Monday, January 19, 2015
HATIKU, HATIMU, MILIK KITA…
Brian Wirasena. Seorang pria berumur matang yang tak sekalipun terlihat menggandeng seorang perempuan—bagaimana mungkin bisa, sementara dia begitu disibukkan dengan berbagai urusan pekerjaan yang tak ada habis-habisnya. Padahal, walau dipandang dari sudut manapun, siapa sih gadis yang bisa menolak pesonanya? Tampan, kaya, sukses? Siapa yang tak mau?
“Siang Pak, ada tamu ingin bertemu dengan Bapak…”
Brian mengeryit bingung. Sepertinya dia tak ada janji dengan seseorang hari ini selain meeting. Dan—ini sudah after office hours, siapa pula yang berani mengacaukan jam pulang kerjanya? “Siapa?”
Celline—sekretaris Brian yang cantik dan fashionable. Free dan cinta mati dengan Brian—dan tentu saja diacuhkannya, kalau diterima bukankah Brian tak mungkin tak menggandeng perempuan di berbagai pertemuan? “Receptionis bilang sih namanya Abel, Pak…” Celline terdengar seperti tak rela mengucapkan nama itu, dan dari ujung telepon Celline pun mendengar reaksi Brian terlalu terkejut. “Bapak mau bertemu dengannya—atau…”
“Oke, lima menit lagi saya turun… Thank’s Cel…” Brian menutup telepon. Gusar.
Baru beberapa menit lalu dia menghubungi orang rumah untuk mengabarkan bahwa dia akan pulang on time, dan sekarang sepertinya dia akan kembali pulang terlambat. Lagipula kenapa Brian harus repot-repot untuk mengabarkan kepulangannya? Memangnya ada siapa dirumah? Kedua orang tuanya sudah meninggal, istri tak punya, dan kekasih? Brian menggeleng kesal. Setahun yang lalu Annabel atau Abel adalah kekasihnya. Tapi sekarang—Brian menggeleng, dia bahkan masih ingat bagaimana setahun lalu gadis itu meninggalkannya untuk mengejar pria lain yang kaya raya, yang katanya lebih bisa membahagiakannya. Untuk apa dia datang? Brian penasaran hingga tak sadar langkahnya telah terhenti di hadapan seorang gadis—cantik, modis, berkelas, dan—seksi? Ternyata pesona Abel masih saja menghipnotisnya. Walaupun kata seksi lebih bisa dikatakan “berisi”.
“Hey, Beib…” Abel menghampiri Brian dan berusaha memeluk pria itu. Dan dengan cepat Brian menghindar. Lalu ketika Abel mengulurkan jemarinya yang ramping ke wajah pria di hadapannya hampir Brian terlena—matanya langsung terpejam, tapi entah malaikat dari mana yang berhasil menyadarkannya—Brian menepis tangan itu. Tak memberinya kesempatan untuk kembali membuainya dengan rayuan-rayuan yang dapat membuat Brian luluh. Lagi. “Aku kembali…”
“Untuk apa?”
“Jelas untuk kamu… Memang ada yang lain?” Abel tersenyum menggoda. Saat melihat Brian diam, Abel berusaha memegang wajahnya lagi.
Dan Brian langsung waspada. “Ini kantor…” Brian menarik gadis itu kearah sudut yang lebih tersembunyi. Untung saja kantor agak sepi hari ini.
“Apa kita harus pindah ke tempat lebih privacy?” Abel mengerling genit. “Apartement?”
“Cukup! Apa mau kamu?”
Abel langsung menjelaskan apa tujuannya mendatangi Brian di sore yang tenang dan mendadak kacau ini. Gadis itu menyesal meninggalkan Brian dan ingin kembali menjalin hubungan pria itu. Dia juga bilang bahwa ternyata kekasihnya yang lebih bisa membahagiakannya dibanding Brian itu tak lebih dari seorang pria pengecut yang hanya mau tubuhnya saja. Jadi dengan kata lain—Abel sudah tak “virgin” lagi? Tak bisa dipungkiri, walaupun sering dibilang udik, kampungan, atau apapun Brian memang sangat menjaga harga dirinya—dengan “tak tidur” dengan sembarang wanita misalnya. Walaupun Abel, gadis itu sangat menggoda untuk disentuh, tapi Brian tak berani melakukannya… Hanya kecupan kecil atau ciuman singkat yang seketika dia hentikan kalau sudah mulai panas—artinya Brian bisa mengendalikan nafsu kan? Dan untuk gadis sebebas Abel, hal itu terlalu membuatnya menderita. Pernah suatu kali Abel berusaha menggodanya, menciumnya habis-habisan berharap bahwa Brian akan keterusan dan melakukan apapun yang seharusnya dia lakukan yang tak bisa ditahannya lagi—tapi toh Brian sekali lagi—sangat mampu mengendalikan gairahnya. Saat itu Brian yang cinta mati dengan Abel bertanya takut-takut pada gadis itu, apakah Abel masih virgin? Apakah gadis itu benar-benar belum pernah berbuat kelewat batas? Dan Abel—tentu saja gadis selicik dia langsung mengatakan bahwa Brian terlalu berprasangka buruk padanya. “Tentu saja aku masih suci! Kamu pikir aku apa?” Ucapnya marah ketika itu, dan Brian kembali lagi bertekuk lutut padanya. Tapi sekarang?
Brian tiba dirumah sangat terlambat. Lebih terlambat daripada hari-hari biasanya ketika dia disibukkan dengan urusan kantor. Dan selalu saja menemukan rumah dalam keadaan sepi… Kadang ini membuatnya berpikir—betapa hidup seorang diri di dunia ini, walaupun dengan materi berlimpah, dan kekuasaan yang tak terbatas, tetap saja hidup sendiri itu sangat tak berarti. Brian ingat, di setiap acara reuni yang diadakan rekan-rekan SMP, SMA, dan kampusnya—dia selalu menjadi bulan-bulanan. “Ganteng, sukses, kalau hidup sendiri mah buat apa?” Benar juga. Brian mulai bosan dengan rutinitas yang itu-itu saja setiap hari. Dia ingin kehadiran orang lain dalam hidupnya, dia ingin hitam dan kelabu di kehidupannya menjadi penuh warna—dan Wulan lah yang selalu muncul dalam pikirannya akhir-akhir ini. Tapi kenapa harus Wulan?
