Yoona terbahak. “Tapi Oppa, mengapa kau mengajakku ke tempat ini. Sekarang begitu dingin…” Gadis itu menempelkan sarung tangan ke muka setelah menggosok kedua telapak tangannya. “Akan lebih baik jika kita pulang dan minum saenggang cha—teh jahe…”
Dewa menarik nafas panjang. Susah payah dia menahan perasaan aneh untuk Yoona selama ini, dan dia harus membuat keputusan. “Jangan memperhatikanku lagi Yoona ssi…” sejak siang tadi Dewa sudah mempertimbangkan masak-masak untuk mengatakan ini pada Yoona. Akan lebih baik kalau semuanya belum terlalu jauh, sebelum gadis itu makin terluka saat mengetahui kenyataan yang sebenarnya.
Yoona menoleh terkejut. Walaupun Dewa mengatakannya dengan pelan, namun kalimat itu begitu jelas di telinga Yoona. Dewa—pria itu belum bisa mengucapkan bahasa Korea dengan cepat, dia masih selalu berhati-hati menggunakan dan mengeja tiap katanya. “Oppa…”
“Disini kita bertemu pertama kali…” Dewa menatap Yoona. “Disini pula aku ingin mengakhiri semuanya…” Dewa melanjutkan dengan pedih.
Yoona menatap balik dengan pandangan terluka. Dewa memang orang asing saat itu, begitupun Yoona yang juga belum lama datang ke Seoul saat bertemu dengan Dewa. Sehingga ketika dia menemukan ada seorang pria kebingungan mencari jalan pulang, dia teringat pada kejadian yang juga menimpanya ketika pertama kali tiba di Seoul. Yoona hanya ingin membantu, tapi jika saat mereka bertatapan Yoona jatuh cinta—apa itu salah? Dewa dengan wajah—Yoona bahkan tak paham darimana pria dengan kulit kecoklatan itu berasal, dia hanya yakin bahwa pria itu bukan orang Korea, karena bahasa inggris jelas-jelas hanya digunakan oleh orang asing di Negara ini… Air mata Yoona menetes. “Eotteokhe?” Yoona bertanya pada Dewa dengan air mata siap tumpah. “Kenapa kau melakukan ini?”
“Mianata…” Ujar Dewa menyesal. Dia memang tak berniat membuat gadis itu sedih dan terluka, tapi sekarang dia sudah melakukannya. Dewa sadar dia sudah sangat egois, tapi lebih egois lagi kalau hubungan ini diteruskan.
“Apakah ada orang lain?” Tanya Yoona sedih. Gadis itu menunduk dengan telinga waspada. Kedua tangannya meremas tas di pangkuan.
Dewa mengangguk, walaupun dia tahu gadis itu tak memperhatikannya.
“Oppa—“ Seperti tak kuat untuk menanyakan maka kalimat itu menggantung di udara. “Oppa… Mencintainya?”
Awalnya ragu. Tapi akhirnya Dewa mengangguk. Entah apa arti dari anggukan itu, Dewa hanya khawatir jika dia melakukan sebaliknya maka Yoona akan bertanya, mengapa dia menikah jika tak mempunyai perasaan apapun. Dan Dewa khawatir jika Yoona tetap berharap pada hubungan mereka namun Dewa tak tega mengakhiri hubungan dengan istrinya. Yoona akan sakit hati.
“Siapa?” Tanyanya lemah.
“Istriku…”
Yoona menoleh. Terkejut. Dia tak pernah tahu ada petir saat musim salju—tapi sekarang, Yoona seolah merasakan bahwa baru saja petir lah yang menyambarnya. Apa pria itu bilang? Istri? Bagaimana mungkin Yoona tak pernah mengetahuinya… Secepat kilat gadis itu berdiri, yang diikuti dengan Dewa yang tak kalah cepat seolah ingin mencegah jika Yoona akan pergi, mereka berhadap-hadapan. Yoona sedang mengendalikan emosinya dengan sekuat tenaga tapi toh itu tak berhasil juga ditahannya hingga sebuah tamparan hebat menyadarkannya. Yoona sudah menampar Dewa, tapi Dewa hanya diam—pria itu sudah memperkirakan bahwa hal ini akan terjadi. Dia sudah siap menghadapinya… Dia sudah bersalah terhadap gadis itu. Walaupun tak pernah terang-terangan mengakui perasaannya yang memang sedikit demi sedikit tumbuh untuk Yoona, namun Dewa tak menampik bahwa gadis itulah alasan kenapa dia bisa betah dan nyaman berada di tempat asing ini. Yoona lah alasannya bertahan di Korea. Dan Dinda—jujur, dia telah mulai—melupakannya… Bagaimana ini bisa terjadi? Yoona menangis sebelum berlari dan meninggalkan Dewa di tengah salju yang tiba-tiba saja turun… Seperti dalam drama, salju membuat apa yang baru saja terjadi menjadi makin dramatis. Menyedihkan!
“Yoona ssi…!” Panggil Dewa, berusaha mencegah gadis itu pergi tapi lalu sadar bahwa sekarang dia tak berhak melakukannya. Sebenarnya, sejak awalpun dia tak berhak.
Dewa berjalan di tengah salju, mengabaikan butir-butir yang berjatuhan makin lama makin besar. Dia berjalan gontai tak tentu arah. Dia seolah kehilangan pegangan. Tadi pagi dia masih dalam keadaan sehat walaupun mood nya tak baik—tapi sekarang dia seperti mayat hidup. Tak mempunyai kekuatan. Seharusnya, sejak awal dia tak menerima kebaikan hati Yoona, hingga membuat gadis itu terluka, begitupun dengannya. Hatinya seolah teriris melihat luka di mata gadis itu, Dewa ingin merengkuh gadis itu kedalam pelukannya. Tapi siapa dia? Dewa bukan siapa-siapa. Dia hanya seorang suami yang dengan tenangnya menganggap hubungan dengan gadis lain adalah bukan sesuatu yang salah, dan saat dia sadar, semuanya terlambat… Yoona mencintainya dan Dewapun tak ada bedanya dengan gadis itu. Lalu Dinda? Bagaimana dengan dia?
“Semalam ibu serangan jantung lagi. Tapi sekarang udah baikan, Alhamdulillah…” Dewa membaca pesan itu dengan terkejut. Pantas saja perasaannya tak enak sejak semalam. Lalu melanjutkan membaca. “Mas, baru pulang ya?”
Dewa memejamkan mata. Dia belum sampai gisuksa, masih di emperan toko, duduk sendirian seperti gelandangan yang sebarang kara. Inilah yang paling memberatkan untuk Dewa. Dinda, gadis itu adalah seorang yatim piatu, sedangkan Dewa—dia masih bersyukur karena ibunya masih hidup, walaupun dia tak sehat, dan inilah alasan kenapa Dewa sampai banting tulang mencari uang, karena dia harus membiayai biaya pengobatan ibunya yang tak bisa dibilang murah. Dan istrinyalah yang sekarang menggantikannya merawat ibunya. Ayah Dewa meninggal saat Dewa baru lulus sekolah. Dinda dengan senang hati merawat ibu Dewa, walaupun dia tak punya ketertarikan sedikitpun pada gadis itu yang merupakan teman sekolahnya. Kalau Dewa begitu giat belajar, maka Dinda giat bekerja untuk membayar biaya sekolahnya sendiri. Sepulang sekolah membantu berjualan di toko kelontong Haji Ali, orang kaya dan terpandang di kampung mereka, lalu malamnya gadis itu mengajar ngaji di mushola. Suatu hal yang membanggakan jika kedua orang tuanya masih hidup. Dan Ibu Dewa—yang merasa hidup sebatang kara karena Dewa merantau di ibukota meminta gadis itu tinggal bersamanya, dan kemudian—ya, seperti yang kalian pikirkan, Ibu Dewa menginginkan gadis itu menjadi istri Dewa. Dewa ingin membalas tapi tak kuasa menahan diri untuk membenci dirinya sendiri, betapa mulia hati istrinya, lalu apa yang dia lakukan? Berselingkuh! Anggap saja seperti itu…
“Lo, kenapa Wa? Yaampun!!!” Komen Anton setelah membuka pintu dan menemukan teman sekamarnya berantakan. Rambut acak-acakan dengan muka kusut yang tak bisa diartikan. “Ada masalah?” Ujarnya melangkah minggir, membiarkan Dewa melangkah masuk. Tadi sepulang kerja, Anton sebenarnya sudah curiga terhadap Dewa, dia buru-buru pergi ke suatu tempat dan meminta Anton pulang duluan, tapi wajahnya sarat kekhawatiran. Anton menduga sesuatu telah terjadi, tapi dia juga tak ingin terlalu ikut campur, tapi kalau melihat keadannya sekarang, sepertinya dia tak punya pilihan selain mengintrogasi temannya ini. “Minum dulu…” Anton mengangsurkan saenggang cha kearah Dewa. “Setelah ini lo mesti cerita sama gue…”
“Gue bingung mesti ngapain…” Guman Dewa sambil mendudukkan tubuhkan di lantai, menyandarkan punggung ke dinding seperti orang yang putus asa. “Gue nggak pernah merasakan ini sebelumnya…”
Anton duduk di sebelah Dewa. “Tenang Wa… Sebenarnya ada apa?”
Dengan tergagap Dewa bercerita bagaimana dia bisa berakhir di pelaminan dengan Dinda, tapi jatuh cinta pada orang lain—bukan pada istrinya… Bagaimana mulanya dia mengenal Yoona dan bagaimana hubungan itu berakhir sore tadi. Bagaimana hancurnya perasaan gadis itu dan Dewa sendiri. Semuanya seolah bom atom yang selama ini ditahan dan kemudian meledak. Dewa meneteskan air mata. Mensyukuri bagaimana baiknya Dinda tapi menyesali hutang budi itu yang tak seharusnya dia balas dengan menyerahkan hidup pada gadis itu. “Seharusnya gue nggak menikahinya… Tapi kenapa gue lakuin… Kenapa?” Ujarnya sambil menunduk.
Anton yang belum menikah itu bingung mau berkata apa. Selama ini dia iri pada Dewa yang fisiknya lumayan hingga bisa cepat memiliki seorang istri tanpa tahu latar belakang kejadian yang membuatnya mengakhiri lajang—hutang budi? Dia pikir hanya ada dalam novel sebuah hutang budi dibalas dengan pengabdian seumur hidup! Tapi ini Dewa—sabahatnya sendiri? “Tenang Wa… Tenang… Lo mending mandi dulu, biar lo bisa mikir jernih. Semua masalah pasti ada jalan keluarnya…”
“Gue udah nggak bisa keluar lagi. Bagaimana bisa? Gimana dengan nyokab gue yang sakit? Selama ini Dinda—istri gue yang baik itu yang ngejagain…”
“Tapi kalian belum punya keturunan…”
“Maksud lo???”
Akhir bulan telah berlalu, dan Dewa—pria itu masih belum bisa move on dari masalahnya, belum bisa melupakan betapa dia mempunyai perasaan yang dalam pada Yoona. Hidup enggan matipun tak mau. Mungkin itu istilah yang tepat untuknya. Menjalani hidup seperti sebuah kewajiban—bangun tidur ogah-ogahan namun terpaksa melakukannya, berangkat kerja tanpa semangat dan tetap dilakukannya, makan hanya formalitas saja—tanpa memikirkan keharusan ia makan pagi, siang, malam, kalau dalam satu hari saja dia bisa menghabiskan makan itu sesuatu yang luar biasa. Anton yang melihat semua itu setiap hari bahkan sudah mulai muak dan memintanya untuk segera bangkit. “Jangan hanya gara-gara seorang wanita hidup lo jadi ancur gini! Masih banyak hal lain yang harus lo jalani dibanding memikirkan seorang wanita!” Omelnya pagi ini.
Dewa yang tiap hari mendengar ceramahan Anton menutup telinga.
