Satu tangan Dewa menarik selimut tinggi-tinggi, sementara sebelah tangan lainnya menggapai nakas di sebelah tempat tidurnya dengan putus asa. Dimana sih dia meletakkan weker semalam? Dan—please deh dia baru saja tidur dua jam yang lalu karena gelisah semalaman hingga matanya tak bisa terpejam—entah apa yang terjadi, dan pagi ini rasanya datang terlalu cepat… Ini adalah musim dingin tahun ketiga yang dijalaninya tanpa keluarga di Negara ini, dan tetap saja Dewa belum juga bisa terbiasa dengan salju, coat, boot, dan segala hal yang akan membuatnya merasa “nyaman” dalam arti yang sesungguhnya. Setiap kali melihat drama Korea yang ditonton oleh teman-teman di Indonesia, Dewa tak bisa memungkiri bahwa style dan cara berpakaian penduduk Korea memang sangat keren, tapi coba kalau kalian sudah mengenakannya—yaampun! Memakai coat atau jubah musim dingin itu rasanya sangat tak nyaman, tak leluasa bergerak, tapi meskipun begitu Dewa tak bisa meremehkan bagaimana mujarabnya benda tebal itu membungkus tubuhnya hangat.
“Wa! Bangun woiiii!!! Nggak gawe lo???”
“Kasih gue lima menit buat nerusin mimpi…” Gumam Dewa dari balik selimut. Tubuhnya bergerak-gerak dari balik benda itu. Walaupun tidur di lantai dengan hanya beralaskan kasur lipat tapi tetap hangat karena tempat tinggal mereka menggunakan pemanas lantai—ondol dalam istilah lokal.
Anton, sahabatnya sejak tiba di Negara ini hanya menggeleng sambil menghela nafas panjang. Siapa juga yang tak tergiur dengan selimut sementara diluar sana salju turun dengan intensitas yang tak bisa terbilang rendah. Dan suhunya minus 10 derajat. Dia pun merindukan tanah airnya yang hangat. “Ayo buruan ah…” Anton menarik selimut teman sekamarnya itu paksa. Tak peduli apapun yang akan temannya itu lakukan, dia tak ingin berjalan di tengah salju sendirian karena sepeda yang hanya satu-satunya dibawa Anton. Jarak antara gisuksa, asrama yang disediakan oleh perusahaan dan tempat kerjanya tak terlalu jauh hingga mereka tak perlu menggunakan bus atau kereta untuk menempuh perjalanan singkat itu. “Dalam hitungan ketiga nggak bangun juga, gue siram air!” Ancam Anton yang sontak membuat Dewa terduduk—masih memeluk selimut. Bisa menggigil dia kalau sampai Dewa menyiramnya dengan air dingin. Matanya mengerjap berkali-kali dan tangannya dari balik selimut berusaha keras mengucek kelopaknya. Susahnya jadi pekerja, selalu saja harus taat aturan—kapan gue bisa jadi pengusaha??? Teriak Dewa dalam hati.
Dulu—beberapa tahun sebelum tiba di Negara ini—Negara yang perkembangannya luar biasa cepat dibanding Negara-negara yang lain, tak pernah terbersit dalam benak Dewa untuk hijrah apalagi menjadi TKI. Dia sangat membenci K-Pop atau boyband atau semacamnya yang berisi para pemuda yang bahkan bisa dibilang lebih cantik dari wanita. Dewa ingin berkembang dan maju di negaranya sendiri. Diapun tak ingin hidup dari uang hasil menjual tenaga dan pikirannya ke orang asing. And now? Apa yang dilakukannya sekarang??? Dia sudah menjadi bagian dari mereka semua, makan dan minum seperti penduduk lokal dan cara berpakaiannya pun sudah sama seperti kebanyakan orang disana. Hidup memang aneh…
“Annyeong haseyo…” Sapa seorang gadis setelah Dewa membuka pintu kamarnya. Gadis itu tersenyum ramah sambil memamerkan tangan kanannya yang menenteng sesuatu. Namanya Yoona—persis seperti anggota band Girls Generation walaupun secara fisik dia tak bisa dibandingkan dengan kecantikan alami kekasih Lee Seung Gi itu. Tuh kan—Dewa sudah mulai hafal para idol di Korea. Namun keahlian memasaknya tak bisa diragukan. Semenjak Dewa mulai memakan masakan Negara itu karena jelas-jelas tak ada pilihan warteg, soto lamongan, maupun sate tegal, mau tak mau Dewa harus belajar menikmati menu-menu yang dimakan orang-orang setempat, mulai dari kimchi yang rasanya naudhubillah anehnya, sampai kimbab yang ternyata masih bisa diterima lidah Dewa. Karena di Indonesia-pun Dewa sudah mengenal sushi yang tampilan dan rasanya hampir sama.