“Mas, tadi katanya mau pulang cepet?” Bi Parti—pembantu rumah tangga yang hampir dianggapnya ibu sendiri, karena dia sudah lama ikut keluarganya—sejak kedua orang tuanya masih ada. Wanita itu tak segan-segan menegurnya ketika berbuat salah, dan mengomentari keterlambatannya. “Makan malamnya biar bibi beresin aja kalau gitu…” Ujar bibi terlihat agak sedih.
Brian ingin mencegah. Tapi memang benar—dia sudah kenyang makan malam bersama Abel. Memang dia sudah tak ingin menjalin hubungan lagi dengan gadis itu, tapi apa salahnya berteman? Dan Abel pun sepertinya juga akan menerima tawaran apapun yang Brian berikan. “Wulan?” Biasanya gadis itu yang menyiapkan makan untuknya.
Bi Parti berbalik. “Dia ke dokter, Adhit demam…”
Brian terperangah. Dia melihat jam tangan di pergelangannya dan tak jadi melepas sepatu. “Selarut ini?”
Wanita paruh baya yang tak pernah mau menikah itu hanya mengedikkan bahu. Tapi dari matanya dia terlihat panik juga. “Kalau bibi tahu Mas Brian nggak jadi pulang, bibi nggak akan minta Wulan masak…” Bibi terlihat kecewa.
Tololllll! Hanya itu yang bisa Brian ucapkan dalam hati—memaki perbuatannya sendiri. Bi Parti, saking menganggapnya anak sendiri, sampai-sampai dia paham kalau masakan Wulan sangat disukainya, hingga dia akan selalu meminta Wulan untuk memasakkan makan pagi dan makan malam untuk Brian. Dan gara-gara Abel… Brian merasa bersalah dan—“Dia ke rumah sakit mana?”
Setelah bibi mengatakan nama sebuah rumah sakit, Brian langsung saja menghambur keluar dan secepat kilat menjalankan mobilnya. Wulan—gadis itu, atau—wanita itu, karena dia jelas-jelas punya anak, jadi sebutan apa yang pantas? Walaupun Brian tak tahu dan tak pernah tahu, siapa ayahnya, apa pekerjaannya, dan mengapa Wulan mengasuhnya sendiri. Brian hanya menyukai Wulan, dan itu sangat disesalinya karena tentu saja perasaan itu tak akan pernah berbalas, walaupun—ya, Wulan memang sangat baik dan perhatian padanya. Jika saja Wulan masih sendiri, bukankah itu sangat baik? Tapi kenyataan mengatakan tidak. Brian bisa apa?
Brian bertanya ke pusat informasi dan menanyakan apakah ada pasien bernama Adhitya yang datang ke rumah sakit, jawaban yang melegakan sekaligus mengejutkan. Memang benar ada—tapi dokter yang memeriksa pasien pun sudah pulang, besar kemungkinan kalau si pasien juga sudah pulang. Tapi tentu saja Brian mengecek keberadaan Wulan dimana-mana, meski tak ditemukan dimanapun.
Wulan tak punya ponsel. Ponsel lamanya hilang—dan dia bilang bahwa dia tak memerlukan benda itu. Satu-satunya keluarganya di dunia ini adalah Bi Parti, dan sekarang dia tinggal bersamanya—jadi untuk apa? Hingga keinginan untuk membelikan ponselpun sirna begitu saja dalam diri Brian—apakah Wulan pernah merasa ingin menghubunginya? Pikiran tentang berselingkuh dengan Wulan pun datang begitu saja tanpa diminta. Persetan dengan suami gadis itu.
“Bi, Wulan udah sampai?”
Bibi menggeleng biarpun Brian tak mampu melihatnya di telepon. “Belum Mas, mungkin sebentar lagi… Mas Brian nggak ketemu?”
Tanpa sadar pegangannya di ponsel mengeras. Brian takut. Brian khawatir terjadi sesuatu yang buruk dengan Wulan diluar sana. Biar bagaimanapun—Wulan adalah seorang gadis, dan terlepas dari itu, Wulan adalah seorang gadis yang cantik. Dan Brian—omaigat! Sepertinya itulah alasannya mengapa Brian akhir-akhir ini selalu mengabarkan orang rumah kalau dia pulang terlambat atau tepat waktu. Brian berharap bahwa Wulan akan menantikan kedatangannya—setiap hari, dan Brian pun selalu tak sabar untuk segera bertemu dengan gadis itu lagi dan lagi. Kenapa Tuhan—kenapa dia tak bisa memiliki gadis itu?
“Mas Brian?”
Suara lembut nan menenangkan. Membuat debaran jantungnya menghentak-hentak karena walapun sering bercakap namun Brian tak bisa terbiasa. Selalu saja ada perasaan aneh tiap gadis itu menyebut namanya… Brian menoleh, mendapati gadis itu lega—mungkin karena dia memanggil orang yang benar. “Wulan? Kamu darimana saja sih? Saya nyariin kamu dari tadi? Bisa nggak kamu ngabarin saya kalau pergi kemanapun?”
Wulan yang lelah—mendengar omelan yang berentet otomatis kesal. Walaupun sedetik ada perasaan hangat menjalarinya—Brian mencarinya? Tapi yang terlontar tak disadarinya. “Kenapa saya harus mengabarkan kemanapun saya pergi? Wali saya kan Budhe Parti? Dan mengapa Mas Brian marah-marah sama saya?”
“Karena saya majikan kamu! Kamu lupa? Kamu tinggal dirumah saya, kalau terjadi apa-apa sama kamu siapa saya akan ikutan repot…” Brian. Apa yang dia bicarakan? Dia sendiri sama tak menyadarinya sampai saat melihat gadis di hadapannya meneteskan air mata—sesal selalu datang terlambat.
