Abel melempar ponsel ke kasur lantai yang sudah menipis. Kesal karena selalu diteror dengan penelepon iseng tanpa nama yang hampir tiap waktu menghubunginya. Tak berapa lama dia membuka seluruh pakaian kerja yang membungkus rapi tubuh indahnya, menanggalkannya satu-persatu tanpa merasa ketakutan kalau ada kamera tersembunyi dibalik pintu kamar yang hanya sepetak. Tanpa ragu Abel melesat ke kamar mandi yang letaknya hanya beberapa langkah dari tempatnya berdiri, memunggungi kasur, melewati lemari setinggi kepala, melirik sekilas cermin kecil yang bertengger di atas meja rias sederhana dan tersenyum sebelum mendorong kasar pintu kamar mandi yang tak berdosa. Seharusnya benda penyekat itu tidak terpasang disana dan menghalangi jalannya.
Koq gak diangkat? Abel memelototi tangan kirinya yang memegang ponsel sementara tangan kanannya belepotan sambal pecel lele. Dia membaca sms itu dengan kesal. “Dasar teroris!!!” Gerutunya sebal.
“Kamu tahu ini jam berapa?” Laki-laki itu berkacak pinggang. “Apa kamu ingin saya mencari sekretaris baru?” Abel menciut di hadapan orang yang sejak hari ini akan menjadi daftar manager di perusahaan yang paling di takutinya.
Abel memang mengalami masalah dengan bangun pagi. Ibu yang membangunkannya dulu, sebelum beliau meninggal beberapa tahun silam. Sedangkan ayahnya, entah ada dimana. Abel tak pernah berharap akan bertemu laki-laki itu semenjak ia meninggalkan Abel dan ibunya. Karenanya ia mengadu nasib ke kota ini. “Maaf Pak…” Jawabnya tak digubris. Atasannya itu malah mengatakan kalimat cacian lain yang membuat Abel makin gemetaran. Kemudian meminta maaf sekali lagi dan menjauh dari hadapan laki-laki itu. Dia sangat sadar kalau itu hal yang tidak sopan, namun dia akan lebih dimaki lagi kalau sampai meeting terlambat. Lebih cepat lebih baik.
Dengan tatapan mengancam Andrew mengawasi punggung Abel yang menjauh. Diperhatikannya gadis itu melempar tas dan menekan beberapa angka di telepon meja sebelum akhirnya menjatuhkan tubuh ke kursi. Dia mendengus dan segera menjauhi tempat yang mendadak pengap oleh kehadiran gadis itu. Gadis kampung yang sialnya telah mengacaukan kehidupannya.
“Sudah sarapan Pak?” Tanya Abel. Dia duduk di depan memunggungi Andrew. Andrew yang heran memicingkan mata dan meletakkan koran. Shitttttt! Dia bertanya pada supir dan bukan padanya. Kendaraan ini mendadak sempit dan membuatnya sesak nafas. Rasanya dia ingin menarik Abel, mencium bibirnya dan menghirup nafas dari mulutnya untuk menyambung hidup Andrew yang seolah tinggal beberapa detik. Andrew yang memilih gadis ini untuk menjadi sekretarisnya biarpun dia tahu Abel tidak bisa membedakan antara kata it dengan eat.
Sepanjang percakapan berlangsung tak henti-hentinya Abel melirik kearah wanita itu yang menurut pengakuannya bernama Julia. Entah Julia Robert atau Julia Perez. Dia kesal karena Julia berusaha dekat-dekat dengan Andrew yang terang-terangan selalu menepis sentuhannya. Abel juga kesal karena Andrew melibatkannya dalam acara yang bukan meeting ini. Dan ketika Andrew mengejutkannya dengan pertanyaan aneh. Abel gelagapan. “Meeting? Meeting yang mana maksud Bapak?” Tanyanya bingung. Julia menatap penuh selidik. Sedangkan Andrew menyumpahi kepolosan Abel. Apa dia tidak bisa membaca isyarat matanya?
Andrew merasa sangat lega. Biarpun dia masih sedikit kesal dengan Abel, tapi dia telah memaafkannya kepolosan gadis itu. Tadi setelah menolak mentah-mentah ajakan Julia, Andrew langsung pamit pulang. Kemudian seperti ketika datang tadi, Julia hendak memeluk dan mencium Andrew yang langsung ditolak. “Ini Indonesia , bukan New York !” Ujarnya pelan sambil melirik kearah Abel yang telah membuang muka.
Julia kecewa mendapat penolakan. Biarpun laki-laki itu sudah menyebutkan alasannya, tapi Julia menebak bahwa Abel yang menjadi penyebabnya. Dia menatap Abel dari ujung rambut sampai ujung kaki dan meyakinkan diri bahwa gadis itu bukanlah lawan yang seimbang.