Dewa membungkuk membalas salam gadis itu. “Yoona ssi?”
“Oppa…” Yoona mengulurkan sebelah tangan yang penuh bawaan itu. Dari wanginya Dewa sudah bisa menebak bahwa itu pasti hasil olahan tangannya. Gadis itu memang hobi memasak. Dan—Oppa? Dewa sudah mulai terbiasa dengan panggilan itu, tapi sungguh—dia lebih nyaman dipanggil mas. “Semalam aku berpikir apa yang harus kumasak pagi ini untuk sarapanmu, mudah-mudahan Oppa menyukainya…” Ujarnya dengan bahasa Korea yang cepat. Walaupun Dewa masih belum bisa menirukannya secepat itu namun dia masih paham apa yang gadis itu ucapkan. Itu hampir seperti bahasa sunda di Indonesia yang walaupun sudah bertahun-tahun bergaul dengan Anton yang asli Sukabumi, tetap saja Dewa masih tak juga mengerti setiap kali sahabatnya itu mengomelinya dengan rentetan kata yang memusingkan untuk diingat.
“Alhamdulillah… Kita nggak makan ramen hari ini. Yoona baik ya… cantik lagi…” Anton tiba-tiba muncul menggantikan Yoona. “Sayang sekali…” Gumam Anton.
“Memang…” Ujar Dewa sambil menerawang.
Beberapa tahun lalu, Dewa pernah bekerja di sebuah perusahaan bonafit yang tak bisa diremehkan pengaruhnya terhadap Negara Indonesia, karena tentu saja pajak yang harus dibayarkan perusahaan terhadap negarapun tak bisa dipandang sebelah mata. Dewa harus membelalak ketika mengetahui betapa imbasnya sangat terasa pada ratusan vendor ketika perusahaan sedang mengalami krisis, tapi lebih membelalak lagi ketika tahu bahwa dia harus kena PHK gara-gara itu. Menyedihkan. Dari sekian ratus orang dan dia termasuk diantara mereka yang tak bernasib mujur. Dewa memang bukan orang berada, dia hanya mengenyam pendidikan yang tak bisa dibanggakan—lulus dari STM, so what? Orang tuanya sudah berusaha menyekolahkan dia sampai di titik ini dalam segala keterbatasan mereka—dan Dewa, dia sungguh bersyukur dan menyayangi keduanya. Dia tak pernah menuntut orang tuanya untuk menuruti segala keinginan Dewa,tapi mereka—air mata Dewa menetes, tubuh renta kedua orang tuanya itulah yang selalu berusaha memaksimalkan apapun kebutuhan Dewa. Mereka mengerti tanpa harus Dewa beritahu… Memeluk saat Dewa membutuhkan kekuatan, mendiamkan saat dia butuh ketenangan. Tak ada hal apapun yang lebih membuat Dewa senang selain membuat mereka berdua bangga terhadapnya. Bangga melahirkannya. Bangga memilikinya. Lalu apa yang harus ia lakukan?