“Wa! Mending lo balik deh selesaiin masalah lo sama Dinda, daripada lo menyesal seumur hidup! Seperti yang gue bilang sebelumnya, kalian belum punya keturunan.”
Dewa menghentikan langkah. Lalu menoleh pada Anton yang sedang berkacak pinggang kearahnya. “Lo minta gue ceraikan Dinda?”
“Atau lo punya pilihan lain?” Tantang Anton seolah mengerti jalan pikiran Dewa.
Dewa mematung mendengar pertanyaan itu—apakah dia seberani itu? Apa dia setega itu terhadap Dinda? Bagaimana cara dia menjelaskan tanpa menyakiti hati istrinya itu. Dewa menggeleng. “Gue akan menjadi orang paling jahat di dunia kalau melakukan itu.” Ujarnya tanpa tenaga.
“Apa lo kira, dengan mempertahankan hubungan kalian yang diambang kehancuran itu nggak akan lebih menyakiti hatinya? Gimana kalau dia tahu lo jatuh cinta untuk pertama kali sama Yoona, bukan sama dia? Apa yang akan terjadi?” Anton masih berusaha meyakinkan Dewa. Tapi pria itu hanya memikirkannya sambil lalu dan melangkah pergi, meninggalkan Anton yang gentian mematung memikirkan kisah cinta sahabatnya yang seperti benang kusut. Sejujurnya itulah yang sebulan belakangan dipikirkannya.
@Incheon International Airport!
Babak baru dalam kehidupan Dewa akan segera dimulai. Bukan untuk memulai lembaran baru dengan Yoona, tapi dia sudah memutuskan bahwa dia akan mengisi lembaran berikutnya yang telah ia mulai dengan Dinda sebelum tiba di Negara ini. Negara dengan keindahan yang tak tergambarkan, namun membuahkan kisah cinta yang memilukan. Dewa sudah mengurus surat pengunduran dirinya pada perusahaan sejak sebulan yang lalu, dimana kalimat Anton lebih meyakinkannya untuk kembali. Jadi sudah dua bulan dia tak pernah bertemu lagi dengan Yoona. Bagaimana kabarnya gadis itu? Apakah baik-baik saja?
Anton sebenarnya sudah menawarkan diri untuk mengantarkan Dewa ke bandara, dia khawatir kalau sahabatnya itu saking linglungnya salah arah atau lebih parahnya salah naik pesawat, dia juga memikirkan bagaimana Dewa akan tiba dengan selamat dengan kondisi menyedihkan seperti itu. Bahkan Anton sempat berpikir bahwa bisa saja Dewa bunuh diri dengan terjun dari atas pesawat, tapi saat memikirkan kemungkinan satu penumpang pesawat akan jatuh semua ketika dia membuka pintu, maka pikiran itu menghilang begitu saja. Dan jadilah Dewa, duduk termenung di ruang tunggu sendirian.
Dia baru akan berjalan setelah sebelumnya sudah ada panggilan dari bagian informasi bahwa Dewa harus bersiap. Namun sebuah panggilan menyejukkan yang dirindukannya berhasil menghentikan niat Dewa. Pasti halusinasi! Pikirnya pedih.
“Dewa ssi!” Panggilan yang sama seperti sebelumnya. Walapun yang sebelumnya lebih terdengar seperti teriakan, dan sekarang gumaman bercampur nafas yang memburu. Dewa menoleh—menemukan seorang gadis dengan wajah—yaampun, bahkan sebelum ini terjadipun dia sudah terlihat pucat dengan kulit seputih itu, dan sekarang—Dewa memandangi gadis itu antara tak percaya dan hancur. “Kau akan meninggalkanku begitu saja?” Ujarnya sambil menahan tangis. “Geojitma…” Pintanya memohon.
Dewa menjatuhkan koper. Melangkah mendekati gadis itu. “Hiduplah dengan baik. Jangan seperti ini…” Ujar Dewa sambil memegang kedua pipi gadis itu dan mengusapnya pelan. Pipi gadis itu terlihat tirus, tak jauh berbeda dengannya. “Hiduplah seperti biasa sebelum aku datang…”
Yoona menggeleng. “Aniyo…”
“Kau akan menemukan seseorang yang mencintaimu. Seseorang yang jujur dan tak pernah mau kehilanganmu…”
Yoona menahan tangan Dewa di pipi. “Oppa… Tak bisakah kau tinggal?”
Dewa mencoba tetap tegar, mencoba tersenyum, walaupun gagal. Air matanya sudah tak terbendung lagi, apalagi ketika melihat air mata dari sudut mata gadis itu yang terus bergulir. Dia menggeleng. “Selamat tinggal…” Dan begitu saja, Dewa berusaha melepaskan tangan gadis itu, dan buru-buru berjalan menjauh. Dia khawatir kalau terlalu mengulur-ulur waktu maka semuanya akan berbeda. Dia takut berubah pikiran. Air matanya tumpah dan Dewa terus berjalan sambil terisak. Yoona pun tak ada bedanya. Gadis itu jauh lebih rapuh, tiba-tiba saja tubuhnya yang lelah itu ambruk dan terduduk diantara orang yang lalu lalang. Tak mempedulikan tatapan iba yang ditujukan padanya. Dia tak peduli. Dia hanya mau pria itu. Ya Tuhan… Mengapa Yoona harus mencintai suami orang???
BERSAMBUNG KE PART 2
“Wa! Bangun woiiii!!! Nggak gawe lo???”
“Kasih gue lima menit buat nerusin mimpi…” Gumam Dewa dari balik selimut. Tubuhnya bergerak-gerak dari balik benda itu. Walaupun tidur di lantai dengan hanya beralaskan kasur lipat tapi tetap hangat karena tempat tinggal mereka menggunakan pemanas lantai—ondol dalam istilah lokal.
Anton, sahabatnya sejak tiba di Negara ini hanya menggeleng sambil menghela nafas panjang. Siapa juga yang tak tergiur dengan selimut sementara diluar sana salju turun dengan intensitas yang tak bisa terbilang rendah. Dan suhunya minus 10 derajat. Dia pun merindukan tanah airnya yang hangat. “Ayo buruan ah…” Anton menarik selimut teman sekamarnya itu paksa. Tak peduli apapun yang akan temannya itu lakukan, dia tak ingin berjalan di tengah salju sendirian karena sepeda yang hanya satu-satunya dibawa Anton. Jarak antara gisuksa, asrama yang disediakan oleh perusahaan dan tempat kerjanya tak terlalu jauh hingga mereka tak perlu menggunakan bus atau kereta untuk menempuh perjalanan singkat itu. “Dalam hitungan ketiga nggak bangun juga, gue siram air!” Ancam Anton yang sontak membuat Dewa terduduk—masih memeluk selimut. Bisa menggigil dia kalau sampai Dewa menyiramnya dengan air dingin. Matanya mengerjap berkali-kali dan tangannya dari balik selimut berusaha keras mengucek kelopaknya. Susahnya jadi pekerja, selalu saja harus taat aturan—kapan gue bisa jadi pengusaha??? Teriak Dewa dalam hati.
Dulu—beberapa tahun sebelum tiba di Negara ini—Negara yang perkembangannya luar biasa cepat dibanding Negara-negara yang lain, tak pernah terbersit dalam benak Dewa untuk hijrah apalagi menjadi TKI. Dia sangat membenci K-Pop atau boyband atau semacamnya yang berisi para pemuda yang bahkan bisa dibilang lebih cantik dari wanita. Dewa ingin berkembang dan maju di negaranya sendiri. Diapun tak ingin hidup dari uang hasil menjual tenaga dan pikirannya ke orang asing. And now? Apa yang dilakukannya sekarang??? Dia sudah menjadi bagian dari mereka semua, makan dan minum seperti penduduk lokal dan cara berpakaiannya pun sudah sama seperti kebanyakan orang disana. Hidup memang aneh…
“Annyeong haseyo…” Sapa seorang gadis setelah Dewa membuka pintu kamarnya. Gadis itu tersenyum ramah sambil memamerkan tangan kanannya yang menenteng sesuatu. Namanya Yoona—persis seperti anggota band Girls Generation walaupun secara fisik dia tak bisa dibandingkan dengan kecantikan alami kekasih Lee Seung Gi itu. Tuh kan—Dewa sudah mulai hafal para idol di Korea. Namun keahlian memasaknya tak bisa diragukan. Semenjak Dewa mulai memakan masakan Negara itu karena jelas-jelas tak ada pilihan warteg, soto lamongan, maupun sate tegal, mau tak mau Dewa harus belajar menikmati menu-menu yang dimakan orang-orang setempat, mulai dari kimchi yang rasanya naudhubillah anehnya, sampai kimbab yang ternyata masih bisa diterima lidah Dewa. Karena di Indonesia-pun Dewa sudah mengenal sushi yang tampilan dan rasanya hampir sama.
Dewa membungkuk membalas salam gadis itu. “Yoona ssi?”
“Oppa…” Yoona mengulurkan sebelah tangan yang penuh bawaan itu. Dari wanginya Dewa sudah bisa menebak bahwa itu pasti hasil olahan tangannya. Gadis itu memang hobi memasak. Dan—Oppa? Dewa sudah mulai terbiasa dengan panggilan itu, tapi sungguh—dia lebih nyaman dipanggil mas. “Semalam aku berpikir apa yang harus kumasak pagi ini untuk sarapanmu, mudah-mudahan Oppa menyukainya…” Ujarnya dengan bahasa Korea yang cepat. Walaupun Dewa masih belum bisa menirukannya secepat itu namun dia masih paham apa yang gadis itu ucapkan. Itu hampir seperti bahasa sunda di Indonesia yang walaupun sudah bertahun-tahun bergaul dengan Anton yang asli Sukabumi, tetap saja Dewa masih tak juga mengerti setiap kali sahabatnya itu mengomelinya dengan rentetan kata yang memusingkan untuk diingat.
“Alhamdulillah… Kita nggak makan ramen hari ini. Yoona baik ya… cantik lagi…” Anton tiba-tiba muncul menggantikan Yoona. “Sayang sekali…” Gumam Anton.
“Memang…” Ujar Dewa sambil menerawang.
Beberapa tahun lalu, Dewa pernah bekerja di sebuah perusahaan bonafit yang tak bisa diremehkan pengaruhnya terhadap Negara Indonesia, karena tentu saja pajak yang harus dibayarkan perusahaan terhadap negarapun tak bisa dipandang sebelah mata. Dewa harus membelalak ketika mengetahui betapa imbasnya sangat terasa pada ratusan vendor ketika perusahaan sedang mengalami krisis, tapi lebih membelalak lagi ketika tahu bahwa dia harus kena PHK gara-gara itu. Menyedihkan. Dari sekian ratus orang dan dia termasuk diantara mereka yang tak bernasib mujur. Dewa memang bukan orang berada, dia hanya mengenyam pendidikan yang tak bisa dibanggakan—lulus dari STM, so what? Orang tuanya sudah berusaha menyekolahkan dia sampai di titik ini dalam segala keterbatasan mereka—dan Dewa, dia sungguh bersyukur dan menyayangi keduanya. Dia tak pernah menuntut orang tuanya untuk menuruti segala keinginan Dewa,tapi mereka—air mata Dewa menetes, tubuh renta kedua orang tuanya itulah yang selalu berusaha memaksimalkan apapun kebutuhan Dewa. Mereka mengerti tanpa harus Dewa beritahu… Memeluk saat Dewa membutuhkan kekuatan, mendiamkan saat dia butuh ketenangan. Tak ada hal apapun yang lebih membuat Dewa senang selain membuat mereka berdua bangga terhadapnya. Bangga melahirkannya. Bangga memilikinya. Lalu apa yang harus ia lakukan?