Jadi? Pria seperti ini yang kamu cintai Wulan, hah? Wulan mengejek dirinya sendiri dalam hati. Perasaan hangat itu memudar. Pria yang diduga Wulan lemah lembut dan perhatian terhadap para pengurus rumah dari mulai pembantu, supir, tukang kebun, satpam, ternyata hanya sebatas acting? Kenapa tak jadi aktor saja kalau begitu? Wulan yakin Brian akan dapat piala citra. Actingnya selama ini luar biasa. Baiknya hanya pura-pura. Dan saat diluar sifat aslinya kelihatan. “Maaf… Saya pikir kalau urusan rumah selesai saya bisa ijin untuk membawa Adhit ke dokter… Mas Brian nggak perlu memikirkan kemungkinan itu, merepotkan orang adalah hal yang terakhir saya pikirkan, dan saya pasti akan memilih Budhe Parti—bukan Mas Brian…” Wulan sukses membuat Brian mati kutu, lalu meninggalkan pria itu begitu saja di lobby rumah sakit. Dia sudah siap dipecat saat menginjakkan kaki dirumah.
Dan Brian—dia hanya bisa mematung di tempatnya berdiri.
Keesokan harinya demam Adhit sudah mulai menurun, walaupun frekuensi batuk pileknya tak ada tanda-tanda berkurang. Setidaknya suhu tubuhnya mulai normal. Jadi Wulan bisa melanjutkan pekerjaannya walaupun harus sering-sering menengok kondisi bayinya. Saat Adhit sakit begini Wulan merasa sangat khawatir, dia sudah menganggap bayi kecil itu putranya sendiri. Wulan sangat menyayanginya, walaupun dia masih berharap dapat menemukan wanita cantik yang membuang bayi itu ke dekapannya beberapa bulan lalu. Bagaimanapun, seorang bayi dalam asuhan ibunya lebih baik dibanding Wulan yang tak pernah merasakan yang namanya melahirkan. Bagaimana harus melahirkan? Pacaran saja tak pernah—apalagi menikah. Wulan ingat, saat menjadi seorang koki dulu ada seorang pria yang menyukainya, dan Wulan pun sepertinya mulai tertarik dengan pria itu. Tapi ketika tahu ternyata pria itu meninggalkan istrinya di kampung, Wulan menggeleng—kenangan buruk yang tak perlu diingat lagi. Hampir saja dia merebut suami orang. Dan dibanding melakukan itu, Wulan lebih memilih tak menikah seumur hidupnya seperti yang dilakukan Budhe Parti.
“Semalam Mas Brian nyariin kamu…” Bi Parti tersenyum tulus. “Dia kayaknya khawatir banget sama kamu Lan…”
Wulan menghentikan aktivitasnya. Tapi seolah puas telah menyelesaikan pekerjaannya sepagi ini—semangkuk bubur ayam, untuk sarapan—Brian? Brian belum memecatnya berarti dia masih diakui dirumah ini. Atau mungkin Brian sedang berniat untuk memotong gajinya? Tapi pria itu belum ada tanda-tanda muncul di ruang makan. “Dia nggak mau repot karena Wulan kenapa-kenapa…”
Bi Parti tersenyum. “Sepertinya dia perhatian sama kamu…”
“Budhe jangan begitu saja percaya sama dia. Dia pandai beracting… Dia cuma pura-pura baik di hadapan kita…”
Bi Parti menggeleng. “Budhe kenal dia sejak orang tuanya masih ada. Mas Brian orang yang lembut—dan semenjak ada kamu dia lebih sering makan dirumah. Dulu, jangankan makan malam, makan pagi aja nggak pernah disentuh…” Wulan baru mengetahui fakta ini dan itu membuatnya miris. Apa yang dikatakan pria itu semalam sangatlah menyakitinya. “Tapi kemana Mas Brian, tumben belum turun. Apa jangan-jangan dia sakit… Coba kamu naik Lan, bangunin dia, dia pulang larut karena mencarimu…”
Wulan hendak membantah. Tapi diurungkannya niat itu, dia tidak mau berdebat dengan Budhe Parti. Segera Wulan naik ke lantai dua, ragu tapi diberanikannya mengetuk pintu. Tak ada jawaban. Sekali lagi diketuknya pintu kamar Brian. Mungkin sudah berangkat. Dan tiba-tiba bunyi kunci diputar, muncul sosok—tak seperti biasanya di jam ini, sosok pria bertubuh lemah, berwajah pucat, dan rambut berantakan yang berdiri di hadapannya bersandar pada daun pintu. Andai saja, pria itu dalam keadaan sehat—pose itu bisa dikatakan seksi versi Wulan. Mendadak dia lupa akan kemarahannya… “Mas Brian sakit?” Wulan yang begitu panik reflek langsung menyentuh kening Brian, membuat pria itu terkejut dan memejamkan matanya, menikmati sentuhan ringan Wulan. Seandainya gadis ini tahu apa yang dipikirkannya sekarang… “Saya panggil dokter ya…” Wulan hendak turun tapi dicegah Brian dengan sisa tenaganya.
“Cuma masuk angin…” Pegangannya masih di pergelangan tangan Wulan. Dan Wulan merasa tak nyaman dengan posisi ini. Apa yang akan orang pikirkan kalau melihat mereka? “Adhit?”
Dalam kondisi sekacau ini dia masih ingat orang lain? “Membaik… Dan demamnya pindah ke Mas Brian…” Wulan berusaha menghibur. Biarpun semalam pria ini mengesalkan, Brian tetap majikannya. Tak ada untungnya berperang dengan pria ini, kecuali rugi karena harus dipecat dan angkat kaki dari rumah ini—siapa pula pemilik rumah yang mau memperkerjakan seorang gadis dengan seorang bayi yang masih harus diperhatikannya. Terkadang saat melakukan pekerjaan rumah gadis itu harus menggendong bayinya kesana kemari, kerepotan menenangkan Adhit jika dia lama membuatkan susu, bingung dengan apa yang harus dilakukannya ketika Adhit demam. Lagipula—melihat Brian lemah seperti sekarang, hati Wulan terasa nyeri. Wulan sungguh mengkhawatirkan pria itu.
Brian mengangkat alis dan tersenyum. “Ada apa?”