“Dewa ssi…” Seseorang menepuk bahunya pelan namun keterkejutan tetap tak dapat di hindarkan. Dewa seolah terbangun dari mimpi. “Sedang melamun apa?” Cha Gong Can adalah pria asal Korea yang berbeda sekali dengan yang pernah dilihat Dewa di televisi. Dia dan orang-orang lain karyawan di perusahaan ini bermata sipit, dengan paras yang tak “secantik” pria yang yang wara-wiri di layar kaca. Juga tak setampan mereka. Dia masih original—tanpa operasi plastik!
Dewa tersenyum kecil. “Tahun depan aku pulang ke negaraku…” Dewa menjelaskan.
“Arraso… Anton sudah mengatakannya. Seharusnya kau senang bukan?” Tanya Cha Gong Can sambil duduk di sebelahnya. Mulutnya penuh dengan makanan ketika berbicara.
Dewa tersenyum lagi. Memang dia seharusnya senang, tapi kenapa dia merasa bimbang. Senang itu kalau berkumpul dengan orang-orang yang kalian cintai bukan? “Entahlah… Aku sendiri masih tak mengerti…”
“Kau akan kembali lagi kesini?” Tanyanya lagi. Padahal pertanyaan pertamanya masih belum mampu Dewa jawab, tapi dia sudah melempar Dewa dengan pertanyaan lain.
Dewa menghela nafas. “Itupun aku masih tak mengeri…” Lagi-lagi Dewa menerawang.
Cha Gong Can mengeryit. “Kau menyukai seseorang?”
Dewa menoleh. “Apakah begitu kentara?”
Pria sebelahnya menoleh. Lalu mengangguk. “Kau terlihat tak rela meninggalkan tempat ini sementara kau juga bingung mempertimbangkan untuk kembali…”
“Kau benar…” Gumam Dewa lemah.
Pernahkah kalian mengalami dilema seperti yang dialami Dewa? Benar—dia memang mengalami masalah dengan yang namanya perasaan. Dia telah memiliki seseorang di Indonesia dan “belajar” menitipkan hatinya pada perempuan itu—dan sekarang dia menyukai seseorang lain di Negara ini karena perhatian gadis itu yang amat sangat terhadapnya. Membuatkan sarapan tiap pagi—bahkan seorang istripun belum tentu melakukan itu pada suaminya. Tapi gadis Korea itu—dia susah payah memasak makanan untuk orang yang disukainya dengan lihai dan tak sampai disitu saja, dia bahkan menyempatkan waktu untuk memodifikasinya—membuat hiasan mata, hidung, bibir dengan potongan sayur dan buah misalnya. Dewa pikir itu hanya akan ditemukannya di televisi, dan ternyata itu benar terjadi. Ah—Yoona ssi… Mengapa kau membuatnya menjadi begitu sulit… Gumamnya dalam hati sambil membayangkan betapa halusnya kulit gadis itu. Sehalus porselen dengan kulit seputih mutiara. Jika saja dia tak begitu perhatian pada Dewa pasti Dewa hanya menganggapnya seperti gadis Korea lain yang mengabaikannya…
Dinda—teman sekaligus tetangganya semenjak jaman sekolah. Dan seolah tak ada gadis lain saja karena setelah merantau ke ibukota pun dia masih tetap menjaga hubungan mereka dengan lebih mengenal satu sama lain, walaupun berkali-kali Dewa hampir menjalin hubungan dengan gadis lain yang berada di radius jarak pandangnya—bukan hanya berhubungan melalui telepon. Suara tanpa rupa… Karena jelas-jelas walaupun Dewa salah satu yang update masalah gadget—semenjak bekerja, namun Dinda tipe orang yang mengutamakan fungsi daripada lifestyle. Ponsel itu yang penting bisa sms dan telepon—fungsi lain itu “bonus!”. Dewa tetap mempertahankan hubungan itu. Dinda, memang gadis itu tak pernah menjadi seseorang yang dicintainya, tapi kelembutan gadis itulah yang membuat Dewa berpikir bahwa tipe gadis seperti Dinda lah yang akan mendampingi Dewa di sisa hidupnya. Cinta bisa tumbuh seiring berjalannya waktu dengan kebersamaan. Kebersamaan? Tapi justru sebaliknya, dari awal mereka tinggal terpisah, sampai menikahpun mereka kembali berpisah, bahkan terpisah jarak yang begitu mustahil bagi Dinda untuk bisa menyusul Dewa ke Negara ini. Dan rasanya sulit mempertahankan hubungan semacam ini… Mengingat betapa banyaknya gadis cantik dan seksi berada di sekelilingnya, entah itu bawaan lahir atau hasil operasi plastik. Kadang Dewa tergoda untuk tak kembali ke Indonesia dan hanya menghabiskan sisa hidupnya di Negara ini…
“Oppa, wajahmu terlihat pucat. Apa kau sakit?”