“Dewa ssi…” Seseorang menepuk bahunya pelan namun keterkejutan tetap tak dapat di hindarkan. Dewa seolah terbangun dari mimpi. “Sedang melamun apa?” Cha Gong Can adalah pria asal Korea yang berbeda sekali dengan yang pernah dilihat Dewa di televisi. Dia dan orang-orang lain karyawan di perusahaan ini bermata sipit, dengan paras yang tak “secantik” pria yang yang wara-wiri di layar kaca. Juga tak setampan mereka. Dia masih original—tanpa operasi plastik!
Dewa tersenyum kecil. “Tahun depan aku pulang ke negaraku…” Dewa menjelaskan.
“Arraso… Anton sudah mengatakannya. Seharusnya kau senang bukan?” Tanya Cha Gong Can sambil duduk di sebelahnya. Mulutnya penuh dengan makanan ketika berbicara.
Dewa tersenyum lagi. Memang dia seharusnya senang, tapi kenapa dia merasa bimbang. Senang itu kalau berkumpul dengan orang-orang yang kalian cintai bukan? “Entahlah… Aku sendiri masih tak mengerti…”
“Kau akan kembali lagi kesini?” Tanyanya lagi. Padahal pertanyaan pertamanya masih belum mampu Dewa jawab, tapi dia sudah melempar Dewa dengan pertanyaan lain.
Dewa menghela nafas. “Itupun aku masih tak mengeri…” Lagi-lagi Dewa menerawang.
Cha Gong Can mengeryit. “Kau menyukai seseorang?”
Dewa menoleh. “Apakah begitu kentara?”
Pria sebelahnya menoleh. Lalu mengangguk. “Kau terlihat tak rela meninggalkan tempat ini sementara kau juga bingung mempertimbangkan untuk kembali…”
“Kau benar…” Gumam Dewa lemah.
Pernahkah kalian mengalami dilema seperti yang dialami Dewa? Benar—dia memang mengalami masalah dengan yang namanya perasaan. Dia telah memiliki seseorang di Indonesia dan “belajar” menitipkan hatinya pada perempuan itu—dan sekarang dia menyukai seseorang lain di Negara ini karena perhatian gadis itu yang amat sangat terhadapnya. Membuatkan sarapan tiap pagi—bahkan seorang istripun belum tentu melakukan itu pada suaminya. Tapi gadis Korea itu—dia susah payah memasak makanan untuk orang yang disukainya dengan lihai dan tak sampai disitu saja, dia bahkan menyempatkan waktu untuk memodifikasinya—membuat hiasan mata, hidung, bibir dengan potongan sayur dan buah misalnya. Dewa pikir itu hanya akan ditemukannya di televisi, dan ternyata itu benar terjadi. Ah—Yoona ssi… Mengapa kau membuatnya menjadi begitu sulit… Gumamnya dalam hati sambil membayangkan betapa halusnya kulit gadis itu. Sehalus porselen dengan kulit seputih mutiara. Jika saja dia tak begitu perhatian pada Dewa pasti Dewa hanya menganggapnya seperti gadis Korea lain yang mengabaikannya…
Dinda—teman sekaligus tetangganya semenjak jaman sekolah. Dan seolah tak ada gadis lain saja karena setelah merantau ke ibukota pun dia masih tetap menjaga hubungan mereka dengan lebih mengenal satu sama lain, walaupun berkali-kali Dewa hampir menjalin hubungan dengan gadis lain yang berada di radius jarak pandangnya—bukan hanya berhubungan melalui telepon. Suara tanpa rupa… Karena jelas-jelas walaupun Dewa salah satu yang update masalah gadget—semenjak bekerja, namun Dinda tipe orang yang mengutamakan fungsi daripada lifestyle. Ponsel itu yang penting bisa sms dan telepon—fungsi lain itu “bonus!”. Dewa tetap mempertahankan hubungan itu. Dinda, memang gadis itu tak pernah menjadi seseorang yang dicintainya, tapi kelembutan gadis itulah yang membuat Dewa berpikir bahwa tipe gadis seperti Dinda lah yang akan mendampingi Dewa di sisa hidupnya. Cinta bisa tumbuh seiring berjalannya waktu dengan kebersamaan. Kebersamaan? Tapi justru sebaliknya, dari awal mereka tinggal terpisah, sampai menikahpun mereka kembali berpisah, bahkan terpisah jarak yang begitu mustahil bagi Dinda untuk bisa menyusul Dewa ke Negara ini. Dan rasanya sulit mempertahankan hubungan semacam ini… Mengingat betapa banyaknya gadis cantik dan seksi berada di sekelilingnya, entah itu bawaan lahir atau hasil operasi plastik. Kadang Dewa tergoda untuk tak kembali ke Indonesia dan hanya menghabiskan sisa hidupnya di Negara ini…
“Oppa, wajahmu terlihat pucat. Apa kau sakit?”
Dewa masih dalam mood yang tak baik menoleh dan memaksakan senyum. Tapi wajahnya berubah agak merona, antara dingin dan senang, Yoona datang tepat waktu bahkan sebelum waktu janjian. Tadi saat jam kerjanya habis Dewa langsung mengirimkan pesan singkat untuk gadis itu, dia tahu bahwa Yoona pasti sudah selesai bekerja juga. Gadis itu bukan orang kaya, dia hanya seorang pelayan restoran yang pendapatannya pas-pasan. Dia bukan asli Seoul, hanya seorang perantauan yang mencari kehidupan lebih layak. Sama sepertinya. Dewa menepuk bangku kosong di sebelahnya meminta gadis itu duduk, mereka janjian bertemu di taman tak jauh dari gisuksa dimana Yoona tinggal. “Kau ingat tempat ini?”
Senyum Yoona terkembang. “Waktu itu kau kebingungan mencari jalan pulang…” Ujarnya sambil terkekeh. “Dan mereka semua tak mengerti apa yang kau bicarakan…” Ingatan Yoona melayang ke masa dimana mereka dipertemukan pertama kali.
“Benar! Saat itu salju turun begitu deras, aku hampir mati membeku di tempat ini…” Kenang Dewa. Seperti saat mereka bertemu dulu, sekarangpun sama, musim dingin. Tapi sore ini tak sebutirpun salju turun, karena itu Dewa memberanikan diri untuk mengajak gadis itu bertemu di tempat ini.
Yoona terbahak. “Tapi Oppa, mengapa kau mengajakku ke tempat ini. Sekarang begitu dingin…” Gadis itu menempelkan sarung tangan ke muka setelah menggosok kedua telapak tangannya. “Akan lebih baik jika kita pulang dan minum saenggang cha—teh jahe…”
Dewa menarik nafas panjang. Susah payah dia menahan perasaan aneh untuk Yoona selama ini, dan dia harus membuat keputusan. “Jangan memperhatikanku lagi Yoona ssi…” sejak siang tadi Dewa sudah mempertimbangkan masak-masak untuk mengatakan ini pada Yoona. Akan lebih baik kalau semuanya belum terlalu jauh, sebelum gadis itu makin terluka saat mengetahui kenyataan yang sebenarnya.
Yoona menoleh terkejut. Walaupun Dewa mengatakannya dengan pelan, namun kalimat itu begitu jelas di telinga Yoona. Dewa—pria itu belum bisa mengucapkan bahasa Korea dengan cepat, dia masih selalu berhati-hati menggunakan dan mengeja tiap katanya. “Oppa…”
“Disini kita bertemu pertama kali…” Dewa menatap Yoona. “Disini pula aku ingin mengakhiri semuanya…” Dewa melanjutkan dengan pedih.
Yoona menatap balik dengan pandangan terluka. Dewa memang orang asing saat itu, begitupun Yoona yang juga belum lama datang ke Seoul saat bertemu dengan Dewa. Sehingga ketika dia menemukan ada seorang pria kebingungan mencari jalan pulang, dia teringat pada kejadian yang juga menimpanya ketika pertama kali tiba di Seoul. Yoona hanya ingin membantu, tapi jika saat mereka bertatapan Yoona jatuh cinta—apa itu salah? Dewa dengan wajah—Yoona bahkan tak paham darimana pria dengan kulit kecoklatan itu berasal, dia hanya yakin bahwa pria itu bukan orang Korea, karena bahasa inggris jelas-jelas hanya digunakan oleh orang asing di Negara ini… Air mata Yoona menetes. “Eotteokhe?” Yoona bertanya pada Dewa dengan air mata siap tumpah. “Kenapa kau melakukan ini?”
“Mianata…” Ujar Dewa menyesal. Dia memang tak berniat membuat gadis itu sedih dan terluka, tapi sekarang dia sudah melakukannya. Dewa sadar dia sudah sangat egois, tapi lebih egois lagi kalau hubungan ini diteruskan.
“Apakah ada orang lain?” Tanya Yoona sedih. Gadis itu menunduk dengan telinga waspada. Kedua tangannya meremas tas di pangkuan.
Dewa mengangguk, walaupun dia tahu gadis itu tak memperhatikannya.
“Oppa—“ Seperti tak kuat untuk menanyakan maka kalimat itu menggantung di udara. “Oppa… Mencintainya?”
Awalnya ragu. Tapi akhirnya Dewa mengangguk. Entah apa arti dari anggukan itu, Dewa hanya khawatir jika dia melakukan sebaliknya maka Yoona akan bertanya, mengapa dia menikah jika tak mempunyai perasaan apapun. Dan Dewa khawatir jika Yoona tetap berharap pada hubungan mereka namun Dewa tak tega mengakhiri hubungan dengan istrinya. Yoona akan sakit hati.
“Siapa?” Tanyanya lemah.
“Istriku…”
Yoona menoleh. Terkejut. Dia tak pernah tahu ada petir saat musim salju—tapi sekarang, Yoona seolah merasakan bahwa baru saja petir lah yang menyambarnya. Apa pria itu bilang? Istri? Bagaimana mungkin Yoona tak pernah mengetahuinya… Secepat kilat gadis itu berdiri, yang diikuti dengan Dewa yang tak kalah cepat seolah ingin mencegah jika Yoona akan pergi, mereka berhadap-hadapan. Yoona sedang mengendalikan emosinya dengan sekuat tenaga tapi toh itu tak berhasil juga ditahannya hingga sebuah tamparan hebat menyadarkannya. Yoona sudah menampar Dewa, tapi Dewa hanya diam—pria itu sudah memperkirakan bahwa hal ini akan terjadi. Dia sudah siap menghadapinya… Dia sudah bersalah terhadap gadis itu. Walaupun tak pernah terang-terangan mengakui perasaannya yang memang sedikit demi sedikit tumbuh untuk Yoona, namun Dewa tak menampik bahwa gadis itulah alasan kenapa dia bisa betah dan nyaman berada di tempat asing ini. Yoona lah alasannya bertahan di Korea. Dan Dinda—jujur, dia telah mulai—melupakannya… Bagaimana ini bisa terjadi? Yoona menangis sebelum berlari dan meninggalkan Dewa di tengah salju yang tiba-tiba saja turun… Seperti dalam drama, salju membuat apa yang baru saja terjadi menjadi makin dramatis. Menyedihkan!
“Yoona ssi…!” Panggil Dewa, berusaha mencegah gadis itu pergi tapi lalu sadar bahwa sekarang dia tak berhak melakukannya. Sebenarnya, sejak awalpun dia tak berhak.
Dewa berjalan di tengah salju, mengabaikan butir-butir yang berjatuhan makin lama makin besar. Dia berjalan gontai tak tentu arah. Dia seolah kehilangan pegangan. Tadi pagi dia masih dalam keadaan sehat walaupun mood nya tak baik—tapi sekarang dia seperti mayat hidup. Tak mempunyai kekuatan. Seharusnya, sejak awal dia tak menerima kebaikan hati Yoona, hingga membuat gadis itu terluka, begitupun dengannya. Hatinya seolah teriris melihat luka di mata gadis itu, Dewa ingin merengkuh gadis itu kedalam pelukannya. Tapi siapa dia? Dewa bukan siapa-siapa. Dia hanya seorang suami yang dengan tenangnya menganggap hubungan dengan gadis lain adalah bukan sesuatu yang salah, dan saat dia sadar, semuanya terlambat… Yoona mencintainya dan Dewapun tak ada bedanya dengan gadis itu. Lalu Dinda? Bagaimana dengan dia?