Wulan tersadar dari lamunan. Lalu tersenyum kikuk. “Ehm, sarapannya mau dibawa kesini?” Brian menggeleng. “Mas Brian mau makan di bawah?” Dia menggeleng lagi. “Lalu?”
“Maaf… Semalam saya—mungkin saya terlalu panik karena salah seorang yang tinggal dirumah saya masih diluar rumah di jam selarut itu…” Ujar Brian tulus.
Wulan hanya diam mendengarkan. “Saya mengerti… Kalau begitu saya permisi…”
“Stay here…” Ucapnya pelan. “With me…”
Omaigatttt! Seandainya ada cermin di hadapan Wulan—apakah wajahnya sudah serupa kepiting rebus? Memerah hanya karena majikannya mengatakan hal-hal yang mungkin tak disadari efeknya terhadap Wulan. Bisa nggak sih majikannya ini bersikap profesional. Dan akhirnya setelah meyakinkan panjang lebar bahwa orang sakit lebih membutuhkan makanan dibanding yang sehat, akhirnya Brian menuruti apa kata Wulan, membiarkan gadis itu membawa makanan ke kamarnya. Brian tertegun—satu-satunya orang yang berani memaksanya makan adalah almarhum mama. Dan sekarang—wulan?
Wulan duduk dengan tegang. Kedua jemarinya menyentuh keyboard sementara wajahnya terfokus pada layar monitor. Brian memintanya menuliskan email, setelah sebelumnya Wulan berhasil memaksa pria itu menyuapkan beberapa sendok bubur ke mulutnya. Setidaknya dia mau makan… Dan pria itu sekarang berdiri begitu dekatnya sambil mendikte apa yang harus Wulan tulis, sesekali pria itu menunduk untuk merevisi pekerjaan Wulan dan itu membuat jantung gadis itu menghentak di permukaan. Betapa pria ini mampu membuatnya bereaksi berlebihan hanya dengan berdekatan seperti sekarang. Walaupun Wulan berpikir—Hello… Siapa elo??? Naksir sama majikan… Mimpi!
“Mengapa kalian berpisah?” Jemari Wulan menggantung di udara—ini bukan kalimat yang harus ditulisnya tentu saja. Apa yang ditanyakan Brian padanya? “Suami kamu—apa dia melakukan sesuatu yang buruk?” Wulan mematung lalu tersenyum. “Ada yang salah?”
Gadis itu menggeleng. Lalu mengangguk. “Mas Brian…”
Brian berpindah ke hadapan gadis itu. Berdiri lalu membungkuk—makin dekat posisi wajah mereka berdua. “Saya?” Brian mengerutkan kening. “Maksud kamu?”
Wulan berdehem kikuk membuat pria itu menyadari posisi mereka. “Saya nggak pernah menikah…” Brian langsung berdiri tegak. Benar juga, Wulan tak mengenakan cincin kawin. Jadi gadis itu tak sepolos dugaannya—dan Brian, dia jelas tak pernah menyukai gadis macam itu, yang tak bisa menjaga kehormatannya. Tapi Brian terlanjur jatuh cinta dengan Wulan… Wulan yang menyadari perubahan ekpresi Brian langsung tersadar. “Maksud saya…”
“Hey… Beib…” Seseorang menyerobot masuk tanpa permisi. Dan langsung membungkam Wulan, menghentikan maksud gadis itu untuk memberi penjelasan. Tapi ada yang aneh—perempuan itu… Seperti pernah dilihatnya… “Are you okey?” Abel langsung menghampiri Brian dan meletakkan punggung tangannya di kening Brian. Tadi pagi Abel mengirimkan message bahwa dia akan mengajak Brian makan siang diluar, dan Brian menjawab bahwa dia tak enak badan hari ini. Tapi siapa sangka Abel masih mengingat jalan kerumahnya. “Why you look so sad? Kita ke dokter…” Abel tak tahu bahwa saat ini pikiran Brian sedang penuh dengan Wulan, Wulannya yang tak sepolos dugaannya. Wulan yang ternyata makin mematahkan hatinya selain alasan bahwa dia telah mempunyai anak—tanpa suami?
“Kamu boleh keluar Lan…”
Suara datar namun menyakitkan untuk didengar Wulan. Pengusiran secaran halus. Detik sebelumnya baik, dan detik selanjutnya ketus, seperti orang asing baginya. Tapi mau gimana lagi? Wulan harus sadar dengan posisinya dirumah ini. Pembantu! Wulan mengangguk sebelum mengalihkan tatapan ke gadis yang menggelayut lengan Brian—menatapnya muak dan jijik. Tapi dimana dia melihat perempuan itu sebelumnya? Wulan seperti familiar… “Permisi…” Pamitnya dengan kepala penuh tanda tanya. Sampai di dapurpun Wulan masih terus memikirkan siapa perempuan itu sebenarnya…
“Mas Brian mana Lan?”
Wulan menggeleng. Tak merasa perlu memberikan penjelasan bahwa pria itu sakit atau semacamnya. “Di kamar sama cewek…” Jawabnya ketus, membuat Bi Parti bertanya-tanya. Wulan sedang cemburu—tapi pada siapa? “Dimana Wulan pernah ketemu sama dia?” Gumamnya lebih pada diri sendiri.
“Siapa?”
“Pacar Mas Brian itu… Wulan yakin pernah ketemu sama dia…”
Bibi mengeryit. “Orang seganteng dan sekaya Mas Brian itu banyak yang mau Lan, barangkali mirip artis…”
Mungkin juga Budhenya benar. Tapi Wulan masih berusaha mengingat-ingat dan mengaduk memorinya. Ah sudahlah, lebih baik Wulan mengurusi Adhit saja, jangan-jangan dia sudah bangun dan Wulan ingat belum memberinya susu pagi ini. Adhit harus meminum obatnya.