Dewa masih dalam mood yang tak baik menoleh dan memaksakan senyum. Tapi wajahnya berubah agak merona, antara dingin dan senang, Yoona datang tepat waktu bahkan sebelum waktu janjian. Tadi saat jam kerjanya habis Dewa langsung mengirimkan pesan singkat untuk gadis itu, dia tahu bahwa Yoona pasti sudah selesai bekerja juga. Gadis itu bukan orang kaya, dia hanya seorang pelayan restoran yang pendapatannya pas-pasan. Dia bukan asli Seoul, hanya seorang perantauan yang mencari kehidupan lebih layak. Sama sepertinya. Dewa menepuk bangku kosong di sebelahnya meminta gadis itu duduk, mereka janjian bertemu di taman tak jauh dari gisuksa dimana Yoona tinggal. “Kau ingat tempat ini?”
Senyum Yoona terkembang. “Waktu itu kau kebingungan mencari jalan pulang…” Ujarnya sambil terkekeh. “Dan mereka semua tak mengerti apa yang kau bicarakan…” Ingatan Yoona melayang ke masa dimana mereka dipertemukan pertama kali.
“Benar! Saat itu salju turun begitu deras, aku hampir mati membeku di tempat ini…” Kenang Dewa. Seperti saat mereka bertemu dulu, sekarangpun sama, musim dingin. Tapi sore ini tak sebutirpun salju turun, karena itu Dewa memberanikan diri untuk mengajak gadis itu bertemu di tempat ini.
Yoona terbahak. “Tapi Oppa, mengapa kau mengajakku ke tempat ini. Sekarang begitu dingin…” Gadis itu menempelkan sarung tangan ke muka setelah menggosok kedua telapak tangannya. “Akan lebih baik jika kita pulang dan minum saenggang cha—teh jahe…”
Dewa menarik nafas panjang. Susah payah dia menahan perasaan aneh untuk Yoona selama ini, dan dia harus membuat keputusan. “Jangan memperhatikanku lagi Yoona ssi…” sejak siang tadi Dewa sudah mempertimbangkan masak-masak untuk mengatakan ini pada Yoona. Akan lebih baik kalau semuanya belum terlalu jauh, sebelum gadis itu makin terluka saat mengetahui kenyataan yang sebenarnya.
Yoona menoleh terkejut. Walaupun Dewa mengatakannya dengan pelan, namun kalimat itu begitu jelas di telinga Yoona. Dewa—pria itu belum bisa mengucapkan bahasa Korea dengan cepat, dia masih selalu berhati-hati menggunakan dan mengeja tiap katanya. “Oppa…”
“Disini kita bertemu pertama kali…” Dewa menatap Yoona. “Disini pula aku ingin mengakhiri semuanya…” Dewa melanjutkan dengan pedih.