“Semalam ibu serangan jantung lagi. Tapi sekarang udah baikan, Alhamdulillah…” Dewa membaca pesan itu dengan terkejut. Pantas saja perasaannya tak enak sejak semalam. Lalu melanjutkan membaca. “Mas, baru pulang ya?”
Dewa memejamkan mata. Dia belum sampai gisuksa, masih di emperan toko, duduk sendirian seperti gelandangan yang sebarang kara. Inilah yang paling memberatkan untuk Dewa. Dinda, gadis itu adalah seorang yatim piatu, sedangkan Dewa—dia masih bersyukur karena ibunya masih hidup, walaupun dia tak sehat, dan inilah alasan kenapa Dewa sampai banting tulang mencari uang, karena dia harus membiayai biaya pengobatan ibunya yang tak bisa dibilang murah. Dan istrinyalah yang sekarang menggantikannya merawat ibunya. Ayah Dewa meninggal saat Dewa baru lulus sekolah. Dinda dengan senang hati merawat ibu Dewa, walaupun dia tak punya ketertarikan sedikitpun pada gadis itu yang merupakan teman sekolahnya. Kalau Dewa begitu giat belajar, maka Dinda giat bekerja untuk membayar biaya sekolahnya sendiri. Sepulang sekolah membantu berjualan di toko kelontong Haji Ali, orang kaya dan terpandang di kampung mereka, lalu malamnya gadis itu mengajar ngaji di mushola. Suatu hal yang membanggakan jika kedua orang tuanya masih hidup. Dan Ibu Dewa—yang merasa hidup sebatang kara karena Dewa merantau di ibukota meminta gadis itu tinggal bersamanya, dan kemudian—ya, seperti yang kalian pikirkan, Ibu Dewa menginginkan gadis itu menjadi istri Dewa. Dewa ingin membalas tapi tak kuasa menahan diri untuk membenci dirinya sendiri, betapa mulia hati istrinya, lalu apa yang dia lakukan? Berselingkuh! Anggap saja seperti itu…
“Lo, kenapa Wa? Yaampun!!!” Komen Anton setelah membuka pintu dan menemukan teman sekamarnya berantakan. Rambut acak-acakan dengan muka kusut yang tak bisa diartikan. “Ada masalah?” Ujarnya melangkah minggir, membiarkan Dewa melangkah masuk. Tadi sepulang kerja, Anton sebenarnya sudah curiga terhadap Dewa, dia buru-buru pergi ke suatu tempat dan meminta Anton pulang duluan, tapi wajahnya sarat kekhawatiran. Anton menduga sesuatu telah terjadi, tapi dia juga tak ingin terlalu ikut campur, tapi kalau melihat keadannya sekarang, sepertinya dia tak punya pilihan selain mengintrogasi temannya ini. “Minum dulu…” Anton mengangsurkan saenggang cha kearah Dewa. “Setelah ini lo mesti cerita sama gue…”
“Gue bingung mesti ngapain…” Guman Dewa sambil mendudukkan tubuhkan di lantai, menyandarkan punggung ke dinding seperti orang yang putus asa. “Gue nggak pernah merasakan ini sebelumnya…”
Anton duduk di sebelah Dewa. “Tenang Wa… Sebenarnya ada apa?”
Dengan tergagap Dewa bercerita bagaimana dia bisa berakhir di pelaminan dengan Dinda, tapi jatuh cinta pada orang lain—bukan pada istrinya… Bagaimana mulanya dia mengenal Yoona dan bagaimana hubungan itu berakhir sore tadi. Bagaimana hancurnya perasaan gadis itu dan Dewa sendiri. Semuanya seolah bom atom yang selama ini ditahan dan kemudian meledak. Dewa meneteskan air mata. Mensyukuri bagaimana baiknya Dinda tapi menyesali hutang budi itu yang tak seharusnya dia balas dengan menyerahkan hidup pada gadis itu. “Seharusnya gue nggak menikahinya… Tapi kenapa gue lakuin… Kenapa?” Ujarnya sambil menunduk.
Anton yang belum menikah itu bingung mau berkata apa. Selama ini dia iri pada Dewa yang fisiknya lumayan hingga bisa cepat memiliki seorang istri tanpa tahu latar belakang kejadian yang membuatnya mengakhiri lajang—hutang budi? Dia pikir hanya ada dalam novel sebuah hutang budi dibalas dengan pengabdian seumur hidup! Tapi ini Dewa—sabahatnya sendiri? “Tenang Wa… Tenang… Lo mending mandi dulu, biar lo bisa mikir jernih. Semua masalah pasti ada jalan keluarnya…”
“Gue udah nggak bisa keluar lagi. Bagaimana bisa? Gimana dengan nyokab gue yang sakit? Selama ini Dinda—istri gue yang baik itu yang ngejagain…”
“Tapi kalian belum punya keturunan…”
“Maksud lo???”
Akhir bulan telah berlalu, dan Dewa—pria itu masih belum bisa move on dari masalahnya, belum bisa melupakan betapa dia mempunyai perasaan yang dalam pada Yoona. Hidup enggan matipun tak mau. Mungkin itu istilah yang tepat untuknya. Menjalani hidup seperti sebuah kewajiban—bangun tidur ogah-ogahan namun terpaksa melakukannya, berangkat kerja tanpa semangat dan tetap dilakukannya, makan hanya formalitas saja—tanpa memikirkan keharusan ia makan pagi, siang, malam, kalau dalam satu hari saja dia bisa menghabiskan makan itu sesuatu yang luar biasa. Anton yang melihat semua itu setiap hari bahkan sudah mulai muak dan memintanya untuk segera bangkit. “Jangan hanya gara-gara seorang wanita hidup lo jadi ancur gini! Masih banyak hal lain yang harus lo jalani dibanding memikirkan seorang wanita!” Omelnya pagi ini.
Dewa yang tiap hari mendengar ceramahan Anton menutup telinga.
“Wa! Mending lo balik deh selesaiin masalah lo sama Dinda, daripada lo menyesal seumur hidup! Seperti yang gue bilang sebelumnya, kalian belum punya keturunan.”
Dewa menghentikan langkah. Lalu menoleh pada Anton yang sedang berkacak pinggang kearahnya. “Lo minta gue ceraikan Dinda?”
“Atau lo punya pilihan lain?” Tantang Anton seolah mengerti jalan pikiran Dewa.
Dewa mematung mendengar pertanyaan itu—apakah dia seberani itu? Apa dia setega itu terhadap Dinda? Bagaimana cara dia menjelaskan tanpa menyakiti hati istrinya itu. Dewa menggeleng. “Gue akan menjadi orang paling jahat di dunia kalau melakukan itu.” Ujarnya tanpa tenaga.
“Apa lo kira, dengan mempertahankan hubungan kalian yang diambang kehancuran itu nggak akan lebih menyakiti hatinya? Gimana kalau dia tahu lo jatuh cinta untuk pertama kali sama Yoona, bukan sama dia? Apa yang akan terjadi?” Anton masih berusaha meyakinkan Dewa. Tapi pria itu hanya memikirkannya sambil lalu dan melangkah pergi, meninggalkan Anton yang gentian mematung memikirkan kisah cinta sahabatnya yang seperti benang kusut. Sejujurnya itulah yang sebulan belakangan dipikirkannya.
@Incheon International Airport!
Babak baru dalam kehidupan Dewa akan segera dimulai. Bukan untuk memulai lembaran baru dengan Yoona, tapi dia sudah memutuskan bahwa dia akan mengisi lembaran berikutnya yang telah ia mulai dengan Dinda sebelum tiba di Negara ini. Negara dengan keindahan yang tak tergambarkan, namun membuahkan kisah cinta yang memilukan. Dewa sudah mengurus surat pengunduran dirinya pada perusahaan sejak sebulan yang lalu, dimana kalimat Anton lebih meyakinkannya untuk kembali. Jadi sudah dua bulan dia tak pernah bertemu lagi dengan Yoona. Bagaimana kabarnya gadis itu? Apakah baik-baik saja?
Anton sebenarnya sudah menawarkan diri untuk mengantarkan Dewa ke bandara, dia khawatir kalau sahabatnya itu saking linglungnya salah arah atau lebih parahnya salah naik pesawat, dia juga memikirkan bagaimana Dewa akan tiba dengan selamat dengan kondisi menyedihkan seperti itu. Bahkan Anton sempat berpikir bahwa bisa saja Dewa bunuh diri dengan terjun dari atas pesawat, tapi saat memikirkan kemungkinan satu penumpang pesawat akan jatuh semua ketika dia membuka pintu, maka pikiran itu menghilang begitu saja. Dan jadilah Dewa, duduk termenung di ruang tunggu sendirian.
Dia baru akan berjalan setelah sebelumnya sudah ada panggilan dari bagian informasi bahwa Dewa harus bersiap. Namun sebuah panggilan menyejukkan yang dirindukannya berhasil menghentikan niat Dewa. Pasti halusinasi! Pikirnya pedih.
“Dewa ssi!” Panggilan yang sama seperti sebelumnya. Walapun yang sebelumnya lebih terdengar seperti teriakan, dan sekarang gumaman bercampur nafas yang memburu. Dewa menoleh—menemukan seorang gadis dengan wajah—yaampun, bahkan sebelum ini terjadipun dia sudah terlihat pucat dengan kulit seputih itu, dan sekarang—Dewa memandangi gadis itu antara tak percaya dan hancur. “Kau akan meninggalkanku begitu saja?” Ujarnya sambil menahan tangis. “Geojitma…” Pintanya memohon.
Dewa menjatuhkan koper. Melangkah mendekati gadis itu. “Hiduplah dengan baik. Jangan seperti ini…” Ujar Dewa sambil memegang kedua pipi gadis itu dan mengusapnya pelan. Pipi gadis itu terlihat tirus, tak jauh berbeda dengannya. “Hiduplah seperti biasa sebelum aku datang…”
Yoona menggeleng. “Aniyo…”
“Kau akan menemukan seseorang yang mencintaimu. Seseorang yang jujur dan tak pernah mau kehilanganmu…”
Yoona menahan tangan Dewa di pipi. “Oppa… Tak bisakah kau tinggal?”
Dewa mencoba tetap tegar, mencoba tersenyum, walaupun gagal. Air matanya sudah tak terbendung lagi, apalagi ketika melihat air mata dari sudut mata gadis itu yang terus bergulir. Dia menggeleng. “Selamat tinggal…” Dan begitu saja, Dewa berusaha melepaskan tangan gadis itu, dan buru-buru berjalan menjauh. Dia khawatir kalau terlalu mengulur-ulur waktu maka semuanya akan berbeda. Dia takut berubah pikiran. Air matanya tumpah dan Dewa terus berjalan sambil terisak. Yoona pun tak ada bedanya. Gadis itu jauh lebih rapuh, tiba-tiba saja tubuhnya yang lelah itu ambruk dan terduduk diantara orang yang lalu lalang. Tak mempedulikan tatapan iba yang ditujukan padanya. Dia tak peduli. Dia hanya mau pria itu. Ya Tuhan… Mengapa Yoona harus mencintai suami orang???
BERSAMBUNG KE PART 2
Monday, January 19, 2015
HATIKU, HATIMU, MILIK KITA…
Brian Wirasena. Seorang pria berumur matang yang tak sekalipun terlihat menggandeng seorang perempuan—bagaimana mungkin bisa, sementara dia begitu disibukkan dengan berbagai urusan pekerjaan yang tak ada habis-habisnya. Padahal, walau dipandang dari sudut manapun, siapa sih gadis yang bisa menolak pesonanya? Tampan, kaya, sukses? Siapa yang tak mau?