“Morning Beib…” Wulan mendengar suara perempuan itu lagi saat sebelumnya dia melihat sebuah sedan metalik mengklakson untuk dibukakan pagar lalu berhenti tepat di depan pintu masuk utama rumah. Dan si satpam sepertinya sudah sangat mengenal perempuan itu. Selama ini Wulan pikir Brian tak punya seorang kekasih—dia terlalu berharap. Tapi ternyata fakta berkata lain, mungkin selama ini kekasih Brian tinggal di luar negeri, pikirnya pahit. Tentu saja Wulan dan kekasih Brian itu bagai langit dan bumi. Mana bisa Brian menyukai perempuan gembel berpendidikan rendah sepertinya. Lulusan SMA yang kemudian mengikuti kursus memasak…
Brian yang saat itu terburu-buru memakai dasi sambil berjalan ke pintu depan ternganga melihat pemandangan di rumahnya yang berbeda pagi ini. Seorang perempuan yang cantik dan seksi sudah menunggunya di teras rumah—dan seorang lain—Wulan, dengan kesederhanaannya sedang membantu tukang kebun merawat bunga-bunga peninggalan almarhumah mamanya. Pemandangan yang sangat kontras. Brian mendadak teringat bagaimana mamanya sangat mencintai kebun mawar di rumah mereka yang saat ini mekar sempurna—betapa dia merindukan momen saat mamanya dengan telaten menyirami bunga-bunga itu. Dan hilanglah sudah kekecewaan Brian terhadap gadis itu—masa lalu adalah masa lalu, Brian ingin berhubungan Wulan untuk masa depan, bukan masa lalu… Biarlah semua itu jadi pelajaran yang berharga untuk Wulan, dan Brian—dia hanya harus menerima apapun keadaan Wulan. Dia menginginkan gadis itu. Dia mencintai Wulan. Dan dia tak bersuami—so, why not? Itu akan lebih melancarkan maksudnya untuk memiliki Wulan. “Abel?”
“Surpriseeee!!!” Pekiknya lalu menghambur untuk memeluk Brian, dan tentu saja pria itu menahannya. Sekilas dia melihat kearah Wulan dan menemukan gadis itu mencuri pandang kearah mereka—haruskah Brian berpura-pura mesra dengan Abel? Oh No! itu nggak akan menjamin—bagaimana kalau ternyata Brian sudah terjebak dalam sebuah hubungan dengan Abel dan ternyata Wulan tetap tak merespon kedekatan mereka? Brian putus asa. Abel memberengut… “Kamu kenapa sih Bri?”
“We just friend, Bel… Remember?"
“Yeah, I know…”
“Kamu ngapain kesini? Aku sedang terburu-buru…” Ucap Brian gusar—sekali lagi melirik kearah Wulan. Gadis itu sudah tak ada disana.
“Kamu kan lagi sakit… Mau bareng? Kantor kita searah?”
Brian mematung. Kalau dia ikut Abel artinya sore nanti dia harus mencari tumpangan, lalu Abel akan mendatanginya dan menawarkan apa yang dia butuhkan, lalu setelahnya dia akan mengajaknya makan malam diluar, dan setelah itu dia akan menemukan rumahnya senyap karena semua orang sudah tertidur. Artinya dia nggak akan menemukan Wulan. “No, thank’s…”
Brian baru saja tiba di kantornya saat—mendadak ponselnya berdering. Dari rumah, gumamnya buru-buru dan membalas sapaan Celline sambil lalu, membuat gadis itu kesal. “Ehm, Mas Brian?” Seumur hidup selama gadis itu bekerja untuknya, ini adalah pertama kalinya Wulan menghubunginya yang artinya bahwa mungkin hal sangat mendesak yang harus gadis itu sampaikan. Mungkinkah—mungkinkah Wulan cemburu pada Abel? Ingatan tentang itu membuat Brian menyeringai senang. Setidaknya walaupun Brian tak berusaha berpura-pura untuk dekat dengan Abel, Wulan tetap cemburu padanya.
“Ya, Lan?” Brian kelewat antusias.
Hening sesaat seperti ada keraguan atau penyesalan. Atau kekesalan??? “Mbak Abel… Ehm, dia… Maaf nih Mas, apa dia pacar Mas Brian?”
Yes! Jadi benar! Wulan cemburu padanya. Kedua bola mata Brian seketika berpendar-pendar—senang. “Kalau iya kenapa kalau nggak kenapa?”
Diberi pilihan pertanyaan tentu saja membuat Wulan makin ragu—artinya dia harus menjawab keduanya. “Itu… Sebenarnya saya bingung mulai dari mana…” Brian menunggu dengan berdebar-debar. “Mungkinkah… Mungkinkah… Mas Brian janji nggak akan marah sama saya?” Suara gadis di seberang sana makin mengecil.
“Kamu mau ngomong apa sebenarnya Lan?” Brian mulai curiga. Perasaannya tak enak.
Suara tarikan nafas yang bisa didengar oleh Brian. “Mungkinkah… Adhit… Anak Mas Brian?”
“Whattttt???” Kenapa pagi-pagi Wulan membuat kekacauan. “Maksud kamu apa??? Kamu menuduh saya mempunyai seorang anak yang—itu kan anak kamu, kamu yang berbuat, mengapa kamu melimpahkah kesalahan pada saya???” Brian yang sudah terpancing emosi menjadi meluap-luap. Benar-benar Wulan! Gadis itu… Nafas Brian naik turun. “Kita bertemu tiga puluh menit, pastikan kamu tidak terlambat!” Desis Brian, dia menyebutkan salah satu restoran yang buka 24 jam yang biasanya dia datangi ketika sarapan pagi—sebelum ada Wulan.
“Kita langsung ke pokok masalah…” Ujar Brian dengan pandangan mengancam. Ketika Brian sampai, Wulan sudah ada di sana dengan gestur tak nyaman, kedua tangannya dipangku, dan dia sama sekali tak menyentuh minumannya. “Apa maksud kamu???”
Wulan seolah ragu—apakah dia sudah terlalu terburu-buru mengambil kesimpulan? Tapi itu adalah satu-satunya jawaban yang paling tepat. “Saya belum menikah…” Hamil diluar nikah—Brian ingin sekali memotongnya dengan kalimat itu. “Nggak mungkin kan orang yang nggak pernah menikah tapi bisa punya anak?” Itu hanya terjadi pada Siti Maryam—tentu saja.