Abel membanting pintu, menyebabkan para penghuni kamar lain bergidik. Mereka mengira Jakarta yang ahli banjir telah beralih menjadi ahli gempa. Dengan sewot dia melempar tas, mengangkat telepon dan meneriaki benda itu. “Hari ini aku telat gara-gara kamu!” Teriaknya lagi sambil membanting ponsel.
Ibu meninggal karena sakit. Hal ini membuat kehidupannya serba sulit. Kebiasaannya yang selalu bangun kesiangan, mengakibatkan Abel dipecat dari pekerjaan lamanya sebagai seorang SPG. Beruntung karena setelah itu dia tidak perlu menunggu lebih lama untuk mendapatkan pekerjaan di perusahaan ini. Setelan kerja rapi membuatnya terlihat lebih berguna dari sekedar meratapi nasib karena harus hidup sebatang kara. Abel kesal setiap kali melihat layar ponsel menampilkan private number, meskipun terkadang dalam hati dia sangat berterima kasih. Hidup sendiri bukan hal yang mudah. Dia butuh teman. Butuh seseorang. Dengan penelepon gelap, Abel bisa menceritakan apapun tanpa harus tahu latar belakangnya, jenis kelamin, umur, atau motivasi dibalik keisengannya. Dia tidak perduli. “Apalagi???” Teriaknya.
Lalu ketika telah mendengar suara di seberang ponsel, keningnya mengeryit sementara tangannya menjauhkan ponsel dari telinganya. Spontan dia memekik dan mengetuk kening berkali-kali, kemudian kembali mendekatkan ponsel ke telinganya. “Ya, Pak?” Abel salah tingkah. “Maaf Pak, tadi saya sedang…”
Andrew tak sabar menunggu jawaban Abel yang terbata dan langsung memotong kalimat gadis itu. Membuat Abel kesal. Kenapa harus selalu memotong? Tidak bisakah dia mendengar alasannya, kemudian baru berkomentar. Apakah semua atasan sama, selalu merasa paling benar. Abel tak menggubris rentetan celotehan Andrew yang membuat telinganya berdengung. Masa bodoh Andrew mau mengatakan apa saja asalkan dia senang, Abel tak mau tahu. Dia masih menempelkan ponselnya di telinga dan sekali lagi ingin membanting benda itu ketika Andrew mengatakan bahwa dia ingin sekretaris yang profesional, dan bukan orang yang bisa datang dan pergi seenaknya.
Apa dia bilang? Tak satu alasanpun yang membuatnya ingin terlambat dan pulang lebih cepat. Tidak ada orang yang menahannya atau menunggunya ketika pulang. Andai saja ada alasan yang membuatnya bisa lebih berlama-lama di kantor, dia akan melakukannya demi bisa berdua saja dengan Andrew.
Seminggu Andrew ke luar kota . Abel kesepian. Ternyata berat baginya untuk menjalani hari tanpa laki-laki itu. Dia selalu mencoba bersikap baik, sopan, sewajarnya bawahan memperlakukan atasan. Tapi Andrew, dia selalu baik terhadap semua orang kecuali terhadapnya. Apa yang salah? Dia hanya datang untuk bekerja, mengerjakan apapun yang Andrew minta. Apa masih kurang? Jika saja laki-laki itu takdir hidupnya. Ponselnya berdering nyaring. Dengan tidak semangat dia mengangkat benda itu dan bertanya apa maunya. Abel sedang tidak mood hari ini, jadi jika tak ingin dimaki segeralah menjauh dari kehidupannya. Tapi ketika sambungan tak juga terputus akhirnya Abel memutuskan untuk bercerita, menceritakan apapun yang ada dalam pikirannya saat ini. Kalut. Gundah. Depresi. Rindu. “Aku sangat” Brakkkk!!! “Merindukannya…” Kalimatnya selesai tepat pada saat kemunculan Andrew. Dia menyebut nama Andrew dengan gugup dan menyapa laki-laki itu setengah sadar. Tak menduga Andrew akan datang secepat ini. Meskipun dia telah siap dimaki, namun rasa rindunya terobati. Abel gelagapan masih bingung dengan kelakuan Andrew. Kenapa laki-laki itu tidak mengomentari kelakuannya yang curhat di telepon pada jam kerja. Ini sangat aneh. Andrew hanya memandangnya kejam seolah Abel santapan lezat.
Andrew terus berjalan, menghampiri gadis itu yang berdiri gemetaran dibawah tatapannya yang mematikan. Berapapun banyak gadis itu mengatakan maaf, dia tidak akan pernah memaafkannya.
“Aku tidak akan memaafkanmu…” Ujarnya seraya menghentikan langkah. Tepat satu jengkal dimana gadis itu berdiri tegang. Gemetar. Dari jarak ini Andrew bisa menghirup aroma buah-buahan yang menguar dari tubuh gadis itu. Membuatnya benar-benar ingin melahapnya sekali telan. Kenapa gadis itu harus begitu mempesona dan mengobrak-abrik perasaannya tanpa ampun! Kenapa dia harus muncul dihadapannya setiap waktu kalau dia tidak bisa memilikinya. Itu adalah kesalahan.