“Siang Pak, ada tamu ingin bertemu dengan Bapak…”
Brian mengeryit bingung. Sepertinya dia tak ada janji dengan seseorang hari ini selain meeting. Dan—ini sudah after office hours, siapa pula yang berani mengacaukan jam pulang kerjanya? “Siapa?”
Celline—sekretaris Brian yang cantik dan fashionable. Free dan cinta mati dengan Brian—dan tentu saja diacuhkannya, kalau diterima bukankah Brian tak mungkin tak menggandeng perempuan di berbagai pertemuan? “Receptionis bilang sih namanya Abel, Pak…” Celline terdengar seperti tak rela mengucapkan nama itu, dan dari ujung telepon Celline pun mendengar reaksi Brian terlalu terkejut. “Bapak mau bertemu dengannya—atau…”
“Oke, lima menit lagi saya turun… Thank’s Cel…” Brian menutup telepon. Gusar.
Baru beberapa menit lalu dia menghubungi orang rumah untuk mengabarkan bahwa dia akan pulang on time, dan sekarang sepertinya dia akan kembali pulang terlambat. Lagipula kenapa Brian harus repot-repot untuk mengabarkan kepulangannya? Memangnya ada siapa dirumah? Kedua orang tuanya sudah meninggal, istri tak punya, dan kekasih? Brian menggeleng kesal. Setahun yang lalu Annabel atau Abel adalah kekasihnya. Tapi sekarang—Brian menggeleng, dia bahkan masih ingat bagaimana setahun lalu gadis itu meninggalkannya untuk mengejar pria lain yang kaya raya, yang katanya lebih bisa membahagiakannya. Untuk apa dia datang? Brian penasaran hingga tak sadar langkahnya telah terhenti di hadapan seorang gadis—cantik, modis, berkelas, dan—seksi? Ternyata pesona Abel masih saja menghipnotisnya. Walaupun kata seksi lebih bisa dikatakan “berisi”.
“Hey, Beib…” Abel menghampiri Brian dan berusaha memeluk pria itu. Dan dengan cepat Brian menghindar. Lalu ketika Abel mengulurkan jemarinya yang ramping ke wajah pria di hadapannya hampir Brian terlena—matanya langsung terpejam, tapi entah malaikat dari mana yang berhasil menyadarkannya—Brian menepis tangan itu. Tak memberinya kesempatan untuk kembali membuainya dengan rayuan-rayuan yang dapat membuat Brian luluh. Lagi. “Aku kembali…”
“Untuk apa?”
“Jelas untuk kamu… Memang ada yang lain?” Abel tersenyum menggoda. Saat melihat Brian diam, Abel berusaha memegang wajahnya lagi.
Dan Brian langsung waspada. “Ini kantor…” Brian menarik gadis itu kearah sudut yang lebih tersembunyi. Untung saja kantor agak sepi hari ini.
“Apa kita harus pindah ke tempat lebih privacy?” Abel mengerling genit. “Apartement?”
“Cukup! Apa mau kamu?”
Abel langsung menjelaskan apa tujuannya mendatangi Brian di sore yang tenang dan mendadak kacau ini. Gadis itu menyesal meninggalkan Brian dan ingin kembali menjalin hubungan pria itu. Dia juga bilang bahwa ternyata kekasihnya yang lebih bisa membahagiakannya dibanding Brian itu tak lebih dari seorang pria pengecut yang hanya mau tubuhnya saja. Jadi dengan kata lain—Abel sudah tak “virgin” lagi? Tak bisa dipungkiri, walaupun sering dibilang udik, kampungan, atau apapun Brian memang sangat menjaga harga dirinya—dengan “tak tidur” dengan sembarang wanita misalnya. Walaupun Abel, gadis itu sangat menggoda untuk disentuh, tapi Brian tak berani melakukannya… Hanya kecupan kecil atau ciuman singkat yang seketika dia hentikan kalau sudah mulai panas—artinya Brian bisa mengendalikan nafsu kan? Dan untuk gadis sebebas Abel, hal itu terlalu membuatnya menderita. Pernah suatu kali Abel berusaha menggodanya, menciumnya habis-habisan berharap bahwa Brian akan keterusan dan melakukan apapun yang seharusnya dia lakukan yang tak bisa ditahannya lagi—tapi toh Brian sekali lagi—sangat mampu mengendalikan gairahnya. Saat itu Brian yang cinta mati dengan Abel bertanya takut-takut pada gadis itu, apakah Abel masih virgin? Apakah gadis itu benar-benar belum pernah berbuat kelewat batas? Dan Abel—tentu saja gadis selicik dia langsung mengatakan bahwa Brian terlalu berprasangka buruk padanya. “Tentu saja aku masih suci! Kamu pikir aku apa?” Ucapnya marah ketika itu, dan Brian kembali lagi bertekuk lutut padanya. Tapi sekarang?
Brian tiba dirumah sangat terlambat. Lebih terlambat daripada hari-hari biasanya ketika dia disibukkan dengan urusan kantor. Dan selalu saja menemukan rumah dalam keadaan sepi… Kadang ini membuatnya berpikir—betapa hidup seorang diri di dunia ini, walaupun dengan materi berlimpah, dan kekuasaan yang tak terbatas, tetap saja hidup sendiri itu sangat tak berarti. Brian ingat, di setiap acara reuni yang diadakan rekan-rekan SMP, SMA, dan kampusnya—dia selalu menjadi bulan-bulanan. “Ganteng, sukses, kalau hidup sendiri mah buat apa?” Benar juga. Brian mulai bosan dengan rutinitas yang itu-itu saja setiap hari. Dia ingin kehadiran orang lain dalam hidupnya, dia ingin hitam dan kelabu di kehidupannya menjadi penuh warna—dan Wulan lah yang selalu muncul dalam pikirannya akhir-akhir ini. Tapi kenapa harus Wulan?
“Mas, tadi katanya mau pulang cepet?” Bi Parti—pembantu rumah tangga yang hampir dianggapnya ibu sendiri, karena dia sudah lama ikut keluarganya—sejak kedua orang tuanya masih ada. Wanita itu tak segan-segan menegurnya ketika berbuat salah, dan mengomentari keterlambatannya. “Makan malamnya biar bibi beresin aja kalau gitu…” Ujar bibi terlihat agak sedih.
Brian ingin mencegah. Tapi memang benar—dia sudah kenyang makan malam bersama Abel. Memang dia sudah tak ingin menjalin hubungan lagi dengan gadis itu, tapi apa salahnya berteman? Dan Abel pun sepertinya juga akan menerima tawaran apapun yang Brian berikan. “Wulan?” Biasanya gadis itu yang menyiapkan makan untuknya.
Bi Parti berbalik. “Dia ke dokter, Adhit demam…”
Brian terperangah. Dia melihat jam tangan di pergelangannya dan tak jadi melepas sepatu. “Selarut ini?”
Wanita paruh baya yang tak pernah mau menikah itu hanya mengedikkan bahu. Tapi dari matanya dia terlihat panik juga. “Kalau bibi tahu Mas Brian nggak jadi pulang, bibi nggak akan minta Wulan masak…” Bibi terlihat kecewa.
Tololllll! Hanya itu yang bisa Brian ucapkan dalam hati—memaki perbuatannya sendiri. Bi Parti, saking menganggapnya anak sendiri, sampai-sampai dia paham kalau masakan Wulan sangat disukainya, hingga dia akan selalu meminta Wulan untuk memasakkan makan pagi dan makan malam untuk Brian. Dan gara-gara Abel… Brian merasa bersalah dan—“Dia ke rumah sakit mana?”
Setelah bibi mengatakan nama sebuah rumah sakit, Brian langsung saja menghambur keluar dan secepat kilat menjalankan mobilnya. Wulan—gadis itu, atau—wanita itu, karena dia jelas-jelas punya anak, jadi sebutan apa yang pantas? Walaupun Brian tak tahu dan tak pernah tahu, siapa ayahnya, apa pekerjaannya, dan mengapa Wulan mengasuhnya sendiri. Brian hanya menyukai Wulan, dan itu sangat disesalinya karena tentu saja perasaan itu tak akan pernah berbalas, walaupun—ya, Wulan memang sangat baik dan perhatian padanya. Jika saja Wulan masih sendiri, bukankah itu sangat baik? Tapi kenyataan mengatakan tidak. Brian bisa apa?
Brian bertanya ke pusat informasi dan menanyakan apakah ada pasien bernama Adhitya yang datang ke rumah sakit, jawaban yang melegakan sekaligus mengejutkan. Memang benar ada—tapi dokter yang memeriksa pasien pun sudah pulang, besar kemungkinan kalau si pasien juga sudah pulang. Tapi tentu saja Brian mengecek keberadaan Wulan dimana-mana, meski tak ditemukan dimanapun.
Wulan tak punya ponsel. Ponsel lamanya hilang—dan dia bilang bahwa dia tak memerlukan benda itu. Satu-satunya keluarganya di dunia ini adalah Bi Parti, dan sekarang dia tinggal bersamanya—jadi untuk apa? Hingga keinginan untuk membelikan ponselpun sirna begitu saja dalam diri Brian—apakah Wulan pernah merasa ingin menghubunginya? Pikiran tentang berselingkuh dengan Wulan pun datang begitu saja tanpa diminta. Persetan dengan suami gadis itu.
“Bi, Wulan udah sampai?”
Bibi menggeleng biarpun Brian tak mampu melihatnya di telepon. “Belum Mas, mungkin sebentar lagi… Mas Brian nggak ketemu?”
Tanpa sadar pegangannya di ponsel mengeras. Brian takut. Brian khawatir terjadi sesuatu yang buruk dengan Wulan diluar sana. Biar bagaimanapun—Wulan adalah seorang gadis, dan terlepas dari itu, Wulan adalah seorang gadis yang cantik. Dan Brian—omaigat! Sepertinya itulah alasannya mengapa Brian akhir-akhir ini selalu mengabarkan orang rumah kalau dia pulang terlambat atau tepat waktu. Brian berharap bahwa Wulan akan menantikan kedatangannya—setiap hari, dan Brian pun selalu tak sabar untuk segera bertemu dengan gadis itu lagi dan lagi. Kenapa Tuhan—kenapa dia tak bisa memiliki gadis itu?
“Mas Brian?”
Suara lembut nan menenangkan. Membuat debaran jantungnya menghentak-hentak karena walapun sering bercakap namun Brian tak bisa terbiasa. Selalu saja ada perasaan aneh tiap gadis itu menyebut namanya… Brian menoleh, mendapati gadis itu lega—mungkin karena dia memanggil orang yang benar. “Wulan? Kamu darimana saja sih? Saya nyariin kamu dari tadi? Bisa nggak kamu ngabarin saya kalau pergi kemanapun?”
Wulan yang lelah—mendengar omelan yang berentet otomatis kesal. Walaupun sedetik ada perasaan hangat menjalarinya—Brian mencarinya? Tapi yang terlontar tak disadarinya. “Kenapa saya harus mengabarkan kemanapun saya pergi? Wali saya kan Budhe Parti? Dan mengapa Mas Brian marah-marah sama saya?”
“Karena saya majikan kamu! Kamu lupa? Kamu tinggal dirumah saya, kalau terjadi apa-apa sama kamu siapa saya akan ikutan repot…” Brian. Apa yang dia bicarakan? Dia sendiri sama tak menyadarinya sampai saat melihat gadis di hadapannya meneteskan air mata—sesal selalu datang terlambat.
Jadi? Pria seperti ini yang kamu cintai Wulan, hah? Wulan mengejek dirinya sendiri dalam hati. Perasaan hangat itu memudar. Pria yang diduga Wulan lemah lembut dan perhatian terhadap para pengurus rumah dari mulai pembantu, supir, tukang kebun, satpam, ternyata hanya sebatas acting? Kenapa tak jadi aktor saja kalau begitu? Wulan yakin Brian akan dapat piala citra. Actingnya selama ini luar biasa. Baiknya hanya pura-pura. Dan saat diluar sifat aslinya kelihatan. “Maaf… Saya pikir kalau urusan rumah selesai saya bisa ijin untuk membawa Adhit ke dokter… Mas Brian nggak perlu memikirkan kemungkinan itu, merepotkan orang adalah hal yang terakhir saya pikirkan, dan saya pasti akan memilih Budhe Parti—bukan Mas Brian…” Wulan sukses membuat Brian mati kutu, lalu meninggalkan pria itu begitu saja di lobby rumah sakit. Dia sudah siap dipecat saat menginjakkan kaki dirumah.