Brian masih menunggu. “Maksud kamu?”
“Adhit bukan putra saya…” Kalau saja Wulan tak menuduhnya sebagai seorang brengsek yang meninggalkan darah dagingnya sendiri, pasti hal itu akan membuatnya lega sekaligus kegirangan. Akhirnya dia bisa memiliki Wulan. Tapi ini… “Saya hanya gadis beruntung yang mendapatkan malaikat kecil malang secara tak terduga. Seorang perempuan cantik meninggalkannya pada saya tanpa memberikan kesempatan pada saya untuk menolak atau mempertanyakan tindakannya yang bodoh.”
“Tunggu… Tunggu… Dari tuduhan kamu sebelumnya, mengenai kemungkinan kedekatan saya dengan Abel—jadi maksud kamu… Abel… Dia…”
Wulan mengangguk. Sejak kemarin saat dia bertemu dengan Abel, Wulan berpikir keras dimana dia pernah melihat gadis itu sebelumnya, tak mungkin karena dia seorang artis, lalu tadi pagi saat tiba-tiba sebuah mobil mendekat kearahnya dan berhenti di depan teras. Dia yakin, dia belum lupa dengan mobil itu—sebuah mobil warna metalik yang tak akan mungkin dilupakannya. “Saya berpikir bahwa hal-hal seperti itu hanya terjadi di televisi, tapi saya masih ingat, Mbak Abel mengangsurkan bayi itu ke pelukan saya dan pergi begitu saja.”
“Dan kamu menuduh saya ayah anak itu?” Wulan menunduk. Siapa lagi yang pantas dijuluki ayah untuk Adhit, biarpun kalau dilihat-lihat lagi, bayi itu tak ada mirip-miripnya dengan Brian. Kemungkinan besar Wulan sudah salah menuduh Brian.
Hari ini Brian sukses membatalkan sebagian jadwal meetingnya dan mengatakan pada Celline bahwa dia baru bisa kembali after lunch. Setelah mendengar tuduhan tak beralasan dari Wulan, dan kemudian mendengar penjelasan dari gadis itu Brian jadi tidak bisa berpikir jernih lagi. Dia harus menyelesaikan ini sesegera mungkin—melepaskan beban berat yang harus ditanggung Wulan gara-gara Abel yang tak bertanggung jawab. Jadi Adhit anaknya Abel? Dan dia membuang anak itu setelah melahirkannya??? Brian tak mengerti jalan yang dipilih Abel dulu. Meninggalkannya begitu saja untuk berpindah ke pelukan Bob—kenalannya saat mereka kuliah di Bandung dan mengatakan bahwa Brian jelas tak akan bisa membahagiakannya. Bahagia macam apa yang Abel butuhkan? Dan sekarang—gadis itu mencoba meraih hatinya kembali setelah dicampakkan Bob? Setelah Bob menghamili gadis itu lalu meninggalkannya tentu saja… Semua kesimpulan itu begitu saja terpikir oleh Brian.
Akhirnya Brian memutuskan untuk mengantarkan Wulan pulang dan meminta gadis itu membereskan semua pakaian Adhit karena Brian akan meminta Abel mengambil kembali tanggung jawab terhadap Adhit. Dia sudah hidup nyaman selama ini—sedangkan Wulan? Gadis itu tak hanya menjadikan dirinya tertawaan orang dengan memiliki anak diluar nikah, dia juga sudah membuat mimpi Wulan menguap begitu saja… Dan Brian—dia marah, dia tak rela, Wulan, gadis yang dicintainya menderita lebih lama lagi. Dia bahkan sudah menganggap Wulan gadis murahan. Selama dalam perjalanan Brian tak henti-hentinya menarik nafas lega bercampur kesal. Lega karena Wulan gadis bebas yang bisa dimilikinya, dan kesal terhadap sikap Abel yang ternyata diluar dugaannya.
“Maaf ya, Mas Brian jadi nggak bisa kerja…” Gadis itu merasa tak enak karena melibatkan majikannya dalam urusannya yang ternyata tidak ada sangkut pautnya dengan Adhit. Kecurigaannya tak beralasan.
Brian yang kaget, untuk pertama kalinya Wulan berbicara setelah sejak di mobil gadis itu mengunci mulutnya rapat. Brian menggeleng. “Kamu harus mendapat keadilan Lan. Saya akan menghubungi Abel agar gadis itu cepat mengambil Adhit…”
Pemikiran tentang betapa teganya Abel membuang Adhit saat itu, maka tidak menutup kemungkinan bahwa Abel akan kembali membuangnya membuat Wulan ketakutan. Biar bagaimanapun Wulan sudah menyayangi Adhit seperti anaknya sendiri. “Tapi Mas… Adhit… Apa Mbak Abel nggak akan melakukannya lagi?”
Brian masih menatap lurus. Tapi sesekali dia melirik ke sisi wajah gadis itu. “Saya akan memastikan bahwa Abel tak punya pilihan selain membesarkannya…”
“Tapi… Bagaimana caranya?” Brian tersenyum, tahu betapa khawatirnya Wulan terhadap Adhit. Brian senang Wulan memiliki kelembutan sebagai seorang wanita. Kalau anak orang saja dia perlakukan sebegitu sayangnya, apalagi anak mereka nanti… Ups! Brian mengerem mendadak membuat Wulan menjerit ketakutan. Gara-gara melamun Brian hampir saja menyerobot lampu merah.
“Kamu nggak apa-apa? Maaf ya…” Ujar Brian tulus. Khawatir. Dan tak sadar dia mengelus rambut Wulan, menenangkan gadis itu dan gadis itu membiarkannya. Wulan membiarkannya pemirsaaaa… ini adalah lampu hijau!!!
“Hey Beib…” Abel sampai di rumah Brian tak lama setelah pria itu menghubunginya. Sepertinya Abel memang sudah ada di sekitar perumahan pria itu, atau jangan-jangan Abel mengikutinya? Ah masa bodoh. Yang penting gadis itu sudah ada dihadapannya, dengan senyum palsu yang seperti diukur selebar mana dia harus tersenyum? “Nunggu lama?” Abel sebenarnya ingin menanyakan mengapa pria itu berada di rumah, bukankah tadi dia sudah berangkat ke kantor. Tapi saking exited-nya dengan telepon Brian, maka Abel melupakan pertanyaan itu.