Yoona menatap balik dengan pandangan terluka. Dewa memang orang asing saat itu, begitupun Yoona yang juga belum lama datang ke Seoul saat bertemu dengan Dewa. Sehingga ketika dia menemukan ada seorang pria kebingungan mencari jalan pulang, dia teringat pada kejadian yang juga menimpanya ketika pertama kali tiba di Seoul. Yoona hanya ingin membantu, tapi jika saat mereka bertatapan Yoona jatuh cinta—apa itu salah? Dewa dengan wajah—Yoona bahkan tak paham darimana pria dengan kulit kecoklatan itu berasal, dia hanya yakin bahwa pria itu bukan orang Korea, karena bahasa inggris jelas-jelas hanya digunakan oleh orang asing di Negara ini… Air mata Yoona menetes. “Eotteokhe?” Yoona bertanya pada Dewa dengan air mata siap tumpah. “Kenapa kau melakukan ini?”
“Mianata…” Ujar Dewa menyesal. Dia memang tak berniat membuat gadis itu sedih dan terluka, tapi sekarang dia sudah melakukannya. Dewa sadar dia sudah sangat egois, tapi lebih egois lagi kalau hubungan ini diteruskan.
“Apakah ada orang lain?” Tanya Yoona sedih. Gadis itu menunduk dengan telinga waspada. Kedua tangannya meremas tas di pangkuan.
Dewa mengangguk, walaupun dia tahu gadis itu tak memperhatikannya.
“Oppa—“ Seperti tak kuat untuk menanyakan maka kalimat itu menggantung di udara. “Oppa… Mencintainya?”
Awalnya ragu. Tapi akhirnya Dewa mengangguk. Entah apa arti dari anggukan itu, Dewa hanya khawatir jika dia melakukan sebaliknya maka Yoona akan bertanya, mengapa dia menikah jika tak mempunyai perasaan apapun. Dan Dewa khawatir jika Yoona tetap berharap pada hubungan mereka namun Dewa tak tega mengakhiri hubungan dengan istrinya. Yoona akan sakit hati.
“Siapa?” Tanyanya lemah.
“Istriku…”
Yoona menoleh. Terkejut. Dia tak pernah tahu ada petir saat musim salju—tapi sekarang, Yoona seolah merasakan bahwa baru saja petir lah yang menyambarnya. Apa pria itu bilang? Istri? Bagaimana mungkin Yoona tak pernah mengetahuinya… Secepat kilat gadis itu berdiri, yang diikuti dengan Dewa yang tak kalah cepat seolah ingin mencegah jika Yoona akan pergi, mereka berhadap-hadapan. Yoona sedang mengendalikan emosinya dengan sekuat tenaga tapi toh itu tak berhasil juga ditahannya hingga sebuah tamparan hebat menyadarkannya. Yoona sudah menampar Dewa, tapi Dewa hanya diam—pria itu sudah memperkirakan bahwa hal ini akan terjadi. Dia sudah siap menghadapinya… Dia sudah bersalah terhadap gadis itu. Walaupun tak pernah terang-terangan mengakui perasaannya yang memang sedikit demi sedikit tumbuh untuk Yoona, namun Dewa tak menampik bahwa gadis itulah alasan kenapa dia bisa betah dan nyaman berada di tempat asing ini. Yoona lah alasannya bertahan di Korea. Dan Dinda—jujur, dia telah mulai—melupakannya… Bagaimana ini bisa terjadi? Yoona menangis sebelum berlari dan meninggalkan Dewa di tengah salju yang tiba-tiba saja turun… Seperti dalam drama, salju membuat apa yang baru saja terjadi menjadi makin dramatis. Menyedihkan!
“Yoona ssi…!” Panggil Dewa, berusaha mencegah gadis itu pergi tapi lalu sadar bahwa sekarang dia tak berhak melakukannya. Sebenarnya, sejak awalpun dia tak berhak.