Dan Brian—dia hanya bisa mematung di tempatnya berdiri.
Keesokan harinya demam Adhit sudah mulai menurun, walaupun frekuensi batuk pileknya tak ada tanda-tanda berkurang. Setidaknya suhu tubuhnya mulai normal. Jadi Wulan bisa melanjutkan pekerjaannya walaupun harus sering-sering menengok kondisi bayinya. Saat Adhit sakit begini Wulan merasa sangat khawatir, dia sudah menganggap bayi kecil itu putranya sendiri. Wulan sangat menyayanginya, walaupun dia masih berharap dapat menemukan wanita cantik yang membuang bayi itu ke dekapannya beberapa bulan lalu. Bagaimanapun, seorang bayi dalam asuhan ibunya lebih baik dibanding Wulan yang tak pernah merasakan yang namanya melahirkan. Bagaimana harus melahirkan? Pacaran saja tak pernah—apalagi menikah. Wulan ingat, saat menjadi seorang koki dulu ada seorang pria yang menyukainya, dan Wulan pun sepertinya mulai tertarik dengan pria itu. Tapi ketika tahu ternyata pria itu meninggalkan istrinya di kampung, Wulan menggeleng—kenangan buruk yang tak perlu diingat lagi. Hampir saja dia merebut suami orang. Dan dibanding melakukan itu, Wulan lebih memilih tak menikah seumur hidupnya seperti yang dilakukan Budhe Parti.
“Semalam Mas Brian nyariin kamu…” Bi Parti tersenyum tulus. “Dia kayaknya khawatir banget sama kamu Lan…”
Wulan menghentikan aktivitasnya. Tapi seolah puas telah menyelesaikan pekerjaannya sepagi ini—semangkuk bubur ayam, untuk sarapan—Brian? Brian belum memecatnya berarti dia masih diakui dirumah ini. Atau mungkin Brian sedang berniat untuk memotong gajinya? Tapi pria itu belum ada tanda-tanda muncul di ruang makan. “Dia nggak mau repot karena Wulan kenapa-kenapa…”
Bi Parti tersenyum. “Sepertinya dia perhatian sama kamu…”
“Budhe jangan begitu saja percaya sama dia. Dia pandai beracting… Dia cuma pura-pura baik di hadapan kita…”
Bi Parti menggeleng. “Budhe kenal dia sejak orang tuanya masih ada. Mas Brian orang yang lembut—dan semenjak ada kamu dia lebih sering makan dirumah. Dulu, jangankan makan malam, makan pagi aja nggak pernah disentuh…” Wulan baru mengetahui fakta ini dan itu membuatnya miris. Apa yang dikatakan pria itu semalam sangatlah menyakitinya. “Tapi kemana Mas Brian, tumben belum turun. Apa jangan-jangan dia sakit… Coba kamu naik Lan, bangunin dia, dia pulang larut karena mencarimu…”
Wulan hendak membantah. Tapi diurungkannya niat itu, dia tidak mau berdebat dengan Budhe Parti. Segera Wulan naik ke lantai dua, ragu tapi diberanikannya mengetuk pintu. Tak ada jawaban. Sekali lagi diketuknya pintu kamar Brian. Mungkin sudah berangkat. Dan tiba-tiba bunyi kunci diputar, muncul sosok—tak seperti biasanya di jam ini, sosok pria bertubuh lemah, berwajah pucat, dan rambut berantakan yang berdiri di hadapannya bersandar pada daun pintu. Andai saja, pria itu dalam keadaan sehat—pose itu bisa dikatakan seksi versi Wulan. Mendadak dia lupa akan kemarahannya… “Mas Brian sakit?” Wulan yang begitu panik reflek langsung menyentuh kening Brian, membuat pria itu terkejut dan memejamkan matanya, menikmati sentuhan ringan Wulan. Seandainya gadis ini tahu apa yang dipikirkannya sekarang… “Saya panggil dokter ya…” Wulan hendak turun tapi dicegah Brian dengan sisa tenaganya.
“Cuma masuk angin…” Pegangannya masih di pergelangan tangan Wulan. Dan Wulan merasa tak nyaman dengan posisi ini. Apa yang akan orang pikirkan kalau melihat mereka? “Adhit?”
Dalam kondisi sekacau ini dia masih ingat orang lain? “Membaik… Dan demamnya pindah ke Mas Brian…” Wulan berusaha menghibur. Biarpun semalam pria ini mengesalkan, Brian tetap majikannya. Tak ada untungnya berperang dengan pria ini, kecuali rugi karena harus dipecat dan angkat kaki dari rumah ini—siapa pula pemilik rumah yang mau memperkerjakan seorang gadis dengan seorang bayi yang masih harus diperhatikannya. Terkadang saat melakukan pekerjaan rumah gadis itu harus menggendong bayinya kesana kemari, kerepotan menenangkan Adhit jika dia lama membuatkan susu, bingung dengan apa yang harus dilakukannya ketika Adhit demam. Lagipula—melihat Brian lemah seperti sekarang, hati Wulan terasa nyeri. Wulan sungguh mengkhawatirkan pria itu.
Brian mengangkat alis dan tersenyum. “Ada apa?”
Wulan tersadar dari lamunan. Lalu tersenyum kikuk. “Ehm, sarapannya mau dibawa kesini?” Brian menggeleng. “Mas Brian mau makan di bawah?” Dia menggeleng lagi. “Lalu?”
“Maaf… Semalam saya—mungkin saya terlalu panik karena salah seorang yang tinggal dirumah saya masih diluar rumah di jam selarut itu…” Ujar Brian tulus.
Wulan hanya diam mendengarkan. “Saya mengerti… Kalau begitu saya permisi…”
“Stay here…” Ucapnya pelan. “With me…”
Omaigatttt! Seandainya ada cermin di hadapan Wulan—apakah wajahnya sudah serupa kepiting rebus? Memerah hanya karena majikannya mengatakan hal-hal yang mungkin tak disadari efeknya terhadap Wulan. Bisa nggak sih majikannya ini bersikap profesional. Dan akhirnya setelah meyakinkan panjang lebar bahwa orang sakit lebih membutuhkan makanan dibanding yang sehat, akhirnya Brian menuruti apa kata Wulan, membiarkan gadis itu membawa makanan ke kamarnya. Brian tertegun—satu-satunya orang yang berani memaksanya makan adalah almarhum mama. Dan sekarang—wulan?
Wulan duduk dengan tegang. Kedua jemarinya menyentuh keyboard sementara wajahnya terfokus pada layar monitor. Brian memintanya menuliskan email, setelah sebelumnya Wulan berhasil memaksa pria itu menyuapkan beberapa sendok bubur ke mulutnya. Setidaknya dia mau makan… Dan pria itu sekarang berdiri begitu dekatnya sambil mendikte apa yang harus Wulan tulis, sesekali pria itu menunduk untuk merevisi pekerjaan Wulan dan itu membuat jantung gadis itu menghentak di permukaan. Betapa pria ini mampu membuatnya bereaksi berlebihan hanya dengan berdekatan seperti sekarang. Walaupun Wulan berpikir—Hello… Siapa elo??? Naksir sama majikan… Mimpi!
“Mengapa kalian berpisah?” Jemari Wulan menggantung di udara—ini bukan kalimat yang harus ditulisnya tentu saja. Apa yang ditanyakan Brian padanya? “Suami kamu—apa dia melakukan sesuatu yang buruk?” Wulan mematung lalu tersenyum. “Ada yang salah?”
Gadis itu menggeleng. Lalu mengangguk. “Mas Brian…”
Brian berpindah ke hadapan gadis itu. Berdiri lalu membungkuk—makin dekat posisi wajah mereka berdua. “Saya?” Brian mengerutkan kening. “Maksud kamu?”
Wulan berdehem kikuk membuat pria itu menyadari posisi mereka. “Saya nggak pernah menikah…” Brian langsung berdiri tegak. Benar juga, Wulan tak mengenakan cincin kawin. Jadi gadis itu tak sepolos dugaannya—dan Brian, dia jelas tak pernah menyukai gadis macam itu, yang tak bisa menjaga kehormatannya. Tapi Brian terlanjur jatuh cinta dengan Wulan… Wulan yang menyadari perubahan ekpresi Brian langsung tersadar. “Maksud saya…”
“Hey… Beib…” Seseorang menyerobot masuk tanpa permisi. Dan langsung membungkam Wulan, menghentikan maksud gadis itu untuk memberi penjelasan. Tapi ada yang aneh—perempuan itu… Seperti pernah dilihatnya… “Are you okey?” Abel langsung menghampiri Brian dan meletakkan punggung tangannya di kening Brian. Tadi pagi Abel mengirimkan message bahwa dia akan mengajak Brian makan siang diluar, dan Brian menjawab bahwa dia tak enak badan hari ini. Tapi siapa sangka Abel masih mengingat jalan kerumahnya. “Why you look so sad? Kita ke dokter…” Abel tak tahu bahwa saat ini pikiran Brian sedang penuh dengan Wulan, Wulannya yang tak sepolos dugaannya. Wulan yang ternyata makin mematahkan hatinya selain alasan bahwa dia telah mempunyai anak—tanpa suami?
“Kamu boleh keluar Lan…”
Suara datar namun menyakitkan untuk didengar Wulan. Pengusiran secaran halus. Detik sebelumnya baik, dan detik selanjutnya ketus, seperti orang asing baginya. Tapi mau gimana lagi? Wulan harus sadar dengan posisinya dirumah ini. Pembantu! Wulan mengangguk sebelum mengalihkan tatapan ke gadis yang menggelayut lengan Brian—menatapnya muak dan jijik. Tapi dimana dia melihat perempuan itu sebelumnya? Wulan seperti familiar… “Permisi…” Pamitnya dengan kepala penuh tanda tanya. Sampai di dapurpun Wulan masih terus memikirkan siapa perempuan itu sebenarnya…
“Mas Brian mana Lan?”
Wulan menggeleng. Tak merasa perlu memberikan penjelasan bahwa pria itu sakit atau semacamnya. “Di kamar sama cewek…” Jawabnya ketus, membuat Bi Parti bertanya-tanya. Wulan sedang cemburu—tapi pada siapa? “Dimana Wulan pernah ketemu sama dia?” Gumamnya lebih pada diri sendiri.
“Siapa?”
“Pacar Mas Brian itu… Wulan yakin pernah ketemu sama dia…”
Bibi mengeryit. “Orang seganteng dan sekaya Mas Brian itu banyak yang mau Lan, barangkali mirip artis…”
Mungkin juga Budhenya benar. Tapi Wulan masih berusaha mengingat-ingat dan mengaduk memorinya. Ah sudahlah, lebih baik Wulan mengurusi Adhit saja, jangan-jangan dia sudah bangun dan Wulan ingat belum memberinya susu pagi ini. Adhit harus meminum obatnya.