Brian menggeleng. “Duduk…”’ Abel mengeryit. Gadis itu mengharapkan pelukan dari Brian—bukankah pria itu sadar bahwa dia masih menginginkan Abel sehingga gadis itu dipanggil untuk datang? “Setahun lalu saat kamu ninggalin aku, apa yang terjadi?”
Abel mendongak menatap pria yang duduk berseberangan dengannya. Dia merasa seolah sedang dalam sesi wawancara. “Maksud kamu?”
“Kamu hamil dan “pernah” melahirkan?”
“Apa?” Abel terkejut. Bagaimana Brian bisa tahu masalah ini? Saat dia hamil dan Bob mencampakkannya, Abel bingung. Dia tak tahu apa yang harus dilakukannya… Ayahnya meninggal saat dia masih balita—dan ibunya, wanita itu meninggal karena shock saat Abel mengatakan bahwa dirinya hamil dan ayah bayi yang dikandungnya tak mau bertanggung jawab. Abel menyesali kejadian itu, hingga satu keputusan besar diambilnya—jika dia menggugurkan maka dia akan membunuh bayi itu, sama seperti membunuh ibunya walaupun secara tidak langsung. Maka dia berniat melahirkan bayi itu lalu membuangnya—berharap seseorang yang menemukannya akan merawat anaknya dengan baik. “Apa maksud kamu?”
Dan seorang gadis sederhana muncul saat itu juga dari balik pintu dapur. Gadis itu yang kemarin ada di kamar Brian—gadis itu menggendong seorang bayi yang selimutnya… Abel tak mungkin melupakannya. Sebuah selimut biru terang yang dia pesan khusus dan diberi nama Adhitya. Abel memucat. Bagaimana mungkin ada kebetulan seperti ini? Mungkinkah gadis itu yang dia temui dan dia berikan tanggung jawab untuk merawat Adhit? Bagimana bisa? “Kamu…?” Abel sontak berdiri.
“Bayi anda sehat… Beberapa hari lalu dia demam tinggi dan tak mau minum susu. Mungkin dia kangen sama ibunya…” Abel melongo.
“Lelucon macam apa ini?” Sanggah Abel—dia menatap Brian menuntut jawaban.
Brian mendecakkan lidah kesal. “Wulan sudah menjaga anak kamu dengan baik, kamu harusnya berterima kasih. Mengapa kamu menganggap semua ini lelucon?”
“Tapi… Aku…” Abel terbata.
Brian tak sabar. “Apa kita harus melakukan tes DNA?”
Tentu saja Abel bingung. Dia memang ibunya… Takdir macam apa yang ada dihadapannya saat ini? Saat dia melajukan mobilnya kerumah ini, dia berharap akan membawa cinta Brian kembali ke pelukannya—tapi haruskah Brian menendangnya keluar rumah dengan seorang bayi di dekapannya? Abel meneteskan air mata. Membuat Wulan terharu—sedangkan Brian, dia seolah menganggap bahwa segala hal yang berbau Abel hanya sebuah kepura-puraan.
Wulan mendekati Abel, dia memberikan usapan yang menenangkan ke punggung Abel, berharap gadis itu sedikit tenang. Dia mengajak Abel duduk dan bercerita bahwa Adhit adalah anak yang baik, dia lucu dan menggemaskan. Wulan saja yang bukan ibunya bisa jatuh cinta pada anak itu, mengapa Abel yang merasakan betapa sakitnya melahirkan tak bisa mencintainya… Itu mustahil bukan…
“Dia tak menginginkan anak itu lahir…” Abel sesenggukan.
Wulan tersenyum. “Karena dia belum pernah melihat bagaimana tubuh mungil ini tampan dan lucu… Dan sekaligus rapuh… Membutuhkan kedua orang tuanya untuk tumbuh besar…”
Abel sadar. Bahwa dia pun membutuhkan ayahnya saat hari demi hari hanya dilewatinya bersama ibu—tapi apakah bisa orang mati hidup kembali? Sedangkan dia—Abel terisak makin keras. Dia ibu yang jahat yang tak berperasaan. Dia hidup—Bob hidup. Dan mengapa Adhit harus tumbuh tanpa kedua orang tuanya? Abel tak mau Adhit kekurangan kasih sayang seperti apa yang dialaminya dulu… Tapi melahirkan lalu membuangnya? Sungguh Abel ibu yang jahat.
Dan Brian—dia sebenarnya telah merencanakan untuk memanggil polisi jika Abel tak mau mengakui perbuatannya, dia bahkan telah menghubungi pengacaranya untuk ikut membantu kasus ini. Tapi Wulan—dengan segala kelembutannya, sepertinya gadis itu—yang saat di mobil tadi kebingungan bagaimana caranya agar Abel mau menerima dan merawat Adhit dengan baik, telah menemukan caranya sendiri. Dia yang tak menyadari bahwa kelembutannyalah senjatanya… Hingga Brian berpikir untuk membatalkan segala niat yang berhubungan dengan pihak berwenang. Wulan akan menyelesaikannya tanpa pertumpahan darah…
Tanpa sadar Abel mengulurkan tangan. Meminta Wulan mengembalikan Adhit ke pelukannya. Wulan mengangguk sebelum tersenyum kearah Brian. Senyum bahagia yang tak bisa dia sembunyikan. Walaupun sebenarnya dia berat melepaskan Adhit—tapi sekarang Adhit mendapat pelukan hangat dari ibu kandungnya sendiri. Bagaimanapun itu lebih baik. Dilihatnya Abel memeluk Adhit dengan rindu menatap bayi itu dengan mata berbinar-binar. Abel berterima kasih pada Wulan, dan memberikan ijin padanya kapanpun dia mau dia bisa mendatangi apatement Abel.
“Sibuk?”