Dewa berjalan di tengah salju, mengabaikan butir-butir yang berjatuhan makin lama makin besar. Dia berjalan gontai tak tentu arah. Dia seolah kehilangan pegangan. Tadi pagi dia masih dalam keadaan sehat walaupun mood nya tak baik—tapi sekarang dia seperti mayat hidup. Tak mempunyai kekuatan. Seharusnya, sejak awal dia tak menerima kebaikan hati Yoona, hingga membuat gadis itu terluka, begitupun dengannya. Hatinya seolah teriris melihat luka di mata gadis itu, Dewa ingin merengkuh gadis itu kedalam pelukannya. Tapi siapa dia? Dewa bukan siapa-siapa. Dia hanya seorang suami yang dengan tenangnya menganggap hubungan dengan gadis lain adalah bukan sesuatu yang salah, dan saat dia sadar, semuanya terlambat… Yoona mencintainya dan Dewapun tak ada bedanya dengan gadis itu. Lalu Dinda? Bagaimana dengan dia?
“Semalam ibu serangan jantung lagi. Tapi sekarang udah baikan, Alhamdulillah…” Dewa membaca pesan itu dengan terkejut. Pantas saja perasaannya tak enak sejak semalam. Lalu melanjutkan membaca. “Mas, baru pulang ya?”
Dewa memejamkan mata. Dia belum sampai gisuksa, masih di emperan toko, duduk sendirian seperti gelandangan yang sebarang kara. Inilah yang paling memberatkan untuk Dewa. Dinda, gadis itu adalah seorang yatim piatu, sedangkan Dewa—dia masih bersyukur karena ibunya masih hidup, walaupun dia tak sehat, dan inilah alasan kenapa Dewa sampai banting tulang mencari uang, karena dia harus membiayai biaya pengobatan ibunya yang tak bisa dibilang murah. Dan istrinyalah yang sekarang menggantikannya merawat ibunya. Ayah Dewa meninggal saat Dewa baru lulus sekolah. Dinda dengan senang hati merawat ibu Dewa, walaupun dia tak punya ketertarikan sedikitpun pada gadis itu yang merupakan teman sekolahnya. Kalau Dewa begitu giat belajar, maka Dinda giat bekerja untuk membayar biaya sekolahnya sendiri. Sepulang sekolah membantu berjualan di toko kelontong Haji Ali, orang kaya dan terpandang di kampung mereka, lalu malamnya gadis itu mengajar ngaji di mushola. Suatu hal yang membanggakan jika kedua orang tuanya masih hidup. Dan Ibu Dewa—yang merasa hidup sebatang kara karena Dewa merantau di ibukota meminta gadis itu tinggal bersamanya, dan kemudian—ya, seperti yang kalian pikirkan, Ibu Dewa menginginkan gadis itu menjadi istri Dewa. Dewa ingin membalas tapi tak kuasa menahan diri untuk membenci dirinya sendiri, betapa mulia hati istrinya, lalu apa yang dia lakukan? Berselingkuh! Anggap saja seperti itu…
“Lo, kenapa Wa? Yaampun!!!” Komen Anton setelah membuka pintu dan menemukan teman sekamarnya berantakan. Rambut acak-acakan dengan muka kusut yang tak bisa diartikan. “Ada masalah?” Ujarnya melangkah minggir, membiarkan Dewa melangkah masuk. Tadi sepulang kerja, Anton sebenarnya sudah curiga terhadap Dewa, dia buru-buru pergi ke suatu tempat dan meminta Anton pulang duluan, tapi wajahnya sarat kekhawatiran. Anton menduga sesuatu telah terjadi, tapi dia juga tak ingin terlalu ikut campur, tapi kalau melihat keadannya sekarang, sepertinya dia tak punya pilihan selain mengintrogasi temannya ini. “Minum dulu…” Anton mengangsurkan saenggang cha kearah Dewa. “Setelah ini lo mesti cerita sama gue…”
“Gue bingung mesti ngapain…” Guman Dewa sambil mendudukkan tubuhkan di lantai, menyandarkan punggung ke dinding seperti orang yang putus asa. “Gue nggak pernah merasakan ini sebelumnya…”
Anton duduk di sebelah Dewa. “Tenang Wa… Sebenarnya ada apa?”