“Morning Beib…” Wulan mendengar suara perempuan itu lagi saat sebelumnya dia melihat sebuah sedan metalik mengklakson untuk dibukakan pagar lalu berhenti tepat di depan pintu masuk utama rumah. Dan si satpam sepertinya sudah sangat mengenal perempuan itu. Selama ini Wulan pikir Brian tak punya seorang kekasih—dia terlalu berharap. Tapi ternyata fakta berkata lain, mungkin selama ini kekasih Brian tinggal di luar negeri, pikirnya pahit. Tentu saja Wulan dan kekasih Brian itu bagai langit dan bumi. Mana bisa Brian menyukai perempuan gembel berpendidikan rendah sepertinya. Lulusan SMA yang kemudian mengikuti kursus memasak…
Brian yang saat itu terburu-buru memakai dasi sambil berjalan ke pintu depan ternganga melihat pemandangan di rumahnya yang berbeda pagi ini. Seorang perempuan yang cantik dan seksi sudah menunggunya di teras rumah—dan seorang lain—Wulan, dengan kesederhanaannya sedang membantu tukang kebun merawat bunga-bunga peninggalan almarhumah mamanya. Pemandangan yang sangat kontras. Brian mendadak teringat bagaimana mamanya sangat mencintai kebun mawar di rumah mereka yang saat ini mekar sempurna—betapa dia merindukan momen saat mamanya dengan telaten menyirami bunga-bunga itu. Dan hilanglah sudah kekecewaan Brian terhadap gadis itu—masa lalu adalah masa lalu, Brian ingin berhubungan Wulan untuk masa depan, bukan masa lalu… Biarlah semua itu jadi pelajaran yang berharga untuk Wulan, dan Brian—dia hanya harus menerima apapun keadaan Wulan. Dia menginginkan gadis itu. Dia mencintai Wulan. Dan dia tak bersuami—so, why not? Itu akan lebih melancarkan maksudnya untuk memiliki Wulan. “Abel?”
“Surpriseeee!!!” Pekiknya lalu menghambur untuk memeluk Brian, dan tentu saja pria itu menahannya. Sekilas dia melihat kearah Wulan dan menemukan gadis itu mencuri pandang kearah mereka—haruskah Brian berpura-pura mesra dengan Abel? Oh No! itu nggak akan menjamin—bagaimana kalau ternyata Brian sudah terjebak dalam sebuah hubungan dengan Abel dan ternyata Wulan tetap tak merespon kedekatan mereka? Brian putus asa. Abel memberengut… “Kamu kenapa sih Bri?”
“We just friend, Bel… Remember?"
“Yeah, I know…”
“Kamu ngapain kesini? Aku sedang terburu-buru…” Ucap Brian gusar—sekali lagi melirik kearah Wulan. Gadis itu sudah tak ada disana.
“Kamu kan lagi sakit… Mau bareng? Kantor kita searah?”
Brian mematung. Kalau dia ikut Abel artinya sore nanti dia harus mencari tumpangan, lalu Abel akan mendatanginya dan menawarkan apa yang dia butuhkan, lalu setelahnya dia akan mengajaknya makan malam diluar, dan setelah itu dia akan menemukan rumahnya senyap karena semua orang sudah tertidur. Artinya dia nggak akan menemukan Wulan. “No, thank’s…”
Brian baru saja tiba di kantornya saat—mendadak ponselnya berdering. Dari rumah, gumamnya buru-buru dan membalas sapaan Celline sambil lalu, membuat gadis itu kesal. “Ehm, Mas Brian?” Seumur hidup selama gadis itu bekerja untuknya, ini adalah pertama kalinya Wulan menghubunginya yang artinya bahwa mungkin hal sangat mendesak yang harus gadis itu sampaikan. Mungkinkah—mungkinkah Wulan cemburu pada Abel? Ingatan tentang itu membuat Brian menyeringai senang. Setidaknya walaupun Brian tak berusaha berpura-pura untuk dekat dengan Abel, Wulan tetap cemburu padanya.
“Ya, Lan?” Brian kelewat antusias.
Hening sesaat seperti ada keraguan atau penyesalan. Atau kekesalan??? “Mbak Abel… Ehm, dia… Maaf nih Mas, apa dia pacar Mas Brian?”
Yes! Jadi benar! Wulan cemburu padanya. Kedua bola mata Brian seketika berpendar-pendar—senang. “Kalau iya kenapa kalau nggak kenapa?”
Diberi pilihan pertanyaan tentu saja membuat Wulan makin ragu—artinya dia harus menjawab keduanya. “Itu… Sebenarnya saya bingung mulai dari mana…” Brian menunggu dengan berdebar-debar. “Mungkinkah… Mungkinkah… Mas Brian janji nggak akan marah sama saya?” Suara gadis di seberang sana makin mengecil.
“Kamu mau ngomong apa sebenarnya Lan?” Brian mulai curiga. Perasaannya tak enak.
Suara tarikan nafas yang bisa didengar oleh Brian. “Mungkinkah… Adhit… Anak Mas Brian?”
“Whattttt???” Kenapa pagi-pagi Wulan membuat kekacauan. “Maksud kamu apa??? Kamu menuduh saya mempunyai seorang anak yang—itu kan anak kamu, kamu yang berbuat, mengapa kamu melimpahkah kesalahan pada saya???” Brian yang sudah terpancing emosi menjadi meluap-luap. Benar-benar Wulan! Gadis itu… Nafas Brian naik turun. “Kita bertemu tiga puluh menit, pastikan kamu tidak terlambat!” Desis Brian, dia menyebutkan salah satu restoran yang buka 24 jam yang biasanya dia datangi ketika sarapan pagi—sebelum ada Wulan.
“Kita langsung ke pokok masalah…” Ujar Brian dengan pandangan mengancam. Ketika Brian sampai, Wulan sudah ada di sana dengan gestur tak nyaman, kedua tangannya dipangku, dan dia sama sekali tak menyentuh minumannya. “Apa maksud kamu???”
Wulan seolah ragu—apakah dia sudah terlalu terburu-buru mengambil kesimpulan? Tapi itu adalah satu-satunya jawaban yang paling tepat. “Saya belum menikah…” Hamil diluar nikah—Brian ingin sekali memotongnya dengan kalimat itu. “Nggak mungkin kan orang yang nggak pernah menikah tapi bisa punya anak?” Itu hanya terjadi pada Siti Maryam—tentu saja.
Brian masih menunggu. “Maksud kamu?”
“Adhit bukan putra saya…” Kalau saja Wulan tak menuduhnya sebagai seorang brengsek yang meninggalkan darah dagingnya sendiri, pasti hal itu akan membuatnya lega sekaligus kegirangan. Akhirnya dia bisa memiliki Wulan. Tapi ini… “Saya hanya gadis beruntung yang mendapatkan malaikat kecil malang secara tak terduga. Seorang perempuan cantik meninggalkannya pada saya tanpa memberikan kesempatan pada saya untuk menolak atau mempertanyakan tindakannya yang bodoh.”
“Tunggu… Tunggu… Dari tuduhan kamu sebelumnya, mengenai kemungkinan kedekatan saya dengan Abel—jadi maksud kamu… Abel… Dia…”
Wulan mengangguk. Sejak kemarin saat dia bertemu dengan Abel, Wulan berpikir keras dimana dia pernah melihat gadis itu sebelumnya, tak mungkin karena dia seorang artis, lalu tadi pagi saat tiba-tiba sebuah mobil mendekat kearahnya dan berhenti di depan teras. Dia yakin, dia belum lupa dengan mobil itu—sebuah mobil warna metalik yang tak akan mungkin dilupakannya. “Saya berpikir bahwa hal-hal seperti itu hanya terjadi di televisi, tapi saya masih ingat, Mbak Abel mengangsurkan bayi itu ke pelukan saya dan pergi begitu saja.”
“Dan kamu menuduh saya ayah anak itu?” Wulan menunduk. Siapa lagi yang pantas dijuluki ayah untuk Adhit, biarpun kalau dilihat-lihat lagi, bayi itu tak ada mirip-miripnya dengan Brian. Kemungkinan besar Wulan sudah salah menuduh Brian.
Hari ini Brian sukses membatalkan sebagian jadwal meetingnya dan mengatakan pada Celline bahwa dia baru bisa kembali after lunch. Setelah mendengar tuduhan tak beralasan dari Wulan, dan kemudian mendengar penjelasan dari gadis itu Brian jadi tidak bisa berpikir jernih lagi. Dia harus menyelesaikan ini sesegera mungkin—melepaskan beban berat yang harus ditanggung Wulan gara-gara Abel yang tak bertanggung jawab. Jadi Adhit anaknya Abel? Dan dia membuang anak itu setelah melahirkannya??? Brian tak mengerti jalan yang dipilih Abel dulu. Meninggalkannya begitu saja untuk berpindah ke pelukan Bob—kenalannya saat mereka kuliah di Bandung dan mengatakan bahwa Brian jelas tak akan bisa membahagiakannya. Bahagia macam apa yang Abel butuhkan? Dan sekarang—gadis itu mencoba meraih hatinya kembali setelah dicampakkan Bob? Setelah Bob menghamili gadis itu lalu meninggalkannya tentu saja… Semua kesimpulan itu begitu saja terpikir oleh Brian.
Akhirnya Brian memutuskan untuk mengantarkan Wulan pulang dan meminta gadis itu membereskan semua pakaian Adhit karena Brian akan meminta Abel mengambil kembali tanggung jawab terhadap Adhit. Dia sudah hidup nyaman selama ini—sedangkan Wulan? Gadis itu tak hanya menjadikan dirinya tertawaan orang dengan memiliki anak diluar nikah, dia juga sudah membuat mimpi Wulan menguap begitu saja… Dan Brian—dia marah, dia tak rela, Wulan, gadis yang dicintainya menderita lebih lama lagi. Dia bahkan sudah menganggap Wulan gadis murahan. Selama dalam perjalanan Brian tak henti-hentinya menarik nafas lega bercampur kesal. Lega karena Wulan gadis bebas yang bisa dimilikinya, dan kesal terhadap sikap Abel yang ternyata diluar dugaannya.
“Maaf ya, Mas Brian jadi nggak bisa kerja…” Gadis itu merasa tak enak karena melibatkan majikannya dalam urusannya yang ternyata tidak ada sangkut pautnya dengan Adhit. Kecurigaannya tak beralasan.
Brian yang kaget, untuk pertama kalinya Wulan berbicara setelah sejak di mobil gadis itu mengunci mulutnya rapat. Brian menggeleng. “Kamu harus mendapat keadilan Lan. Saya akan menghubungi Abel agar gadis itu cepat mengambil Adhit…”
Pemikiran tentang betapa teganya Abel membuang Adhit saat itu, maka tidak menutup kemungkinan bahwa Abel akan kembali membuangnya membuat Wulan ketakutan. Biar bagaimanapun Wulan sudah menyayangi Adhit seperti anaknya sendiri. “Tapi Mas… Adhit… Apa Mbak Abel nggak akan melakukannya lagi?”
Brian masih menatap lurus. Tapi sesekali dia melirik ke sisi wajah gadis itu. “Saya akan memastikan bahwa Abel tak punya pilihan selain membesarkannya…”
“Tapi… Bagaimana caranya?” Brian tersenyum, tahu betapa khawatirnya Wulan terhadap Adhit. Brian senang Wulan memiliki kelembutan sebagai seorang wanita. Kalau anak orang saja dia perlakukan sebegitu sayangnya, apalagi anak mereka nanti… Ups! Brian mengerem mendadak membuat Wulan menjerit ketakutan. Gara-gara melamun Brian hampir saja menyerobot lampu merah.
“Kamu nggak apa-apa? Maaf ya…” Ujar Brian tulus. Khawatir. Dan tak sadar dia mengelus rambut Wulan, menenangkan gadis itu dan gadis itu membiarkannya. Wulan membiarkannya pemirsaaaa… ini adalah lampu hijau!!!
“Hey Beib…” Abel sampai di rumah Brian tak lama setelah pria itu menghubunginya. Sepertinya Abel memang sudah ada di sekitar perumahan pria itu, atau jangan-jangan Abel mengikutinya? Ah masa bodoh. Yang penting gadis itu sudah ada dihadapannya, dengan senyum palsu yang seperti diukur selebar mana dia harus tersenyum? “Nunggu lama?” Abel sebenarnya ingin menanyakan mengapa pria itu berada di rumah, bukankah tadi dia sudah berangkat ke kantor. Tapi saking exited-nya dengan telepon Brian, maka Abel melupakan pertanyaan itu.