Abel menggeleng sambil melangkah mundur. Langkahnya tertahan karena kakinya kaku—gemetaran. Bulu kuduknya meremang. Telapak tangannya sedingin es. Dia tidak mengerti apa sebenarnya yang akan dilakukan laki-laki ini terhadapnya. Apa gara-gara hal tadi dia akan menampar Abel, menendangnya, atau memecatnya dan memblacklist namanya agar tak satu perusahaanpun mau menerima keberadaannya.
Abel semakin ketakutan. Bintik keringat mulai memenuhi wajahnya. Dasar AC tidak berguna! Wajah Andrew hanya beberapa senti dari wajahnya. Kepalanya mendongak karena tubuh laki-laki itu yang terlampau tinggi untuknya. “Apa yang telah kamu lakukan?” Tatapan Andrew membuat lutut Abel melemas. Hampir saja dia roboh kalau saja tangan kekar laki-laki itu tidak gesit menangkapnya. Memeluk pinggangnya. Kemudian meraih tubuh gadis itu hingga merapat ke tubuhnya.
“Apa aku tampan?,”
Tanya Andrew membuat Abel bingung bercampur deg-degan dalam pelukan laki-laki. Namun kemudian dia mengangguk. Kedua tangannya mengepal, tertahan di dada Andrew. Tubuhnya gemetar. Andrew seharusnya menyadari kondisi ini.
“Apa kau menyukaiku?”
Otak Abel berputar cepat. Secepat pemecatan Abel jika saja dia mengakui bahwa hal itu benar. Apa yang harus dia lakukan sekarang? Dia bukan orang yang pandai berbohong. Abel memalingkan wajah, lalu kembali menatap laki-laki itu yang masih penasaran menunggu jawabannya. Mata Andrew terpicing sementara kedua tangannya masih memeluk gadis itu.
Abel menggeleng dan serta merta Andrew melepaskan pelukan yang melilit pinggang gadis itu. Abel berbohong demi kelangsungan hidupnya karena dia tidak ingin dipecat setelah mengaku menyukai atasan yang merupakan anak dari pemilik perusahaan ini. Abel hampir terjatuh karena terlalu terbuai dengan pelukan Andrew. Laki-laki itu mendengus kesal. Kemudian berjalan mondar-mandir di ruangan.
Andrew tertawa. Getir. Dan langsung menuduh Abel berbohong. Tatapannya seolah bisa menembus kedua bola mata Abel yang membulat penuh keresahan. Apa takdirnya di perusahaan ini hanya sampai hari ini? Dia semakin pasrah jika ini adalah hari terakhir baginya menjadi bagian dari perusahaan ini. Setelah bangun esok pagi dia akan resmi menjadi pengangguran. Dia harap Andrew tidak akan sekejam itu dengan memecatnya tanpa memberikan pesangon yang cukup.
Ponsel Abel berdering. Abel bingung untuk menjawabnya atau tidak. Kenapa disaat-saat menegangkan seperti sekarang ada saja gangguan itu. Dia segera berjalan ke meja untuk me-reject telepon yang akan menambah daftar kesalahan yang menyebabkan pemecatannya. Namun laki-laki itu mencegah dan meminta Abel mengangkat telepon itu. Abel terus menolak namun laki-laki itu terus memaksa. “Ha—lo!”
“Masih belum mau mengaku?” Abel bergidik. Suara Andrew menghantam gendang telinganya. Abel membeku. Matanya perih. Panas. Ada sesuatu yang beberapa detik lagi akan tumpah. Andrew yang menganggunya selama ini, Andrew yang menjadi teman curhatnya selama ini, dan Andrew juga yang membangunkannya tiap pagi. Andrew telah mengetahui perasaannya.
Andrew menahan pergelangan tangan Abel yang hendak meninggalkan ruangan. Dia yakin jika tak dicegah, maka ini adalah akhir dari pertemuannya dengan gadis itu. Abel memekik. Pegangan itu terlalu keras sehingga menyakitinya. Andrew masih tidak perduli. Menyeret. Dan memeluk punggung gadis itu paksa sambil membisikkan sesuatu.
Nasi sudah menjadi bubur. Mengaku atau tidak dia tetap akan dipecat. Abel melepaskan pelukan Andrew. Menatap laki-laki itu lekat. “Aku menyukaimu. Apa itu cukup?”
Andrew mengangguk, lalu memecat Abel dan meminta gadis itu untuk membuat surat lamaran lagi. Abel menggeleng. Tak sudi. “Kalau begitu aku yang akan melamarmu…” Abel menutup mulut. Tersenyum.
T A M A T
By : Ristin F.
T A M A T
By : Ristin F.