Dengan tergagap Dewa bercerita bagaimana dia bisa berakhir di pelaminan dengan Dinda, tapi jatuh cinta pada orang lain—bukan pada istrinya… Bagaimana mulanya dia mengenal Yoona dan bagaimana hubungan itu berakhir sore tadi. Bagaimana hancurnya perasaan gadis itu dan Dewa sendiri. Semuanya seolah bom atom yang selama ini ditahan dan kemudian meledak. Dewa meneteskan air mata. Mensyukuri bagaimana baiknya Dinda tapi menyesali hutang budi itu yang tak seharusnya dia balas dengan menyerahkan hidup pada gadis itu. “Seharusnya gue nggak menikahinya… Tapi kenapa gue lakuin… Kenapa?” Ujarnya sambil menunduk.
Anton yang belum menikah itu bingung mau berkata apa. Selama ini dia iri pada Dewa yang fisiknya lumayan hingga bisa cepat memiliki seorang istri tanpa tahu latar belakang kejadian yang membuatnya mengakhiri lajang—hutang budi? Dia pikir hanya ada dalam novel sebuah hutang budi dibalas dengan pengabdian seumur hidup! Tapi ini Dewa—sabahatnya sendiri? “Tenang Wa… Tenang… Lo mending mandi dulu, biar lo bisa mikir jernih. Semua masalah pasti ada jalan keluarnya…”
“Gue udah nggak bisa keluar lagi. Bagaimana bisa? Gimana dengan nyokab gue yang sakit? Selama ini Dinda—istri gue yang baik itu yang ngejagain…”
“Tapi kalian belum punya keturunan…”
“Maksud lo???”
Akhir bulan telah berlalu, dan Dewa—pria itu masih belum bisa move on dari masalahnya, belum bisa melupakan betapa dia mempunyai perasaan yang dalam pada Yoona. Hidup enggan matipun tak mau. Mungkin itu istilah yang tepat untuknya. Menjalani hidup seperti sebuah kewajiban—bangun tidur ogah-ogahan namun terpaksa melakukannya, berangkat kerja tanpa semangat dan tetap dilakukannya, makan hanya formalitas saja—tanpa memikirkan keharusan ia makan pagi, siang, malam, kalau dalam satu hari saja dia bisa menghabiskan makan itu sesuatu yang luar biasa. Anton yang melihat semua itu setiap hari bahkan sudah mulai muak dan memintanya untuk segera bangkit. “Jangan hanya gara-gara seorang wanita hidup lo jadi ancur gini! Masih banyak hal lain yang harus lo jalani dibanding memikirkan seorang wanita!” Omelnya pagi ini.
Dewa yang tiap hari mendengar ceramahan Anton menutup telinga.
“Wa! Mending lo balik deh selesaiin masalah lo sama Dinda, daripada lo menyesal seumur hidup! Seperti yang gue bilang sebelumnya, kalian belum punya keturunan.”
Dewa menghentikan langkah. Lalu menoleh pada Anton yang sedang berkacak pinggang kearahnya. “Lo minta gue ceraikan Dinda?”
“Atau lo punya pilihan lain?” Tantang Anton seolah mengerti jalan pikiran Dewa.
Dewa mematung mendengar pertanyaan itu—apakah dia seberani itu? Apa dia setega itu terhadap Dinda? Bagaimana cara dia menjelaskan tanpa menyakiti hati istrinya itu. Dewa menggeleng. “Gue akan menjadi orang paling jahat di dunia kalau melakukan itu.” Ujarnya tanpa tenaga.
“Apa lo kira, dengan mempertahankan hubungan kalian yang diambang kehancuran itu nggak akan lebih menyakiti hatinya? Gimana kalau dia tahu lo jatuh cinta untuk pertama kali sama Yoona, bukan sama dia? Apa yang akan terjadi?” Anton masih berusaha meyakinkan Dewa. Tapi pria itu hanya memikirkannya sambil lalu dan melangkah pergi, meninggalkan Anton yang gentian mematung memikirkan kisah cinta sahabatnya yang seperti benang kusut. Sejujurnya itulah yang sebulan belakangan dipikirkannya.
@Incheon International Airport!