Brian menggeleng. “Duduk…”’ Abel mengeryit. Gadis itu mengharapkan pelukan dari Brian—bukankah pria itu sadar bahwa dia masih menginginkan Abel sehingga gadis itu dipanggil untuk datang? “Setahun lalu saat kamu ninggalin aku, apa yang terjadi?”
Abel mendongak menatap pria yang duduk berseberangan dengannya. Dia merasa seolah sedang dalam sesi wawancara. “Maksud kamu?”
“Kamu hamil dan “pernah” melahirkan?”
“Apa?” Abel terkejut. Bagaimana Brian bisa tahu masalah ini? Saat dia hamil dan Bob mencampakkannya, Abel bingung. Dia tak tahu apa yang harus dilakukannya… Ayahnya meninggal saat dia masih balita—dan ibunya, wanita itu meninggal karena shock saat Abel mengatakan bahwa dirinya hamil dan ayah bayi yang dikandungnya tak mau bertanggung jawab. Abel menyesali kejadian itu, hingga satu keputusan besar diambilnya—jika dia menggugurkan maka dia akan membunuh bayi itu, sama seperti membunuh ibunya walaupun secara tidak langsung. Maka dia berniat melahirkan bayi itu lalu membuangnya—berharap seseorang yang menemukannya akan merawat anaknya dengan baik. “Apa maksud kamu?”
Dan seorang gadis sederhana muncul saat itu juga dari balik pintu dapur. Gadis itu yang kemarin ada di kamar Brian—gadis itu menggendong seorang bayi yang selimutnya… Abel tak mungkin melupakannya. Sebuah selimut biru terang yang dia pesan khusus dan diberi nama Adhitya. Abel memucat. Bagaimana mungkin ada kebetulan seperti ini? Mungkinkah gadis itu yang dia temui dan dia berikan tanggung jawab untuk merawat Adhit? Bagimana bisa? “Kamu…?” Abel sontak berdiri.
“Bayi anda sehat… Beberapa hari lalu dia demam tinggi dan tak mau minum susu. Mungkin dia kangen sama ibunya…” Abel melongo.
“Lelucon macam apa ini?” Sanggah Abel—dia menatap Brian menuntut jawaban.
Brian mendecakkan lidah kesal. “Wulan sudah menjaga anak kamu dengan baik, kamu harusnya berterima kasih. Mengapa kamu menganggap semua ini lelucon?”
“Tapi… Aku…” Abel terbata.
Brian tak sabar. “Apa kita harus melakukan tes DNA?”
Tentu saja Abel bingung. Dia memang ibunya… Takdir macam apa yang ada dihadapannya saat ini? Saat dia melajukan mobilnya kerumah ini, dia berharap akan membawa cinta Brian kembali ke pelukannya—tapi haruskah Brian menendangnya keluar rumah dengan seorang bayi di dekapannya? Abel meneteskan air mata. Membuat Wulan terharu—sedangkan Brian, dia seolah menganggap bahwa segala hal yang berbau Abel hanya sebuah kepura-puraan.
Wulan mendekati Abel, dia memberikan usapan yang menenangkan ke punggung Abel, berharap gadis itu sedikit tenang. Dia mengajak Abel duduk dan bercerita bahwa Adhit adalah anak yang baik, dia lucu dan menggemaskan. Wulan saja yang bukan ibunya bisa jatuh cinta pada anak itu, mengapa Abel yang merasakan betapa sakitnya melahirkan tak bisa mencintainya… Itu mustahil bukan…
“Dia tak menginginkan anak itu lahir…” Abel sesenggukan.
Wulan tersenyum. “Karena dia belum pernah melihat bagaimana tubuh mungil ini tampan dan lucu… Dan sekaligus rapuh… Membutuhkan kedua orang tuanya untuk tumbuh besar…”
Abel sadar. Bahwa dia pun membutuhkan ayahnya saat hari demi hari hanya dilewatinya bersama ibu—tapi apakah bisa orang mati hidup kembali? Sedangkan dia—Abel terisak makin keras. Dia ibu yang jahat yang tak berperasaan. Dia hidup—Bob hidup. Dan mengapa Adhit harus tumbuh tanpa kedua orang tuanya? Abel tak mau Adhit kekurangan kasih sayang seperti apa yang dialaminya dulu… Tapi melahirkan lalu membuangnya? Sungguh Abel ibu yang jahat.
Dan Brian—dia sebenarnya telah merencanakan untuk memanggil polisi jika Abel tak mau mengakui perbuatannya, dia bahkan telah menghubungi pengacaranya untuk ikut membantu kasus ini. Tapi Wulan—dengan segala kelembutannya, sepertinya gadis itu—yang saat di mobil tadi kebingungan bagaimana caranya agar Abel mau menerima dan merawat Adhit dengan baik, telah menemukan caranya sendiri. Dia yang tak menyadari bahwa kelembutannyalah senjatanya… Hingga Brian berpikir untuk membatalkan segala niat yang berhubungan dengan pihak berwenang. Wulan akan menyelesaikannya tanpa pertumpahan darah…
Tanpa sadar Abel mengulurkan tangan. Meminta Wulan mengembalikan Adhit ke pelukannya. Wulan mengangguk sebelum tersenyum kearah Brian. Senyum bahagia yang tak bisa dia sembunyikan. Walaupun sebenarnya dia berat melepaskan Adhit—tapi sekarang Adhit mendapat pelukan hangat dari ibu kandungnya sendiri. Bagaimanapun itu lebih baik. Dilihatnya Abel memeluk Adhit dengan rindu menatap bayi itu dengan mata berbinar-binar. Abel berterima kasih pada Wulan, dan memberikan ijin padanya kapanpun dia mau dia bisa mendatangi apatement Abel.
“Sibuk?”
Wulan terkejut—hampir saja dia memotong jarinya sendiri biarpun sekarang jarinya sudah terlanjur berdarah karena pisau terlanjur menggores telunjuknya. Wulan memekik membuat Brian panik. Dia sedang mengiris bawang bombay untuk menyelesaikan spageti buatannya. Dan mengapa majikannya ini harus tiba-tiba berada di dapur. Bukankah rumah ini sangat luas—membuat hati Wulan berdebar-debar saja. Semenjak Adhit dibawa oleh ibunya, Wulan mulai kesepian, diapun mulai mencari informasi lowongan pekerjaan… Bagaimanapun dia sudah bebas sekarang. Bebas kemanapun dan apapun yang akan dia kerjakan. “Omaigat! Omaigat! Kotak obat, dimana? Dimana kalian menyimpannya?” Suaranya Brian sarat kekhawatiran.
Wulan menggeleng. “Saya nggak apa-apa… Ini cuma luka kecil…” Ujarnya sambil mengarahkan luka itu ke mulut untuk dihisapnya. Tapi lalu Brian dengan sigap menyabotase tangan itu dan membawanya ke mulutnya sendiri membuat Wulan terkesiap kaget. “Mas Brian… Jangan…” Ujar Wulan memohon. Pemandangan ini sungguh tak layak untuk dikategorikan majikan-pembantu. Membuat Wulan bergidik tentang adanya saksi mata. Dan yang paling penting—membuat jantungnya berdentum-dentum—bagaimana cara menghentikannya? Ya Tuhan…
“Sssttt! It’s okey…” Brian mengulum jari Wulan lagi sebelum akhirnya meniup-niup jari gadis itu dengan lembut. Dipandanginya Wulan yang saat itu merona—gadis itu sungguh cantik. Luar dalam. Lembut sekaligus kuat. Dia meraih kedua jemari Wulan. “Wulan…”
“Maaf Mas, orang rumah bisa melihat kita…” Wulan berusaha melepaskan genggaman Brian. Tapi pria itu menahannya—malah genggaman itu semakin kuat. “Apa kata mereka…?”
Brian tersenyum. “Biar saja… Saya rasa mereka akan maklum. Kita sama-sama single… Kamu lupa?”
Wulan menatap Brian. Pria ini—mengapa dia seperti ini? Menyiksa perasaannya… “Tapi kita nggak ada hubungan apa-apa? Dan saya—saya hanya seorang pembantu. Saya nggak mau orang lain berpikir macam-macam tentang saya…”
“Kalau gitu kita pacaran saja…”
Wulan mendelik. “Apa?”
“Atau kita langsung menikah saja? Bi Parti nggak mungkin menolak saya untuk menjadi menantu…”
Wulan makin gemetaran. Omong kosong macam apa ini? Wulan—dia memang gadis tak tahu malu yang tak bisa menahan diri untuk tak mencintai majikannya—gadis mana yang berani melakukannya? Itu tentu saja cuma di televisi dan novel. Tapi, haruskah Brian mempermainkan perasaannya? Tak bisakah dia becanda hal lain saja. “Mas Brian… Saya memang hanya pembantu, tapi saya punya harga diri… Tolong jangan permainkan saya seperti ini…”
Brian mundur selangkah. Masih tak mau melepaskan genggamannya. “Becanda? Aku serius Lan… Apa aku kelihatan becanda?” Tantang Brian dengan aku—kamu? Wulan bergidik. “Sekarang aku mau tanya dan kamu harus jawab sejujur-jujurnya, kamu dilarang berbohong…” Ancamnya serius.
Wulan diam saja. Lalu saat Brian melepaskan genggaman dan bersedekap dia berbicara lagi. “Bagaimana perasaanmu terhadapku?”
“Mas Brian majikan saya, saya harus menghormati Mas Brian…”
Mata Brian menyipit—jawaban polos, pikirnya—tapi bohong! “Lalu? Bagaimana dengan hati kamu?”
Wulan menjawab cepat. “Hati saya milik saya…”
“Memang—tapi masalahnya, kamu yang memiliki hatiku… Jadi tak bisakah kamu memberikan hatimu juga buat aku?” Wulan melongo. “Aku cinta sama kamu Wulan… Tak bisakah kamu melihat itu?” Memang sih, sejak Adhit tak menjadi tanggung jawab Wulan, Brian menjadi sering muncul di hadapan gadis itu—karena tentu saja Wulan semakin sering berada di sudut manapun dirumah ini agar tak kesepian lagi. Dan tiba-tiba, Brian selalu muncul dihadapannya. Menyapanya lalu menungguinya bekerja. Majikan kurang kerjaan mana yang bisa melakukan hal itu selain Brian? “Say something…”
“Mas Brian nggak malu suka sama saya?”
Brian mengedikkan bahu. “Kenapa harus malu? Mereka yang tak tahu malulah yang menganggap manusia itu berbeda. Padahal semua dimataNYA sama saja…” Wulan tersenyum. “Apa arti senyummu itu?”
Wulan mengedikkan bahu. “Orang yang tak bisa senyumlah yang belum pernah merasakan yang namanya jatuh cinta…”
Brian memutar mata. “Maksudmu?”
“Menurutmu?”
“Jangan buat aku menebak-nebak.”
“Aku sedang nggak bermain teka-teki…” Ujar Wulan masih tak menjawab.
“Wulan… Please….”
“Aku cinta sama kamu… Brian Wirasena… Maukah kau menjadi pacarku?”
“Beraninya kamu nembak majikan kamu sendiri… Aku akan membuat perhitungan sama kamu…” Wulan berlari melewati Brian dan Brian mengejarnya dari belakang, mereka tertawa terbahak-bahak membuat seisi rumah terkejut. Siapa pula yang berani tertawa sekeras itu dirumah ini? Selama ini rumah ini sepi-sepi saja… Dan untuk pertama kalinya setelah kepergian kedua orang tua Brian—rumah ini seolah kembali hidup lagi… Brian tak ingin rumah ini mati lagi—dia menginginkan yang lebih lagi—dan kehadiran anak-anak merekalah yang akan membawa kehidupan yang berwarna dalam rumah mereka nantinya.
END
By_Ristin Fimantika
Subscribe to:
Posts (Atom)