Wulan terkejut—hampir saja dia memotong jarinya sendiri biarpun sekarang jarinya sudah terlanjur berdarah karena pisau terlanjur menggores telunjuknya. Wulan memekik membuat Brian panik. Dia sedang mengiris bawang bombay untuk menyelesaikan spageti buatannya. Dan mengapa majikannya ini harus tiba-tiba berada di dapur. Bukankah rumah ini sangat luas—membuat hati Wulan berdebar-debar saja. Semenjak Adhit dibawa oleh ibunya, Wulan mulai kesepian, diapun mulai mencari informasi lowongan pekerjaan… Bagaimanapun dia sudah bebas sekarang. Bebas kemanapun dan apapun yang akan dia kerjakan. “Omaigat! Omaigat! Kotak obat, dimana? Dimana kalian menyimpannya?” Suaranya Brian sarat kekhawatiran.
Wulan menggeleng. “Saya nggak apa-apa… Ini cuma luka kecil…” Ujarnya sambil mengarahkan luka itu ke mulut untuk dihisapnya. Tapi lalu Brian dengan sigap menyabotase tangan itu dan membawanya ke mulutnya sendiri membuat Wulan terkesiap kaget. “Mas Brian… Jangan…” Ujar Wulan memohon. Pemandangan ini sungguh tak layak untuk dikategorikan majikan-pembantu. Membuat Wulan bergidik tentang adanya saksi mata. Dan yang paling penting—membuat jantungnya berdentum-dentum—bagaimana cara menghentikannya? Ya Tuhan…
“Sssttt! It’s okey…” Brian mengulum jari Wulan lagi sebelum akhirnya meniup-niup jari gadis itu dengan lembut. Dipandanginya Wulan yang saat itu merona—gadis itu sungguh cantik. Luar dalam. Lembut sekaligus kuat. Dia meraih kedua jemari Wulan. “Wulan…”
“Maaf Mas, orang rumah bisa melihat kita…” Wulan berusaha melepaskan genggaman Brian. Tapi pria itu menahannya—malah genggaman itu semakin kuat. “Apa kata mereka…?”
Brian tersenyum. “Biar saja… Saya rasa mereka akan maklum. Kita sama-sama single… Kamu lupa?”
Wulan menatap Brian. Pria ini—mengapa dia seperti ini? Menyiksa perasaannya… “Tapi kita nggak ada hubungan apa-apa? Dan saya—saya hanya seorang pembantu. Saya nggak mau orang lain berpikir macam-macam tentang saya…”
“Kalau gitu kita pacaran saja…”
Wulan mendelik. “Apa?”
“Atau kita langsung menikah saja? Bi Parti nggak mungkin menolak saya untuk menjadi menantu…”
Wulan makin gemetaran. Omong kosong macam apa ini? Wulan—dia memang gadis tak tahu malu yang tak bisa menahan diri untuk tak mencintai majikannya—gadis mana yang berani melakukannya? Itu tentu saja cuma di televisi dan novel. Tapi, haruskah Brian mempermainkan perasaannya? Tak bisakah dia becanda hal lain saja. “Mas Brian… Saya memang hanya pembantu, tapi saya punya harga diri… Tolong jangan permainkan saya seperti ini…”
Brian mundur selangkah. Masih tak mau melepaskan genggamannya. “Becanda? Aku serius Lan… Apa aku kelihatan becanda?” Tantang Brian dengan aku—kamu? Wulan bergidik. “Sekarang aku mau tanya dan kamu harus jawab sejujur-jujurnya, kamu dilarang berbohong…” Ancamnya serius.
Wulan diam saja. Lalu saat Brian melepaskan genggaman dan bersedekap dia berbicara lagi. “Bagaimana perasaanmu terhadapku?”
“Mas Brian majikan saya, saya harus menghormati Mas Brian…”
Mata Brian menyipit—jawaban polos, pikirnya—tapi bohong! “Lalu? Bagaimana dengan hati kamu?”
Wulan menjawab cepat. “Hati saya milik saya…”
“Memang—tapi masalahnya, kamu yang memiliki hatiku… Jadi tak bisakah kamu memberikan hatimu juga buat aku?” Wulan melongo. “Aku cinta sama kamu Wulan… Tak bisakah kamu melihat itu?” Memang sih, sejak Adhit tak menjadi tanggung jawab Wulan, Brian menjadi sering muncul di hadapan gadis itu—karena tentu saja Wulan semakin sering berada di sudut manapun dirumah ini agar tak kesepian lagi. Dan tiba-tiba, Brian selalu muncul dihadapannya. Menyapanya lalu menungguinya bekerja. Majikan kurang kerjaan mana yang bisa melakukan hal itu selain Brian? “Say something…”
“Mas Brian nggak malu suka sama saya?”
Brian mengedikkan bahu. “Kenapa harus malu? Mereka yang tak tahu malulah yang menganggap manusia itu berbeda. Padahal semua dimataNYA sama saja…” Wulan tersenyum. “Apa arti senyummu itu?”
Wulan mengedikkan bahu. “Orang yang tak bisa senyumlah yang belum pernah merasakan yang namanya jatuh cinta…”
Brian memutar mata. “Maksudmu?”
“Menurutmu?”
“Jangan buat aku menebak-nebak.”
“Aku sedang nggak bermain teka-teki…” Ujar Wulan masih tak menjawab.
“Wulan… Please….”
“Aku cinta sama kamu… Brian Wirasena… Maukah kau menjadi pacarku?”
“Beraninya kamu nembak majikan kamu sendiri… Aku akan membuat perhitungan sama kamu…” Wulan berlari melewati Brian dan Brian mengejarnya dari belakang, mereka tertawa terbahak-bahak membuat seisi rumah terkejut. Siapa pula yang berani tertawa sekeras itu dirumah ini? Selama ini rumah ini sepi-sepi saja… Dan untuk pertama kalinya setelah kepergian kedua orang tua Brian—rumah ini seolah kembali hidup lagi… Brian tak ingin rumah ini mati lagi—dia menginginkan yang lebih lagi—dan kehadiran anak-anak merekalah yang akan membawa kehidupan yang berwarna dalam rumah mereka nantinya.
END
By_Ristin Fimantika
Subscribe to:
Posts (Atom)