Babak baru dalam kehidupan Dewa akan segera dimulai. Bukan untuk memulai lembaran baru dengan Yoona, tapi dia sudah memutuskan bahwa dia akan mengisi lembaran berikutnya yang telah ia mulai dengan Dinda sebelum tiba di Negara ini. Negara dengan keindahan yang tak tergambarkan, namun membuahkan kisah cinta yang memilukan. Dewa sudah mengurus surat pengunduran dirinya pada perusahaan sejak sebulan yang lalu, dimana kalimat Anton lebih meyakinkannya untuk kembali. Jadi sudah dua bulan dia tak pernah bertemu lagi dengan Yoona. Bagaimana kabarnya gadis itu? Apakah baik-baik saja?
Anton sebenarnya sudah menawarkan diri untuk mengantarkan Dewa ke bandara, dia khawatir kalau sahabatnya itu saking linglungnya salah arah atau lebih parahnya salah naik pesawat, dia juga memikirkan bagaimana Dewa akan tiba dengan selamat dengan kondisi menyedihkan seperti itu. Bahkan Anton sempat berpikir bahwa bisa saja Dewa bunuh diri dengan terjun dari atas pesawat, tapi saat memikirkan kemungkinan satu penumpang pesawat akan jatuh semua ketika dia membuka pintu, maka pikiran itu menghilang begitu saja. Dan jadilah Dewa, duduk termenung di ruang tunggu sendirian.
Dia baru akan berjalan setelah sebelumnya sudah ada panggilan dari bagian informasi bahwa Dewa harus bersiap. Namun sebuah panggilan menyejukkan yang dirindukannya berhasil menghentikan niat Dewa. Pasti halusinasi! Pikirnya pedih.
“Dewa ssi!” Panggilan yang sama seperti sebelumnya. Walapun yang sebelumnya lebih terdengar seperti teriakan, dan sekarang gumaman bercampur nafas yang memburu. Dewa menoleh—menemukan seorang gadis dengan wajah—yaampun, bahkan sebelum ini terjadipun dia sudah terlihat pucat dengan kulit seputih itu, dan sekarang—Dewa memandangi gadis itu antara tak percaya dan hancur. “Kau akan meninggalkanku begitu saja?” Ujarnya sambil menahan tangis. “Geojitma…” Pintanya memohon.
Dewa menjatuhkan koper. Melangkah mendekati gadis itu. “Hiduplah dengan baik. Jangan seperti ini…” Ujar Dewa sambil memegang kedua pipi gadis itu dan mengusapnya pelan. Pipi gadis itu terlihat tirus, tak jauh berbeda dengannya. “Hiduplah seperti biasa sebelum aku datang…”
Yoona menggeleng. “Aniyo…”
“Kau akan menemukan seseorang yang mencintaimu. Seseorang yang jujur dan tak pernah mau kehilanganmu…”
Yoona menahan tangan Dewa di pipi. “Oppa… Tak bisakah kau tinggal?”
Dewa mencoba tetap tegar, mencoba tersenyum, walaupun gagal. Air matanya sudah tak terbendung lagi, apalagi ketika melihat air mata dari sudut mata gadis itu yang terus bergulir. Dia menggeleng. “Selamat tinggal…” Dan begitu saja, Dewa berusaha melepaskan tangan gadis itu, dan buru-buru berjalan menjauh. Dia khawatir kalau terlalu mengulur-ulur waktu maka semuanya akan berbeda. Dia takut berubah pikiran. Air matanya tumpah dan Dewa terus berjalan sambil terisak. Yoona pun tak ada bedanya. Gadis itu jauh lebih rapuh, tiba-tiba saja tubuhnya yang lelah itu ambruk dan terduduk diantara orang yang lalu lalang. Tak mempedulikan tatapan iba yang ditujukan padanya. Dia tak peduli. Dia hanya mau pria itu. Ya Tuhan… Mengapa Yoona harus mencintai suami orang???
BERSAMBUNG KE PART 2